Share

2. Omelan Shelly

'Sial! Aku tidak sadar sampai lupa waktu untuk pulang. Padahal hari ini Ayah dan Ibu baru balik dari perjalanan mereka.'

Pada pukul satu dini hari, Vianca kembali dari waktu bermainnya. Dia mengendap-endap masuk ke dalam rumah supaya tidak ketahuan oleh kedua orang tuanya. Dia tahu seberapa menakutkan sang Ayah dan Ibu ketika memarahi dirinya.

"Ehem."

Langkah Vianca spontan berhenti tatkala mendengar suara deheman dari seseorang yang tak asing. Sontak ia memutar badan menghadap arah suara tersebut.

"Ayah, Ibu, kalian belum tidur?"

Vianca tersenyum kaku. Ekspresi kedua orang tuanya tak lagi ramah. Mereka sudah menunggu anaknya sedari tadi, tetapi dia baru pulang ketika semua orang tertidur.

"Vianca, mari kita bicara sebentar."

Vianca merinding. Suara Shelly — sang Ibu terdengar horor. Terutama kata-kata berbicara sebentar itu. Tanpa diberi tahu pun Vianca sudah tahu bahwa hidupnya saat ini sedang berada di ujung jurang kematian.

"Iya, Ibu? Apa yang ingin Ibu bicarakan?" Vianca menghampiri Shelly.

"Putriku yang manis, apa kau tahu jam berapa sekarang?" tanya Shelly.

Mimik muka Shelly menyimpan emosi mendalam yang terpendam. Vianca ingin kabur detik itu juga. Apabila dia terus berada di sana, maka Shelly akan menghajarnya sampai mampus.

"Jam satu dini hari," jawab Vianca ragu-ragu.

"Jadi, apa yang kau lakukan di luar sana? Mengapa kau baru balik?" Suara Shelly terdengar lembut, tetapi menusuk ke hati.

"Aku tadi bermain sebentar dengan teman-temanku. Maaf, Ibu, aku tidak sempat mengabari kalian."

Tiba-tiba, kuping Vianca dijewer kuat oleh Shelly. Ruang tamu mendadak dipenuhi suara pekikan Vianca.

"Aduh, Ibu! Sakit ... maafkan aku, aku janji takkan mengulanginya lagi."

"Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana?! Kau lagi-lagi berkencan dengan sembarang pria. Mau sampai kapan kau bermain seperti ini? Ingatlah umurmu tahun ini sudah dua puluh lima tahun! Tolong berhenti bermain-main lalu menikahlah."

Zeke — Ayah Vianca, hanya diam menonton sang istri memarahi putrinya habis-habisan. Dia takut ikut campur dalam emosi Shelly. Di rumah ini, pemegang takhta tertinggi ialah Shelly. Bahkan, Vianca mengakui bahwa Ibunya merupakan orang yang paling menakutkan.

"Aku tidak mau menikah! Jangan paksa aku untuk menikah," bantah Vianca.

"Apakah kau serius mengatakannya? Aku tidak mau tahu! Pokoknya kau harus menikah agar keturunan keluarga Heigels tidak terputus. Bisakah kau mengesampingkan egomu itu?!"

Shelly melepas jewerannya. Irama napasnya memburu cepat. Dia kehabisan kesabaran menghadapi anak semata wayangnya.

"Kalau alasannya keturunan, aku bisa saja hamil dibantu oleh pria lain. Tidak harus dengan menikah untuk mendapatkan anak," ujar Vianca, mengelus telinganya.

"Hah? Enteng sekali kau kalau berbicara."

Shelly menepuk punggung Vianca. Kesal sekali rasanya mendengar sang putri berucap demikian.

"Jangan pukuli aku lagi. Sudah cukup Ibu menjewer telingaku. Namun, apa yang aku katakan itu benar bukan? Kalau butuh anak, aku tinggal hamil saja dari pria lain. Selesai kan urusannya? Tidak perlu diperpanjang."

Shelly semakin naik pitam. Dia bersiap-siap untuk memukul Vianca sekali lagi.

"Aku tahu kau gila, tetapi siapa sangka kalau putriku segila ini."

Suasana kian tak karuan. Zeke pun memutuskan untuk angkat bicara demi menengahi situasi terkini.

"Sudah cukup! Sekarang mari kita berbicara dengan kepala dingin," ujar Zeke tampak berwibawa.

Shelly dan Vianca membisu tatkala mendengar suara Zeke. Keduanya duduk di sofa, saling berhadapan disertai mimik serius.

"Ayah, tidak bisakah kita berbicara besok saja? Aku mengantuk dan nanti harus bangun pagi karena di kantor masih ada pekerjaan yang tersisa."

Zeke melirik jam dinding. Memang sudah waktunya bagi mereka untuk tidur. Akan tetapi, dia rasa tidak baik bila menunda pembicaraan dengan Vianca.

"Aku akan berbicara singkat saja. Reputasimu di mata publik bertambah buruk. Tidak terhitung berapa jumlah laporan masuk setiap bulannya. Apabila kau terus begini, maka nama perusahaan juga ikut tercoreng. Terlebih lagi aku baru menyerahkan perusahaan padamu selama dua tahun terakhir ini."

"Aku tidak mempermasalahkan kemampuanmu karena kau punya kemampuan hebat sebagai pemimpin. Namun, Vianca, jika kau tidak berubah dan terus begini sampai akhir, maka jangan salahkan aku menendangmu keluar dari keluarga ini," tekan Zeke.

Vianca tersentak kaget. Begitu pula dengan Shelly. Tidak biasanya Zeke menggunakan ancaman seperti demikian kepada sang putri. Ekspresinya menunjukkan keseriusan mendalam. Dia tidak main-main kala mengatakannya.

"Apakah Ayah benar-benar serius ingin menendangku keluar dari keluarga ini?" tanya Vianca memastikan.

"Aku serius! Apakah kau melihat aku sedang bercanda?"

Vianca menelan ludah, napasnya seolah-olah tercekat di tenggorokan. Apabila Zeke serius menendangnya keluar, maka kehidupan mewahnya hancur dalam sesaat. Vianca tak ingin mimpi buruk itu terjadi.

Melihat Vianca terjebak di suasana tegang, Zeke menjadi tidak tega mencecar putrinya. Walau bagaimana pun, dibandingkan Shelly, Zeke tetap adalah seorang Ayah yang sangat lembut. Terkadang Shelly mengomeli sikapnya yang terlalu lunak kepada Vianca.

"Mari kita bicarakan lagi besok. Sekarang kau boleh beristirahat," lanjut Zeke berucap.

Vianca langsung bergegas ke kamarnya. Dia tidak mau berlama-lama duduk di depan kedua orang tuanya.

"Kenapa tidak sekalian saja kau bahas soal pernikahan itu?" tanya Shelly bernada kesal.

"Apakah kau tidak khawatir gadis itu kabur malam ini kalau kita membahas pernikahan? Kau tahu sendiri putrimu itu tidak suka menjalin hubungan serius apalagi menyangkut pernikahan."

"Kalau seperti ini terus, kapan dia akan menjalani kehidupan normalnya? Dia masih terbebani oleh apa yang terjadi di masa lalu."

***

Pada keesokan harinya di kantor perusahaan Lotze Group, Herion membuat Jun — sekretaris pribadinya kewalahan. Herion mengabaikan pekerjaannya sebagai pemimpin perusahaan dan malah bersenang-senang dengan wanita di ruang kerjanya.

"Sayang, ayo kita jalan-jalan ke luar negeri. Aku bosan berada di negara ini," pinta Reyna, merengek di pangkuan Herion.

Reyna merupakan salah satu dari jejeran wanita Herion yang paling sering melayaninya. Reyna memang lebih cantik dari wanitanya yang lain. Walau begitu, kecantikannya masih belum apa-apa dibandingkan Vianca.

"Baiklah, mari kita atur tanggalnya nanti," ujar Herion menuruti keinginan Reyna.

"Benarkah? Aku senang sekali."

Reyna memeluk dan mencium Herion berulang kali. Jun hanya bisa menutup mata melihat hal yang tak pantas ini. Suasana di antara keduanya terlihat semakin memanas.

'Lebih baik aku keluar dari sini. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi berikutnya.'

Jun bergegas melangkah ke luar ruangan. Sebelumnya, Herion memberi kode supaya Jun tidak membiarkan siapa pun untuk masuk ke ruangan.

Jun berdiri di depan pintu, dia mendengar jelas erangan kenikmatan Reyna dari balik daun pintu masuk. Sungguh memalukan, rasanya dia ingin protes, tetapi sayangnya ia tak punya kekuasaan melakukannya.

Tepat beberapa menit berselang, tampaknya Herion telah menyelesaikan permainannya dengan Reyna. Jun pun menghela napas lega sebab tak perlu mendengar lagi suara-suara mengganggu yang penuh dosa.

"Jun, ada di mana Herion sekarang? Apakah dia bermain-main lagi dengan wanita jal*ng di ruang kerjanya?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status