LOGINVanya tidak langsung menjawab.Ia berdiri di tempatnya, menatap Hani beberapa detik lebih lama dari yang diperlukan. Tatapan itu bukan tatapan marah, bukan pula tatapan tersinggung. Justru sebaliknya, tenang, datar, dan entah kenapa membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.Lalu Vanya tersenyum.Senyum kecil, rapi, tanpa emosi berlebihan.“Tidak apa-apa,” ucapnya pelan. “Setiap orang punya caranya sendiri untuk merasa bahagia.”Ia melirik taman bunga di balik pagar itu sebentar, seolah hanya memastikan sesuatu, lalu kembali menatap Hani. “Dan aku tidak merasa perlu membandingkan.”Kalimat itu meluncur ringan, namun justru karena itulah, kata-kata itu terasa lebih menusuk. Tidak ada pembelaan, tidak ada penyangkalan, tidak ada usaha menjelaskan apa pun.Hani terdiam sejenak. Ekspresi puas di wajahnya barusan meredup sedikit, digantikan kerutan tipis di antara alisnya. Ia jelas mengharapkan reaksi lain, entah itu wajah terluka, suara bergetar, atau setidaknya bantahan yang me
Tentu saja ucapan Kevin membuat Vanya terkejut.Ia tidak pernah membayangkan Kevin akan bereaksi sejauh itu hanya karena satu tempat wisata. Tatapan Vanya refleks beralih ke wajah Kevin, mencari tanda bahwa pria itu sedang bercanda. Namun sorot mata Kevin tetap tenang, terlalu serius untuk dianggap main-main.Bukan hanya Vanya yang terkejut.Petugas di pintu masuk taman bunga itu tampak terpaku, alisnya terangkat tinggi, sementara Risa bahkan sampai menahan napas. Jelas tidak ada satu pun dari mereka yang mengira Kevin akan langsung mengucapkan kalimat seperti itu tanpa ragu.“Aku akan membayar tiga kali lipat dari biaya penyewaan hari ini,” ulang Kevin dengan nada datar, seolah sedang menawar kopi, bukan satu taman bunga yang sudah dipesan seharian penuh.“Kevin,” Vanya menahan lengannya pelan, suaranya diturunkan. “Kau jangan berlebihan.”Ia tidak ingin Kevin menghamburkan uang hanya demi menuruti kekecewaannya. Baginya, ini memang mengecewakan, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa dit
Saat Vanya keluar dari kamar mandi, langkahnya terhenti begitu saja.Pintu balkon kamar terbuka lebar, tirai tipis melambai pelan diterpa angin laut. Udara asin dari laut bercampur dengan aroma sabun yang masih melekat di tubuh Vanya.Di sana, Kevin duduk santai di kursi dekat balkon. Kemeja putihnya hanya dikancingkan separuh, lengan digulung sampai siku dan rambutnya sedikit berantakan karena ditiup angin. Tatapan Kevin tertuju ke luar, terlihat cukup tenang.Entah kenapa, pemandangan itu membuat dada Vanya terasa aneh.Matanya mengamati garis rahang Kevin yang tegas, sorot matanya yang tenang, juga cara pria itu terlihat begitu menyatu dengan cahaya siang. Vanya bahkan tidak sadar kalau bibirnya melengkung kecil, senyum yang muncul tanpa ia perintahkan.Suaminya terlihat sangat tampan.Kevin akhirnya menoleh. Tatapan mereka bertemu tepat ketika Vanya masih terlalu sibuk menikmati pemandangan itu.“Selesai mandi?” tanya Kevin santai, lalu alisnya terangkat sedikit. “Atau … sudah pua
Di tempat lain.Siang ini, langkah Hani terasa jauh lebih ringan, dia masih duduk santai di dalam kamarnya, mencoba menikmati alam Solmora yang cukup indah jika dipandang dari tempat ini.Sejak awal penerbangan hingga pesawat mendarat di Solmora, suasana hatinya sangat kusut ditambah lagi permasalahan dengan Vanya saat tiba di bandara, tetapi semuanya berubah membaik saat dia sudah memastikan satu hal penting kemarin.Bayangannya kembali ke hari di mana dia mengetahui hal yang membuatnya sangat bahagia.“Jadi … katakan padaku, siapa yang pewaris The K yang kalian bilang itu?” tanya Hani dengan sangat penasaran.Bukan tanpa alasan dia menjadi sangat penasaran, tetapi ciri-ciri yang mereka bicarakan itu, entah kenapa mirip dengan pasangan Vanya.Awalnya juniornya ini tidak mau bicara, tapi … karena tatapan Hani sangat menekan membuatnya berbicara. “Dia adalah … Tuan Kendrick yang duduk di bangku tengah.”Mendengar hal itu tentu saja Hani sedikit lega. Setidaknya bukan pria yang duduk di
Halo sayang-sayangnya Chinta 🤍 Maafin Chinta ya, menghilang tanpa kabar, berasa dighosting semua jadinya. Bukan karena lupa, tapi karena badan minta dipeluk dulu di rumah sakit sejak Minggu dan kemarin sore baru aja pulang.Jadi ceritanya kali ini: si dedek di perut lagi bikin drama. Mual dan muntahnya lumayan kejam, sampai Chinta cuma bisa bertahan dari cairan infus. Dan Yeah ... ternyata segitu parahnya yang terjadi, yang dulu mikirnya apa iya ada sampe yang begitu? Ternyata dibuktikan pada diri sendiri dan ini pertama kali-nya.Terima kasih banget buat doa, perhatian, dan kesabaran sayang-sayangnya Chinta semua. Diam-diam, itu jadi penguat paling manis buat Chinta 🤍 Kalau tidak ada halangan lagi, cerita akan update hari ini jam 15.00 WIB, cuma bisa cepet kalo ga ada drama lagi hehehe!Terima kasih sudah tetap nunggu, tetap sayang, dan nggak pergi ke mana-mana. Chinta balik lagi ya… pelan-pelan, tapi dengan hati penuh cintaaaa.... Sayang kalian banyak-banyak!
Aroma parfum itu yang membangunkannya.Aroma yang kini perlahan ia hafal, bersih, hangat, khas Kevin.Vanya mengerjapkan mata, lalu langsung duduk tegak.Kevin sudah berpakaian rapi. Kemeja putih dengan lengan tergulung, celana gelap yang jatuh sempurna, jam tangan terpasang di pergelangan tangannya. Rambutnya sedikit basah, seolah baru selesai mandi.“A-aku kesiangan lagi, ya?” Vanya berseru panik.Ia meraih ponselnya dan hampir menjatuhkannya ketika melihat jam. Hampir pukul sebelas siang.Kevin menoleh, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Sepertinya kau memang selalu menikmati waktu tidurmu saat bersamaku.”Wajah Vanya langsung memerah.“Itu bukan karena—” Kalimatnya terputus saat ia baru menyadari satu hal krusial. Tanpa sadar tubuhnya yang polos itu terekspos jelas karena selimut sudah luruh ke bagian bawah perutnya.“Astaga!!!” Jeritan kecil keluar begitu saja. Vanya langsung mengangkat selimut itu agar menutupi tubuh polos bagian atasnya.Kevin mengangkat alis melihat tingka







