Hari sudah gelap, jam menunjukkan pukul tujuh malam. Udara di luar cukup dingin. Giselle duduk di kursi rodanya yang berada di dekat jendela. Sesekali ia menoleh menatap ke arah teras samping rumahnya melihat pemandangan malam. Malam yang gelap membuat Giselle kembali teringat malam-malam beberapa hari yang lalu yang sangat menyeramkan. Caesar yang tengah berbincang-bincang dengan Sergio di ruang keluarga, tiba-tiba laki-laki itu mendekati Giselle. "Sayang, kenapa? Mau ke kamar?" tawarnya. "Tidak. Elodie belum tidur, aku masih mau di sini," jawabnya sambil tersenyum. "Aku melihat bunga-bunga yang kita beli di pameran waktu itu, sudah berbunga semuanya. Padahal aku tinggal beberapa hari saja."Senyuman terukir lembut dan manis di kedua sudut bibir Giselle. Gerald memperhatikan wajah istrinya dalam-dalam. Saat melihat wanitanya ini tersenyum, ada rasa lega di hati Gerald yang berdesir. Setidaknya, Giselle sudah bisa tersenyum kembali. "Kau ingin melihatnya dari dekat? Kita bisa du
Hari telah berganti, pagi ini dokter sudah mengizinkan Giselle untuk pulang. Dokter kembali memeriksa kaki kiri Giselle dan mengganti perbannya. Wanita itu duduk di atas kursi roda dan diam mencekal lengan Gerald. "Hari Senin depan, Nyonya kembali ke sini lagi. Saya perlu mengecek kondisi kaki Nyonya," ujar dokter. "Baik, dok." "Mungkin sekitar satu sampai dua bulanan, Nyonya masih perlu menggunakan kursi roda. Setelah itu, nanti belajar berjalan dan menggunakan tongkat." Mendengar penjelasan dokter, wajah Giselle berubah sedih. Tapi wanita itu menganggukkan kepalanya. "Ini resep obat yang harus Nyonya minum sehari tiga kali, ya, Tuan." Dokter itu menunjukkan dan menjelaskan pada Gerald. "Baik. Terima kasih, Dokter Killian," ucap Gerald tersenyum. "Sama-sama, Tuan Gerald. Semoga Nyonya segera sembuh." Giselle dan Gerald mengangguk dan tersenyum. Baru setelah itu, mereka berdua berjalan keluar dari dalam ruangan dokter tersebut. Gerald mendorong pelan kursi roda yang Giselle
Di kediaman Keluarga Martin. Malam ini Kai diam di kamarnya. Ia menatapi mainan puzzle yang berada di atas meja belajarnya. Biasanya, malam-malam begini Elodie ada di dalam kamarnya yang mengacaukan semua kamar Kai. Tapi saat ini, Kai merasa sangat kesepian lagi. "Elodie..." Kai diam mengusap wajahnya. "Kau sekarang sedang apa? Kau di mana? Di rumah sakit arah di rumah?" Kai merasa sangat kesepian. Mamanya juga berkali-kali bilang kalau rumahnya terasa sepi sejak Elodie pulang. Bahkan hal itu dirasakan oleh Kai selama dua harian ini. Kai menatap dua box susu pisang di atas meja belajarnya. "Aku kangen, Elodie," ucap Kai tanpa sadar menatap layar ponselnya yang menunjukkan foto Elodie bersama Kai dan kuda kesayangannya. "Aku kangen kau, Anak kecil nakal..." Helaan napas panjang lolos dari bibir Kai. Pemuda itu menatap gambar di layar ponselnya selama beberapa detik, sebelum ia terdiam dan menemukan sebuah ide.Kai langsung beranjak dari duduknya. Ia berjalan cepat membuka lemari
'Nyonya Giselle, satu kaki Nyonya tidak bisa berfungsi dengan baik. Meskipun Nyonya sudah sembuh, Nyonya akan tetap berjalan menggunakan kursi roda atau bisa dengan tongkat cane, kalau tidak tubuh Nyonya tidak akan bisa berdiri seimbang.' Giselle terdiam dalam lamunannya. Ia duduk di atas kursi roda dan diam menatap pemandangan luar kota Lasster di sore hari. Cahaya matahari yang hangat menerpa wajah cantik Giselle. Wanita itu sudah lelah menangisi hidupnya yang seperti ini. Giselle menundukkan kepalanya menatap kedua kakinya, salah satu kakinya terbungkus oleh kain putih yang sangat tebal. Kaki itu tidak berasa sama sekali, bahkan Giselle tidak bisa menggerakkannya sama sekali. Selain luka bakar yang parah, syaraf dan ada cedera tulang serius di dalamnya yang membuat kaki kiri Giselle benar-benar tidak lagi berfungsi. "Apa yang harus aku lakukan dengan satu kakiku ini? Apakah aku nanti kedepannya akan menjadi beban untuk suami dan anakku?" Giselle mengerjapkan kedua matanya yang
Gerald kembali ke rumah sakit bersama dengan Elodie. Ia menggendong putri kecilnya dan membawa sebuah paper bag berisi mainan yang Elodie minta. Berhari-hari tidak melihat Elodie, Gerald merasa seperti orang gila. Ia benar-benar sangat merindukan putri kecilnya tersebut. "Mamanya Elodie di mana, Pa?" tanya anak itu dengan bibir manyun dan mata mengerjap. "Mama ada di dalam kamar sana, Sayang. Nanti, kalau Elodie di dekat Mama, Elodie tidak boleh menyentuh kaki kiri Mama, karena masih sakit, paham?" "Heem, paham!" Anak itu mengangguk cepat. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan pintu kamar inap Giselle. Di depan ada Sergio yang berbincang dengan Stefan. Gerald membuka pintu kamar rawat inap Giselle. Kedatangannya disambut dengan senyuman yang sangat hangat oleh istrinya. "Mama..." Elodie menatap ke arah Giselle dengan bibir mencebik siap menangis. Masih dalam pelukan Gerald, Elodie sudah mengulurkan kedua tangannya pada sang Mama. "Ya ampun, anak cantik Mama. Mama rindu seka
Hari sudah sore, saat ini Gerald datang ke kediaman Martin. Gerald ingin menjemput Elodie, karena Giselle terus menanyakan keberadaan anaknya. Kedatangan Gerald di sana disambut dengan hangat oleh Elodie. Putri kecilnya yang langsung berhambur memeluk dengan erat."Papa, Elodie rindu sekali..." Anak itu mendusal dalam pelukan Gerald. "Papa juga rindu sekali dengan Elodie, Sayang," jawab Gerald mengecup pipi gembil Elodie. Amara dan Martin tersenyum melihatnya. Kai juga ada di sana dengan ekspresi kesal dan bersungut-sungut. Padahal baru saja ia pulang ikut Paman-pamannya berburu di hutan, bermain dengan Elodie belum genap satu jam, Gerald sudah datang dan bilang akan membawa Elodie pulang. "Elodie sejak pagi tadi memintaku untuk menelfonmu, Rald. Aku malah takut dia mengajak pulang, jadi aku alihkan perhatiannya," ucap Martin sambil tersenyum. "Dengan adanya Elodie di sini, aku seperti punya anak lagi." Gerald terkekeh, ia mengusap pucuk kepala putri kecilnya yang duduk di pangk