Sudah berhari-hari Laura tidak pernah bertemu dengan Gerald. Bahkan saat wanita itu berusaha mencari Gerald di kantor ataupun di rumah, Gerald juga tidak ada. Meskipun sejujurnya Laura tahu di mana Gerald berada saat ini. Hal ini membuatnya sangat frustrasi dan kesal setelah ia merasa kalah dengan Giselle dan Elodie yang memenangkan perhatian dari Gerald dibandingkan dirinya. Pagi ini, Laura mendatangi kediaman Keluarga Gilbert dan mengadu sekaligus mengungkapkan kekesalannya tentang Gerald pada Marisa. "Bagaimana ini, Tante, pernikahan saya dan Gerald kenapa malah diundur-undur lagi? Saya sudah menyiapkan semuanya matang-matang!" seru Laura memprotes Marisa. "Laura, sabar dulu, Sayang. Hari pernikahanmu dengan Gerald pasti akan datang, Nak." Marisa menatap Laura yang memasang wajah kesal padanya. Mendengar hal itu, Laura merasa jengah dan tentu saja tidak sabar. "Gerald juga beberapa hari ini sudah sekali saya hubungi, Tante. Saya ke kantor dan juga ke rumahnya tapi dia t
Setelah memakan waktu cukup lama bagi dokter untuk memeriksa kondisi Elodie di dalam ruang perawatan. Giselle dan Gerald menunggu di luar dengan penuh penantian. Hingga Dokter Benny pun akhirnya keluar dari dalam ruangan itu diikuti oleh satu dokter dan juga dua suster di belakangnya. "Dokter..." Giselle dan Gerald langsung beranjak cepat dari duduknya dan berjalan mendekati dokter. "Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Giselle dengan sangat cemas. Dokter Benny menunjukkan ekspresi wajah yang sedikit cemas. "Mungkin hal seperti ini tidak sekali dirasakan oleh Elodie. Tetapi kondisi Elodie sudah sangat serius, Nyonya, Tuan. Seperti yang kapan hari saya jelaskan pada Nyonya. Kalau penyakit yang menyerang Elodie bisa mengakibatkan kerusakan hati pada Elodie dan jalan satu-satunya dengan dilakukannya operasi pencangkokan hati. Hal itu dilakukan dengan penuh perhitungan oleh para pihak medis." Mendengar penjelasan dokter, Giselle langsung tampak lesu. Wanita itu mengulurkan
Gerald tidak bisa berpikir tenang selama ia berada di kantor. Ia terus kepikiran dengan kondisi Elodie di rumah sakit. Ponsel miliknya yang berada di atas meja terdengar berdering. Gerald segera meraih benda pipih itu dan ia melihat nama Sergio yang kini tampak di layar ponselnya. Segera Gerald menjawab panggilan dari ajudannya tersebut. "Halo?" "Halo, Tuan Gerald. Tuan, baru saja Nyonya Marisa ke sini dan Nyonya marah-marah saat saya melarangnya masuk. Gerald terdiam mendengarnya. Jadi, Mamanya benar-benar ke sana menemui Giselle. Berarti ketakutan yang Giselle rasakan itu benar, kalau Marisa akan datang. "Baiklah. Jaga mereka berdua sampai aku tiba. Aku akan pulang lebih awal hari ini," ujar Gerald pada Sergio di balik panggilan itu. Gerald pun segera menutup panggilan itu dan ia duduk menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya. Ia menatap kosong ke depan sana dengan pikiran menerka-nerka. "Mama ... kenapa selalu Mama yang bertindak sejauh ini? Harusnya kalau Mama tah
Setelah kejadian semalam yang menguras emosi Giselle dan Gerald. Pagi ini, Gerald masih berada di rumah sakit. Tetapi, laki-laki itu bersiap untuk pergi karena masih banyak urusan pekerjaan yang harus Gerald selesaikan. "Aku akan pergi sekarang. Apa kau mau sesuatu? Nanti sore bisa aku bawakan untukmu saat aku pulang kerja," ujar Gerald bertanya pada Giselle yang berdiri di hadapannya. "Tidak, aku tidak ingin apapun," jawab Giselle ragu. Gerald tersenyum, ia mengusap pipi Giselle dengan lembut. "Dulu kau selalu merajuk padaku kalau aku pulang kerja tidak membawakan sesuatu untukmu." Mendengar hal itu iris biru mata Giselle melebar. Ia segera memalingkan wajahnya yang kini memerah dan kepalanya menggeleng. Ekspresinya membuat Gerald tersenyum. "I-itu dulu. Kenapa masih juga dibahas," protesnya. Gerald terkekeh pelan. "Baiklah kalau begitu. Jangan lupa, kalau terjadi sesuatu pada Elodie, kau harus segera menghubungiku, paham?" Giselle mengangguk patuh. Wanita itu sejujur
Udara yang hangat terasa menyelimuti Giselle yang larut dalam rasa kantuknya. Akan tetapi, wanita itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Seperti terpasang alarm di bawah alam sadarnya, Giselle terbangun dan langsung duduk dengan napas naik turun. "Ya Tuhan, Elodie..." Wanita itu menoleh ke arah ranjang Elodie. Di sana, Gerald menatapnya terkejut. Ia segera mendekati Giselle yang kini duduk dengan kepala tertunduk sambil memegangi dadanya. "Kenapa? Apa kau mimpi buruk, hm?" tanya Gerald, ia mengusap punggung Giselle dengan pelan. Giselle menggeleng pelan, ia melirik ke arah jarum jam yang kini menunjukkan pukul dua dini hari. Lalu Giselle menatap Gerald yang masih duduk di sampingnya. "Kenapa kau masih ada di sini?" tanya Giselle pada mantan suaminya itu. "Aku akan menemanimu menjaga Elodie mulai hari ini," jawab Gerald. Giselle diam dan tidak bertanya lagi, wanita itu menatap ke arah anaknya yang tertidur pulas. Giselle selalu terjaga di setiap malam, hingga tertidur
Gerald tidak membuang banyak waktu. Ia segera memerintahkan Sergio mengantarkannya ke rumah sakit saat ini juga. Sepanjang perjalanan, Gerald hanya diam dengan perasaannya kecewa yang berkecamuk hebat di dalam hatinya. Membayangkan betapa menderitanya Giselle selama ini. Dan ternyata yang paling mengecewakan adalah dirinya sendiri. Kalau ternyata, Elodie adalah anak kandungnya, Giselle tidak mungkin berbohong untuk hal itu. "Apa yang sudah kulakukan?!" Gerald menggeram, laki-laki itu mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya dengan begitu putus asa. Kedua matanya menatap pedih sertifikat rumah milik Giselle yang kini ia pegang. Gerald merasa sangat kecewa pada dirinya sendiri atas segala yang telah ia lakukan pada Giselle. Bila ternyata selama ini, perjuangan Giselle untuk anaknya tidaklah main-main. Dan Gerald merasa sedih saat tahu anaknya mengidap penyakit yang mematikan. Anaknya ... Elodie adalah anak kandungnya! Gerald mengusap wajahnya lagi, kedua matanya memerah sep