Ketika tatapan Kevin mengunci padanya, dunia seolah berhenti berputar bagi Vanya.
Sejak awal dia sudah bertekad untuk tidak terlibat masalah, tapi nyatanya saat ini dia malah menyeret Kevin masuk ke dalam masalahnya!
Kevin menggerakkan tubuhnya perlahan, bahunya sedikit condong ke depan, lalu satu tangannya mulai terangkat ke arah Vanya, membuat gadis itu mengira pria tersebut akan memukulnya, sama persis seperti ibu dan saudara tirinya.
Refleks, Vanya menutup mata, tapi—
Kenapa tidak kunjung ada pukulan yang Vanya terima?
“Kenapa kamu menutup mata?”
Pertanyaan itu membuat Vanya langsung membuka matanya, dan seketika, dia terperangah.
Ternyata, Kevin menyodorkan tangan ke arahnya!
Apa pria yang dirumorkan kejam dan berdarah dingin ini … sedang membantunya untuk berdiri?!
“Tidak mau berdiri?” Suara berat Kevin terdengar, alis pria itu tertaut, menampakkan bingung bercampur sedikit rasa tidak sabar.
Walau ragu, cepat Vanya menerima uluran tangan itu. Jarinya sedikit gemetar saat kehangatan tangan Kevin menggenggam tangannya dan membantunya berdiri.
Namun, karena Kevin menarik tangannya dengan cepat, tubuh Vanya kehilangan keseimbangan. Dia terhuyung, lalu menabrak Kevin dan tanpa sadar memeluk tubuh pria itu.
Hening. Ruangan seakan membeku menyaksikan adegan itu.
“Astaga …! Nona, kamu terang-terangan sedang mencari kesempatan pada Tuan Kevin?” Wanita yang mendorong Vanya tadi kembali bicara, wajahnya memperlihatkan ekspresi keterkejutan yang berlebihan.
Vanya segera melepaskan tangannya. “M-maaf, saya tidak sengaja ….” Dia membungkuk beberapa kali di depan Kevin.
Tanpa Vanya sadari, Kevin menatap tangannya yang terasa kosong setelah dilepaskan. Hanya untuk sesaat, sebelum kemudian fokus semua orang beralih pada sebuah suara.
“Vanya?”
Semua orang menoleh. Ternyata, Lesmana dan Febiola muncul dari balik kerumunan, baru menyadari bahwa putri dari keluarga mereka tampak terlibat masalah.
“Apa yang terjadi?” tanya Febiola dengan wajah khawatir yang dibuat-buat, tapi Vanya bisa melihat kekesalan dari pancaran matanya.
Dengan gugup Vanya angkat bicara, “Ini … aku—”
“Tuan Dirgantara,” sebuah suara lain memotong, dan Vanya menyadari itu adalah wanita yang mendorongnya ke arah pelayan. “Bagaimana Anda mendidik putri Anda? Karena iri dan dengki terhadap Nona Amira Darmawangsa, putri Anda berniat mendorongnya! Tapi untung saja langit memang adil, niat jahatnya gagal dan dia malah jatuh sendiri!”
Pernyataan itu membuat sejumlah orang langsung berbisik, merendahkan dan bergosip. Bagaimana bisa tindakan tidak berpendidikan seperti itu dilakukan oleh keturunan Dirgantara? Salah satu keluarga terbesar di negara ini? Sungguh memalukan!
Di sisi lain, mendengar pernyataan itu, Vanya mendapati wajah sang ayah memerah karena marah. Cepat, dia menggelengkan pelan kepalanya sambil melihat ke arah Lesmana.
“Ayah itu–”
“Minta maaf pada Nona Amira!” potong Lesmana dengan suara yang terdengar sangat tegas.
Hal itu membuat Vanya terkejut. Dia bahkan belum menjelaskan apa pun, tapi sang ayah tidak berniat mendengarkan penjelasannya?
“Tapi ayah, aku—”
“Nona Vanya tidak sedang bersandiwara untuk pura-pura menjadi korban, kan?” Wanita itu kembali memotong. “Nona Amira hampir celaka, jadi sesuai perintah Tuan Dirgantara, sudah seharusnya kamu meminta maaf!”
Semua orang menganggukkan kepala.
“Itu benar ….”
“Ya, dia sudah berniat jahat, harusnya dia malu dan minta maaf ….”
“Dia masih sempat menggoda Tuan Kevin pula. Sungguh menggelikan ….”
Vanya menggigit bibirnya. Air mata mulai menggenang di pelupuknya.
Dia tidak salah, tapi kenapa tidak ada yang mau percaya? Apa sama seperti di rumah, di dunia luar … kebenaran juga sama tidak berharganya di hadapan status dan kedudukan?
Melihat Vanya hanya terdiam, Lesmana menjadi semakin tidak sabar dan membentak, “Vanya! Cepat minta maaf!”
Vanya merasakan hatinya seolah hancur mendengar tekanan sang ayah. Tapi … memang nasibnya selalu begini, tidak di dalam maupun di luar rumah, dia selalu menjadi pihak yang salah dan dikambinghitamkan.
Sudah menerima nasibnya, akhirnya Vanya berbalik sebelum kemudian melangkah pelan ke arah Amira. Setiap hentakan sepatunya terdengar seperti beban yang sangat berat.
Saat akhirnya berhadapan dengan Amira, Vanya melihat bagaimana wanita itu memasang ekspresi ketakutan dan khawatir, sebuah kepura-puraan lantaran tadi dia begitu angkuh ketika berbicara dengan Vanya.
Menarik napas panjang, Vanya pun mulai membungkuk. “Nona Amira, aku—”
TAP!
Belum sepenuhnya membungkuk, Vanya bisa merasakan sebuah tangan menahan lengannya.
Vanya refleks menoleh, lalu mematung saat melihat bahwa pelakunya adalah Kevin!
Ekspresi pria itu tampak marah, dan hal itu membuat tubuh Vanya gemetar.
Kesalahan apa lagi yang sudah dia perbuat?
Namun, sebelum Vanya sempat bertanya, pandangan Kevin menyapu seisi ruangan. “Apa aku yang terlalu bodoh untuk mengerti, atau kalian semua yang buta dan tidak melihat apa yang tadi terjadi?”
Pernyataan Kevin membuat semua orang terkejut, terutama Vanya.
Apa maksud ucapan pria itu?
Seakan membaca pikirannya, Amira memaksakan sebuah senyuman untuk bertanya, “Apa … maksud ucapanmu, Tuan Kevin?”
Kevin menatap Amira untuk sesaat, sebelum kemudian dia mengalihkan pandangan dan menunjuk pada wanita yang tadi mendorong dan juga menekan Vanya untuk meminta maaf pada Amira.
“Kamu yang sudah mendorong Nona Dirgantara ke arah pelayan sampai dia terjatuh, bukankah seharusnya kamu yang meminta maaf pada Nona Dirgantara?”
Sekujur tubuh Vanya bergetar, wajahnya langsung menunduk, terlihat jelas ada rasa takut di sana. Dia benar-benar mengutuk tindakannya sendiri yang terlalu bodoh melakukan tindakan sekonyol itu.“Lihat aku,” ucap Kevin dengan nada datar, “jangan tundukan kepalamu itu.”Mendengar hal itu dengan perasaan ragu dan takut dia mendongakkan wajahnya. Memberanikan diri menatap mata Kevin.“Apa kamu baru saja melamarku, Nona Dirgantara?” ulang Kevin dengan pertanyaan sebelumnya.“A-aku … aku tidak bermaksud b-bertindak lancang, Tuan, aku hanya … hanya ….” Lidah Vanya mendadak kelu, jantungnya berdegup kencang tak karuan, dia benar-benar takut, terlihat jelas gemetar saat jari-jarinya saling bertautan.Apalagi saat dia mengingat tindakan Kevin yang mengusir Winda dan mengatakan pada orang-orangnya untuk mengusir wanita itu dan keluarganya dari kota Cavendra ini. Hal ini makin membuatnya ketakutan, bayangan siksaan dari keluarganya jelas akan sangat lebih kejam lagi untuk ke depannya. Lalu detik
Vanya benar-benar tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini, apalagi semua perlakuan hangat dan juga pembelaan yang dilakukan Kevin semuanya adalah hal asing untuknya. Dia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya dibela dan diperhatikan oleh orang lain setelah masuk ke kediaman Dirgantara.Kemudian, Vanya melihat ke arah Febiola yang mana saat ini wajahnya terlihat kesal, tatapannya penuh amarah memandang punggung Kevin yang kian menjauh.“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan,” ucap Lesmana menenangkan Febiola dan merangkul istrinya itu.Febiola lalu menarik napas panjang kemudian tatapannya beralih ke arah Vanya. “Aku tidak akan menerima penghinaan seperti itu kalau anak harammu ini tidak membuat masalah!”Rasanya baru saja Vanya mendapatkan perlindungan, tetapi setelah pemilik kekuatan itu pergi dia kembali merasa ditekan oleh tatapan tajam dan sinis dari Febiola. Sungguh ironis memang.“Kita temui Keluarga Baskara saja, kebetulan kita butuh dukungannya juga.” Lesmana kemudian
Mendengar ucapan Kevin, wanita itu sangat terkejut. “A-apa? A-aku tidak mungkin mendorongnya!”Menyadari kalau hal ini akan jauh lebih rumit, Amira berusaha untuk tenang dan menjelaskan. “Tuan Kevin, Nona Winda Bastian sudah mengatakan hal yang sebenarnya, jelas-jelas semua orang dia melihat kalau Nona Dirgantara yang berniat mendorong pelayan untuk mencelakai saya jadi—”“Maksudmu, kau ingin mengatakan kalau mataku bermasalah begitu?” potong Kevin dengan suara yang cukup dingin.Tatapan yang cukup mematikan dari Kevin dan juga pernyataannya barusan membuat Amira mematung dan suasana di ruangan itu berubah menjadi menegangkan.Kevin lalu mendengus, kemudian menatap ke arah Vanya, hanya saja tatapan itu berubah menjadi sedikit lebih lembut. “Katakan, apa kamu mendorong pelayan itu?”Vanya tersentak saat ditanya Kevin, lalu setelah terdiam sesaat karena keterkejutan itu, dia menggeleng pelan dan berkata dengan suara lemah, “Tidak ….”Saat Vanya mengatakan hal demikian, Winda, wanita tad
Ketika tatapan Kevin mengunci padanya, dunia seolah berhenti berputar bagi Vanya. Sejak awal dia sudah bertekad untuk tidak terlibat masalah, tapi nyatanya saat ini dia malah menyeret Kevin masuk ke dalam masalahnya!Kevin menggerakkan tubuhnya perlahan, bahunya sedikit condong ke depan, lalu satu tangannya mulai terangkat ke arah Vanya, membuat gadis itu mengira pria tersebut akan memukulnya, sama persis seperti ibu dan saudara tirinya.Refleks, Vanya menutup mata, tapi—Kenapa tidak kunjung ada pukulan yang Vanya terima?“Kenapa kamu menutup mata?”Pertanyaan itu membuat Vanya langsung membuka matanya, dan seketika, dia terperangah.Ternyata, Kevin menyodorkan tangan ke arahnya!Apa pria yang dirumorkan kejam dan berdarah dingin ini … sedang membantunya untuk berdiri?!“Tidak mau berdiri?” Suara berat Kevin terdengar, alis pria itu tertaut, menampakkan bingung bercampur sedikit rasa tidak sabar.Walau ragu, cepat Vanya menerima uluran tangan itu. Jarinya sedikit gemetar saat kehang
“Senang bertemu dengan Anda, Tuan Kevin Wicaksana!”Gejolak meriah dari para tamu undangan langsung menyadarkan Vanya dari lamunannya. Dia gegas mengalihkan wajah, memutus pandangannya yang sepersekian detik bertabrakan dengan manik kelabu milik Kevin Wicaksana.Vanya meletakkan tangan di dadanya. Jantungnya berdebar, kencang. Entah karena efek emosi yang sempat ada akibat cacian Febiola terhadap sang ibu … atau karena kehadiran sosok Kevin Wicaksana.Menarik napas dalam untuk menenangkan diri, Vanya kembali mengalihkan pandangan ke arah pria tersebut. Tampak sosok Kevin sedang berbincang dengan beberapa kepala keluarga besar yang hadir.Setiap kepala keluarga itu membawa putri mereka, yang terlihat malu-malu saat diperkenalkan. Mata mereka berbinar kala menatap Kevin, semuanya seolah terhipnotis pada sosok tampan itu.“Kau berbaurlah dengan putri dari keluarga lain, tunjukkan dirimu layak diperhitungkan! Ingat jangan membuat masalah!” perintah Febiola padanya.“Tuan Muda Wicaksana in
Selagi Vanya masih terkejut dengan ucapan sang ayah, tiba-tiba dia mendengar sebuah jeritan kencang.“Ayah!” Itu Vira. Wajahnya merah padam, penuh amarah. “Apa Ayah serius?! Kalau sampai orang tahu tentang keberadaan anak haram ini, reputasi kita akan hancur! Bagaimana aku bisa menghadapi teman-temanku nanti?!”Menepis cara kasar penyampaian saudarinya, Dira—sang putri kedua—menimpali dengan tenang, “Vira benar, Ayah. Kalau dia yang pergi, bukankah itu sama saja dengan menghancurkan reputasi keluarga ini?”Selagi kedua adiknya bereaksi heboh, Lira—sang putri sulung—tersenyum sinis. “Lalu, kalau bukan dia, apa kalian yang mau pergi ke pesta itu? Kalau kalian mau, silakan saja.”Detik itu, dua saudari itu tersentak. Pun mereka malu kalau diketahui memiliki adik tiri yang lahir di luar nikah, tapi tetap saja mereka tidak mau mengorbankan diri untuk menjadi kandidat calon istri pria kejam seperti Kevin Wicaksana!Akhirnya, mereka pun terdiam.Di saat ini, Febiola angkat bicara, nadanya