Di tempat lain, suasana tenang dan hening memenuhi ruangan meeting pagi ini. Hanya ada satu orang yang tengah berbicara di depan sana. Giselle duduk di samping Gerald yang tengah mendengarkan sebuah pendapat yang disampaikan oleh rekannya. Namun, di tengah keheningan itu tiba-tiba suara deringan ponsel terdengar. Giselle tersentak saat ponselnya berdering, semua orang menatapnya, termasuk Gerald. Giselle meraih ponselnya dengan wajah panik. "Madam Willow?" lirihnya. Ia beranjak dari duduknya dan menatap semua orang di dalam ruangan itu. "Saya permisi sebentar." Giselle menjawab panggilan itu cepat sambil melangkah keluar. "Halo, Madam?" "Nyonya, tolong cepat ke sini. Elodie pingsan setelah muntah dan keluar darah!" pekik Madam Willow di balik panggilan itu. "A-apa?!" pekik Giselle histeris. Wanita itu menutup mulutnya.Gerald yang berada di dalam ruang meeting mendengar pekikan Giselle di luar. Laki-laki itu segera beranjak dari duduknya dan melangkah keluar meninggalkan ruanga
Sejak pagi hingga sore hari, Giselle belum kembali ke kantor setelah pagi tadi dia pergi sambil menangis kepanikan. Gerald kebingungan mencari ke mana Giselle saat ini. Panggilannya juga tidak dijawab sama sekali oleh Giselle. Gerald hanya ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. "Ke mana kau, Giselle?" gumam Gerald dengan wajah bingung. Pandangannya terus tertuju pada meja kerja Giselle. Semua barang-barangnya masih ada di sana, dari tas, hingga berkas-berkas pekerjaannya yang biasa Giselle bawa pulang. Gerald mengusap wajahnya dan memejamkan kedua matanya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa cemas yang kini menakutinya. Sergio—ajudan Gerald yang kini tengah duduk di sofa, tampak memperhatikan Tuannya yang sangat gundah dan gelisah. "Tuan Gerald, Tuan bisa mencari Nona Giselle ke rumahnya kalau memang Tuan sangat mencemaskannya," ujar Sergio memberikan saran. Decakan pelan terdengar dari bibir Gerald. "Siapa yang mencemaskannya?" ketus laki-laki itu. "Aku h
Giselle yang tengah menangis, tampak terkejut saat tiba-tiba seorang laki-laki mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan begitu pelan. Lantas, Giselle mengangkat wajahnya perlahan dan dia melihat sosok Dean yang berdiri di sampingnya, menatap Giselle dengan begitu cemas dan iba. Dean menangkup satu pipi Giselle sebelum menarik wanita itu ke dalam pelukan hangat. Giselle menangis dalam pelukan Dean. Ia menumpahkan semua sesak di dalam dadanya yang ia tahan sejak tadi. "Sssttt, tenanglah, kau tidak sendirian. Aku akan menemanimu menjaga Elodie," ujar Dean mengusap punggung Giselle. "Elodie ... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pada Elodie, Dean," isak Giselle, jemarinya meremas punggung Dean yang dilapisi tuxedo hitamnya. "Elodie pasti akan sembuh. Kau jangan menangis seperti ini, kau harus tenang, Giselle. Kasihan Elodie kalau kau larut dalam kesedihanmu," ujar Dean dengan begitu sabar. Giselle menarik tubuhnya dari pelukan Dean. Wanita itu menyeka air matanya cepat da
Sudah dua hari ini Giselle tidak kembali ke kantor, dan Gerald sama sekali belum bertemu dengan wanita itu. Selama dua hari itu juga, Gerald tidak bisa fokus bekerja, ia terus uring-uringan pada Kelly yang menggantikan Giselle selama dua hari ini sebagai asistennya. Sejak kemarin, Kelly sudah berkali-kali dimarahi oleh Gerald. Seperti halnya di sore ini. "Kenapa susunan berkasnya tidak rapi sama sekali?!" Gerald meletakkan dengan kasar berkas itu di hadapan Kelly. "Maaf, Pak. Tapi ini semua sudah saya susun seperti yang Pak Gerald minta," jawab wanita itu. "Kau bisa mencontoh berkas-berkas milik Giselle! Berapa kali kubilang! Harus sama persis!" pekiknya dengan wajah mengeras marah. Wanita dewasa itu kembali menatap Gerald lagi. Sudah dua tahunan Kelly menjadi bawahan Gerald, tapi dia tidak pernah melihat Bosnya emosi seperti ini. Sejak Giselle tidak ke kantor, Gerald terlihat kacau, tidak seperti biasanya. Bahkan ada beberapa meeting yang dia batalkan karena alasan pekerjaanny
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang. Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya. “Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald. "Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka. Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "K
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Sudah dua hari ini Giselle tidak kembali ke kantor, dan Gerald sama sekali belum bertemu dengan wanita itu. Selama dua hari itu juga, Gerald tidak bisa fokus bekerja, ia terus uring-uringan pada Kelly yang menggantikan Giselle selama dua hari ini sebagai asistennya. Sejak kemarin, Kelly sudah berkali-kali dimarahi oleh Gerald. Seperti halnya di sore ini. "Kenapa susunan berkasnya tidak rapi sama sekali?!" Gerald meletakkan dengan kasar berkas itu di hadapan Kelly. "Maaf, Pak. Tapi ini semua sudah saya susun seperti yang Pak Gerald minta," jawab wanita itu. "Kau bisa mencontoh berkas-berkas milik Giselle! Berapa kali kubilang! Harus sama persis!" pekiknya dengan wajah mengeras marah. Wanita dewasa itu kembali menatap Gerald lagi. Sudah dua tahunan Kelly menjadi bawahan Gerald, tapi dia tidak pernah melihat Bosnya emosi seperti ini. Sejak Giselle tidak ke kantor, Gerald terlihat kacau, tidak seperti biasanya. Bahkan ada beberapa meeting yang dia batalkan karena alasan pekerjaanny
Giselle yang tengah menangis, tampak terkejut saat tiba-tiba seorang laki-laki mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan begitu pelan. Lantas, Giselle mengangkat wajahnya perlahan dan dia melihat sosok Dean yang berdiri di sampingnya, menatap Giselle dengan begitu cemas dan iba. Dean menangkup satu pipi Giselle sebelum menarik wanita itu ke dalam pelukan hangat. Giselle menangis dalam pelukan Dean. Ia menumpahkan semua sesak di dalam dadanya yang ia tahan sejak tadi. "Sssttt, tenanglah, kau tidak sendirian. Aku akan menemanimu menjaga Elodie," ujar Dean mengusap punggung Giselle. "Elodie ... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pada Elodie, Dean," isak Giselle, jemarinya meremas punggung Dean yang dilapisi tuxedo hitamnya. "Elodie pasti akan sembuh. Kau jangan menangis seperti ini, kau harus tenang, Giselle. Kasihan Elodie kalau kau larut dalam kesedihanmu," ujar Dean dengan begitu sabar. Giselle menarik tubuhnya dari pelukan Dean. Wanita itu menyeka air matanya cepat da
Sejak pagi hingga sore hari, Giselle belum kembali ke kantor setelah pagi tadi dia pergi sambil menangis kepanikan. Gerald kebingungan mencari ke mana Giselle saat ini. Panggilannya juga tidak dijawab sama sekali oleh Giselle. Gerald hanya ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. "Ke mana kau, Giselle?" gumam Gerald dengan wajah bingung. Pandangannya terus tertuju pada meja kerja Giselle. Semua barang-barangnya masih ada di sana, dari tas, hingga berkas-berkas pekerjaannya yang biasa Giselle bawa pulang. Gerald mengusap wajahnya dan memejamkan kedua matanya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa cemas yang kini menakutinya. Sergio—ajudan Gerald yang kini tengah duduk di sofa, tampak memperhatikan Tuannya yang sangat gundah dan gelisah. "Tuan Gerald, Tuan bisa mencari Nona Giselle ke rumahnya kalau memang Tuan sangat mencemaskannya," ujar Sergio memberikan saran. Decakan pelan terdengar dari bibir Gerald. "Siapa yang mencemaskannya?" ketus laki-laki itu. "Aku h
Di tempat lain, suasana tenang dan hening memenuhi ruangan meeting pagi ini. Hanya ada satu orang yang tengah berbicara di depan sana. Giselle duduk di samping Gerald yang tengah mendengarkan sebuah pendapat yang disampaikan oleh rekannya. Namun, di tengah keheningan itu tiba-tiba suara deringan ponsel terdengar. Giselle tersentak saat ponselnya berdering, semua orang menatapnya, termasuk Gerald. Giselle meraih ponselnya dengan wajah panik. "Madam Willow?" lirihnya. Ia beranjak dari duduknya dan menatap semua orang di dalam ruangan itu. "Saya permisi sebentar." Giselle menjawab panggilan itu cepat sambil melangkah keluar. "Halo, Madam?" "Nyonya, tolong cepat ke sini. Elodie pingsan setelah muntah dan keluar darah!" pekik Madam Willow di balik panggilan itu. "A-apa?!" pekik Giselle histeris. Wanita itu menutup mulutnya.Gerald yang berada di dalam ruang meeting mendengar pekikan Giselle di luar. Laki-laki itu segera beranjak dari duduknya dan melangkah keluar meninggalkan ruanga
Keesokan paginya, Giselle kembali menitipkan Elodie ke tempat penitipan seperti biasa. Putri kecilnya masih rewel, bahkan sejak bangun tidur tadi pagi, Elodie tidak mau lepas dari pelukan Giselle. "Mama tidak boleh bekerja, tidak boleh tinggal Elodie di sini. Elodie mau ikut Mama saja," rengek Elodie sambil merengkuh erat leher Giselle. Giselle mengusap lembut punggung Elodie. "Tapi Mama harus bekerja, Sayang. Katanya Elodie ingin membeli sepeda kecil buat jalan-jalan?" ujar wanita itu menatap wajah mungil si kecil. Bibir Elodie mencebik lucu, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan. Tetapi, alih-alih melepaskan pelukan sang Mama, Elodie justru semakin mendusal dalam ceruk leher Giselle. Dari dalam rumah penitipan, muncul Madam Willow mendekati mereka berdua. "Loh, Elodie kenapa masih gendong, Sayang?" tanya Madam Willow mendekati Giselle. "Ayo, Madam gendong saja, Nak. Mama harus pergi bekerja, Sayang." "Mama," rengek Elodie saat Madam Willow menariknya. Giselle tersenyum lembut
Dua hari kemudian. Rasa penasaran yang tersimpan dalam hati Laura tentang anak kecil yang selalu bersama Giselle, selalu menghantui dan membuat Laura gila karena penasaran. Sore ini, Laura dengan sengaja membuntuti Giselle yang baru saja keluar dari dalam kantor milik Gerald. "Hmm, ke mana dia akan pergi setelah ini?" gerutu Laura. Wanita itu melajukan mobilnya dan mengikuti bus yang membawa Giselle. Hingga tak lama kemudian, bus kota berwarna merah itu sampai di depan sebuah rumah tempat. Laura menghentikan mobilnya cepat dan melepaskan kaca mata hitam yang ia pakai. "Rumah penitipan anak-anak?!" serunya dengan wajah tercengang tak percaya. Laura menatap ke depan sana, ia melihat dengan baik dan jeli ketika seorang anak perempuan berlari ke arah Giselle dengan wajah cerianya. "Mama, yeay Mama sudah pulang..!" pekik anak kecil perempuan itu berhambur memeluk Giselle dengan penuh kerinduan. Mendengar suara pekikan anak itu, lantas Laura menutup mulutnya tak percaya. "Mama?!"
Acara makan malam di kediaman Keluarga Gilbert berlangsung malam ini. Gerald dan Laura datang bersama. Setelah pertengkarannya pagi tadi dengan Laura, entah kenapa Mamanya langsung menghubunginya dan mengajak mereka untuk makan malam bersama. "Kalau tidak begini, mungkin Gerald tidak akan datang ke rumah ini," ucap Marisa menatap putranya yang duduk di samping Laura. "Mama meminta semua pelayan memasak makanan kesukaanmu, Gerald." Gerald hanya memberikan anggukan kepala saja tanpa menjawabnya. Sedangkan Laura, begitu bersemangat di sana. Dia memang paling pintar mencari muka di hadapan orang tua Gerald. "Persiapan pernikahan kalian sudah siap berapa persen?" tanya Charles menatap putranya, dan juga calon menantunya. "Emmm ... sebenarnya sudah hampir tujuh puluh persen, Om. Hanya saja, Gerald sangat sibuk jadi saya harus mengurus semuanya sendirian, dan saya—""Sudah aku katakan, bukan? Aku tidak ingin pernikahan itu dimajukan di bulan depan!" tekan Gerald, ia menatap Laura di sa
Rasa lelah yang Giselle rasakan karena bekerja seharian pun terobati saat ia menjemput Elodie. Putri kecilnya yang selalu menunggunya di rumah penitipan setiap hari. Kedatangan Giselle disambut oleh Madam Willow yang langsung memanggil Elodie di dalam. "Elodie, Mama sudah datang," ujar Madam Willow pada anak kecil perempuan berbalut pakaian hangat berwarna merah muda itu. Giselle tersenyum lebar saat Elodie muncul. Putri kecilnya itu langsung berlari ke arahnya dengan kedua tangan terlentang. "Mama...!" pekik Elodie begitu heboh, wajah cantiknya berseri-seri bahagia. Anak itu langsung berhambur dalam pelukan Giselle. Memeluk erat tubuh sang Mama, mendusal dalam ceruk leher Giselle yang hangat. "Mama, Elodie kangen," ucapnya dengan kedua mata terpejam. "Oh ya? Coba kecup Mama dulu kalau Elodie kangen," pinta Giselle mendekatkan pipinya. Elodie langsung menghujani pipi Giselle dengan kecupan bibirnya. Giselle terkekeh geli melihat putrinya begitu bersemangat. "Ma, Elodie mau ge
Giselle masuk ke dalam ruangan kerjanya setelah Laura pergi. Suasana di dalam ruangan CEO itu pun masih sangat tidak nyaman setelah pertengkaran hebat yang terjadi antara Gerald dan Laura. Dengan perasaan yang gamang, Giselle melangkah ke arah meja kerjanya. Pandangannya tersita pada sosok Gerald yang masih terlihat sangat kesal. Sendu kedua mata Giselle menatapnya. 'Apakah dia juga akan marah padaku?'Giselle kembali tertunduk dan wanita itu mencoba fokus pada pekerjaannya. Sedangkan di meja CEO, Gerald yang kini masih diselimuti kekesalan. Laki-laki itu diam memperhatikan Giselle yang terlihat diam tak menyapanya sama sekali. Tanpa berkata-kata, Gerald beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Giselle."Ikut denganku!" Gerald menarik lengan Giselle saat itu juga. Wanita itu sontak mendongakkan kepalanya menatap Gerald. "Ke mana, Pak? Pe-pekerjaan saya—""Ikut, jangan membantahku!" tegas Gerald menatapnya dengan tatapan dan sorot mata dingin. Giselle tergemap menatap raut m