Beberapa tahun kemudian...Musim dingin melanda kota Lasster, salju turun dari langit dan angin berhembus dingin petang ini. Seorang gadis cantik berambut panjang bergelombang sepunggung, berbalut seragam sekolah menengah atas tampak berdiri di sudut koridor sekolah dan memeluk tasnya, ia tampak dikerumuni oleh beberapa anak laki-laki yang memasang wajah marah padanya. "Memangnya kau pikir kau ini siapa, Elodie! Beraninya kau menolak cintaku, hah?!" Suara pekikan itu terdengar sangat keras. Elodie sampai menutup telinganya dan bersandar pada dinding karena ia sangat takut. Perkara ia menolak cinta dari temannya, Elodie harus dipermalukan sejak siang tadi hingga sore ini. Dan hal seperti ini tidak hanya hari ini saja terjadi pada Elodie, melainkan Elodie sudah sering diperlakukan hal seperti ini karena semua teman-temannya merasa iri. Elodie anak yang pintar, cantik, dan banyak anak laki-laki yang menyukainya meskipun tak satupun bisa mendekatinya. "Kau pikir kau sudah sangat cant
Hari demi hari telah berganti. Giselle menjalani hari-harinya dengan tenang dan menyenangkan. Di tengah kekurangannya, berjalan menggunakan tongkat, tidak membuat Giselle kehilangan hari-hari cerahnya bersama suami dan juga putri tercintanya. Sepertinya hari ini, adalah hari ulang tahun Gerald. Diam-diam, Giselle dan putri kecilnya menyiapkan kejutan untuk Gerald. Pagi-pagi sekali Giselle bangun dan sibuk di dapur membuat kue ulang tahun untuk Gerald ditemani oleh Elodie. "Mama, Elodie yang pasang buah stroberi di atasnya," ujar anak itu. "Iya, Sayang." Giselle menoleh sambil berjalan dengan tongkatnya menuju lemari di dapur. "Mama siapkan lilin ulang tahunnya dulu." "Heem." Elodie mengangguk cepat. Kue ulang tahun rasa cokelat, dihiasi oleh krim rasa cokelat dan stroberi, juga buah stroberi kesukaan Gerald yang tertata rapi di atas kue itu. "Selesai!" Elodie tersenyum berseri-seri. "Pasang juga lilinnya, Sayang..." "Iya, Mama." Kue ulang tahun itu sudah siap. Elodie langsung
Gerald dan Giselle menuruti keinginan Elodie. Mereka pergi ke sebuah taman yang berada tak jauh dari pusat kota. Taman luas yang dipenuhi dengan banyaknya pohon Magnolia yang sedang bermekaran. Dan tepian-tepian taman yang dipenuhi dengan bunga tulip berwarna merah dan kuning. Giselle dan Gerald duduk beralaskan kain piknik dan membawa beberapa minuman juga cemilan, berada di tengah padang rumput di bawah pohon bunga Magnolia. Sedangkan Elodie berlarian di taman bermain berlarian ke sana dan ke sini sambil tertawa ceria. "Lihatlah ... anak kita sudah sebesar itu," ucap Gerald menatap Elodie yang berlari-lari mengejar capung. "Rasanya baru kemarin aku menggendongnya satu Minggu dua kali ke rumah sakit, sekarang Elodie sudah sebesar itu," gumam Giselle menyandarkan punggungnya di dada Gerald. Gerald tertunduk, menatap wajah Giselle. Ia mengecup kening Giselle dan mendekapnya. "Anak kita akan tumbuh menjadi anak gadis yang cantik dan pintar," ujar Gerald berbisik lembut. "Aku ingin
"Kakaknya Elodie pergi jauh naik pesawat, Paman! Dia tidak pamit sama Elodie! Elodie sakit hati, tahu!" Suara tangisan Elodie menggema di teras paviliun. Anak itu mencari Kal untuk mengajaknya mencari Kai sejak pagi tadi. Bukannya menuruti, Kal bersama ajudan Gerald yang lainnya malah menjadikan Elodie sebagai bahan candaan mereka. Memang, anak Tuan mereka sangat lucu dan banyak tingkah. "Ayo, Paman ... ayo naik pesawat! Ayo cari Kakaknya Elodie ke Krasterberg di sana jauh sekali!" pekik Elodie menarik-narik tangan Kal. "Krasterberg itu jauh sekali Nona Kecil," sahut Hendre sambil tertawa memegangi botol minum merah muda milik Elodie. "Tapi Elodie mau ke sana!" pekiknya, anak itu mendongakkan kepala dan menangis. Kal menarik lengan Elodie dan memeluknya. "Ya ampun ... kasihan sekali anak baiknya Paman." Dengan sabar, Kal menggendong Elodie dan memeluknya. Ia menepuk-nepuk punggung Elodie dengan lembut. "Nona kecil, Krasterberg itu jauh sekali. Kalau berangkat sekarang sampai d
Setelah dua hari di rumah ada Oma dan Opanya, Elodie mulai lengket dengan Marisa dan Charles. Bahkan Elodie tidak mau bermain dengan Kal. Elodie juga sudah berhari-hari tidak bermain dengan Kai. Karena Kai juga tidak pernah datang ke rumah Elodie, hingga Elodie kini mempertanyakan di mana Kai berada. "Papa..." Elodie masuk ke dalam ruangan kerja Gerald. "Iya, Sayang? Ada apa, Nak?" Gerald menatap putri kecilnya yang memasang wajah manyun bangun tidur. Elodie mendekati Gerald, naik di atas pangkuan sang Papa dan memeluknya. "Elodie mau telfon Papa Martin, Pa," ujar Elodie. "Elodie kangen Kakak..." Gerald terdiam. Ia menyadari sudah satu Minggu lebih Kai tidak menampakkan dirinya. Tidak biasanya Kai tidak muncul. "Ayo, Papa! Cepat telfon Papa Martin. Elodie mau ngomong sama Kakak," seru anak itu cemberut kesal. "Siapa Kakak yang Elodie maksud, Rald?" tanya Charles menatap putranya."Anaknya Martin Hopper, Pa," jawab Gerald. "Ohh ... anaknya Martin. Sangat tampan anaknya," ujar
"Giselle, Mama punya kenalan seorang dokter yang cukup hebat. Pulanglah ke Luinz, siapa tahu dokter itu bisa mengobati kakimu, Nak." Marisa menemani Giselle yang duduk kelelahan setelah seharian berjalan terus. Kini Giselle duduk di atas ranjang di dalam kamarnya sambil menatap kedua kakinya. Sepet yang Giselle duga, Mama mertuanya tidak lagi seperti dulu. Marisa bahkan mau mengambilkan air minum untuk Giselle dan menemaninya sejak tadi. Apalagi, kini menawarinya untuk berobat di Luinz. "Tidak perlu repot-repot, Ma. Dokter bilang, kakiku sudah fatal dan sulit untuk dipulihkan. Toh aku sekarang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit dengan menggunakan tongkat," ujar Giselle tersenyum manis. Marisa menatapnya terenyuh. Wanita itu teringat bagaimana dulu ia memperlakukan Giselle dengan seenak hatinya. Setelah melihat kondisi Giselle seperti ini, bahkan Gerald justru semakin mencintai Giselle. Hal ini membuat Marisa sadar betapa jahatnya ia dulu. Cinta yang Gerald miliki pada Gisel