Hamil! Laura hamil anak Gerald! Giselle menatap test pack di atas meja. Ulu hati Giselle seperti disayat-sayat saat ini, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan air matanya. Terlebih lagi, ia merasa jauh berkali-kali lipat lebih sakit saat Laura mengatakan kalau ia tidak ingin melihat Gerald membagi kasih sayang pada Elodie lagi. 'Jadi, inikah alasanmu selama beberapa hari ini mengabaikan aku dan Elodie? Inikah kesibukan yang kau maksud, Gerald? Ini ... di balik semua alasan kenapa kau tidak membalas pesan dan panggilanku?' Giselle menekan rasa sakit di dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, Giselle meraih test pack milik Laura dan kembali menyerahkannya. "Aku tidak bisa melarang Gerald untuk mendekati anaknya, Laura. Elodie adalah darah daging Gerald dan selama ini anakku tumbuh besar tanpa kehadiran seorang Papa." Giselle menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak akan pergi. Aku berani menjamin, aku tidak akan menjadi ancaman untuk rumah tangga kalian ke depannya." Laura me
Aroma lavender menyeruak di dalam kamar Giselle. Wanita itu membuka jendela kamarnya merasakan hangatnya cahaya mentari pagi masuk ke dalam ruangan itu. Giselle merapikan mainan milik Elodie yang berserakan di lantai kamar. Sebelum tiba-tiba saja terdengar suara dentingan ponsel miliknya di atas nakas. "Hm, siapa mengirim pesan sepagi ini?" gumam Giselle. Wanita itu berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepiannya sambil membuka pesan yang baru saja masuk. "Sergio," lirih Giselle. Dengan teliti Giselle membaca pesan dari Sergio—ajudan Gerald. Laki-laki itu mengatakan kalau Gerald semalam telah berangkat ke luar kota dan kembali beberapa hari lagi, tanpa menentukan hari dan waktunya. Giselle tidak membalas pesan itu, ia membuka kontak nama Gerald dan melihat tak satupun pesannya yang dibalas oleh laki-laki itu. Giselle sempat nelangsa dan terenyuh sedih, namun ia menepis perasaannya dengan cepat. "Ayolah, Giselle ... sadarlah," ucap Giselle menepuk kedua pipinya. "Kalau
"Terima kasih sudah mengantarku membeli bunga. Mamamu memintaku untuk membelikan bunga, katanya ... beliau sedang tidak enak badan." Ucapan itu keluar dari bibir Laura, wanita cantik yang kini tersenyum manis mencekal lengan Gerald sambil memeluk buket bunga Peony. Gerald tidak menanggapi wanita itu. Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi bersama dalam satu mobil. "Mama pasti hanya beralasan kalau dia sedang sakit. Karena itu, kau mendatangiku dan mengajakku pergi bersamamu?" "Mamamu memang menghubungiku dan bilang kalau beliau sakit, lalu ingin aku datang denganmu, karena itu aku datang ke kantormu. Tapi ... kalau untuk Mamamu sakit itu alasan atau bukan, aku tidak tahu." Gerald berdecak kecil seketika. "Aku sangat sibuk saat ini, dan kau datang memaksaku di depan banyak orang! Lain waktu, jangan mempermalukanku, Lau!" geram laki-laki itu. Laura mendengus pelan mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Gerald. "Me-mempermalukan bagaimana? Aku datang kar
Pagi ini Giselle bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Jadwal cek pemulihan Elodie pasca operasi masih harus terus dipantau oleh dokter. Giselle ragu untuk menghubungi Gerald karena pesan-pesannya beberapa hari yang lalu belum dibalas, bahkan terkahir kali Elodie mengirimkan pesan suara lima hari yang lalu juga tidak ada balasan sama sekali. Giselle menatap ponselnya yang berada di atas nakas kamarnya. "Apa aku coba hubungi lagi?" gumamnya bimbang. Ia ingat betul bagaimana Gerald mengatakan untuk selalu mengajaknya saat melakukan cek kondisi Elodie di rumah sakit. Tapi situasi saat ini, sungguh membuat Giselle dilema. Wanita itu menarik napasnya panjang dan ia menatap layar ponselnya. Ia menekan panggilan pada Gerald saat itu juga. Bagaimanapun juga, Gerald adalah Papa kandung Elodie. Apapun yang akan dilakukan Giselle pada anaknya, ia harus berpamitan pada laki-laki itu. "Ayolah, Gerald ... setidaknya jawab panggilanku sebentar saja," lirih Giselle cemas. Tak lama ke
Sejak kejadian kemarin siang, Elodie terus murung. Semalam anak itu juga tidak menanyakan Papanya sama sekali, tidak seperti malam-malam sebelumnya. Giselle yang paham dengan suasana hati putri kecilnya yang kacau, wania itu pagi ini mengajak Elodie ke taman. Dengan begini Giselle berharap cuaca cerah pagi ini bisa mengubah suasana hati Elodie yang murung. Giselle mendorong kereta dorong milik Elodie di mana anak itu duduk di sana. Elodie tidak mau berjalan atau digendong, dia ingin naik kereta dorongnya. "Cuacanya segar sekali, Sayang. Kita duduk di sini saja, ya?" Giselle menghentikan kereta dorong itu di bawah pohon besar di taman. "Elodie mau buah anggur, Ma," pintanya. "Iya. Mama bantu turun dulu." Giselle menggelar alas kain di atas rumput, ia meletakkan tas yang ia bawa dan menurunkan Elodie di sana. Elodie langsung duduk dan mengambil mainan yang dia bawa. Sambil memakan buah anggur kesukaannya, Elodie menatap sekitar. Ia memperhatikan ramainya anak-anak bermai
Gerald bersungguh-sungguh mengajak Elodie ke sebuah kebun binatang besar yang ada di perbatasan kota Luinz dan kota Palashatt. Kini, Giselle menggenggam tangan kecil Elodie dan menunggu Gerald yang tengah membeli tiket masuk. Di sampingnya, Elodie sangat heboh melihat lukisan-lukisan hewan di sepanjang dinding pintu masuk kebin binatang. "Ma, itu gambar hewan apa? Apa itu singa, Ma?" tanya Elodie, ia menunjuk ke arah gambaran lukisan dinding di depannya. "Iya, Sayang. Itu singa, di sebelahnya ada gajah dan harimau," jelas Giselle, ia menekuk kedua lututnya di samping Elodie. "Wahh ... Mama tau semuanya!" Anak itu tersenyum berseri-seri. Giselle ikut tersenyum sambil membenarkan topi yang Elodie pakai. Sampai akhirnya Gerald muncul dan berjalan mendekati mereka berdua. Laki-laki itu tampak berjalan mendekati mereka berdua. "Sudah, Pa?" tanya Elodie berjinjit menatap sang Papa. "Sudah. Papa sudah beli tiketnya," jawab laki-laki itu menunjukkan tiga lembar tiket di tanganny