MasukSekujur tubuh Vanya bergetar, wajahnya langsung menunduk, terlihat jelas ada rasa takut di sana. Dia benar-benar mengutuk tindakannya sendiri yang terlalu bodoh melakukan tindakan sekonyol itu.
“Lihat aku,” ucap Kevin dengan nada datar, “jangan tundukan kepalamu itu.”
Mendengar hal itu dengan perasaan ragu dan takut dia mendongakkan wajahnya. Memberanikan diri menatap mata Kevin.
“Apa kamu baru saja melamarku, Nona Dirgantara?” ulang Kevin dengan pertanyaan sebelumnya.
“A-aku … aku tidak bermaksud b-bertindak lancang, Tuan, aku hanya … hanya ….” Lidah Vanya mendadak kelu, jantungnya berdegup kencang tak karuan, dia benar-benar takut, terlihat jelas gemetar saat jari-jarinya saling bertautan.
Apalagi saat dia mengingat tindakan Kevin yang mengusir Winda dan mengatakan pada orang-orangnya untuk mengusir wanita itu dan keluarganya dari kota Cavendra ini. Hal ini makin membuatnya ketakutan, bayangan siksaan dari keluarganya jelas akan sangat lebih kejam lagi untuk ke depannya.
Lalu detik berikutnya, dia membungkukkan tubuhnya di depan Kevin. “Maaf, maaf, maaf, maaf Tuan Kevin, aku benar-benar sudah bertindak lancang.” Suaranya terdengar lirih nyaris ingin mengeluarkan tangisan.
Melihat Vanya bertindak seperti barusan membuat Kevin mengernyitkan keningnya.
Tap!
Kevin lalu menyentuh bahunya, membuat Vanya itu akhirnya menghentikan gerakannya yang kembali akan membungkukkan tubuhnya di hadapan Kevin.
Tubuh Vanya membeku, kedua matanya beradu pandang, hanya saja, tatapan Kevin benar-benar tidak memperlihatkan bentuk kekejaman di sana. Terasa sama seperti sebelumnya di dalam ballroom tadi.
“Katakan padaku, istri yang baik itu seperti apa?” Pertanyaan Kevin membuat mata Vanya mengerjap beberapa kali.
“I-istri yang baik, tentu saja istri yang bisa menjaga kehormatan suaminya.” Vanya berkata dengan suara bergetar.
Kevin mengangguk singkat, cukup membuat jantung Vanya makin berdegup kencang. Bingung dan takut bercampur jadi satu, karena tidak mengerti arti dari ekspresi pria itu.
“Lalu … apa alasanmu untuk menjadi istriku?” Pertanyaan itu membuat Vanya membeku. Keringat dingin mulai mengalir di punggungnya.
‘Apa alasannya?’ ulang Vanya dalam hati. Alasan yang sesungguhnya, jelas karena tekanan dari keluarganya, lalu apa dia ada alasan yang lain?
Kevin menghela napas dalam dan tersenyum miring.
“Tujuanmu menikah denganku karena dipaksa keluargamu, kan? Alasan menikah denganku agar keluargamu bisa melancarkan bisnis–”
“Benar,” potong Vanya cepat.
Kevin terlihat memperhatikan gerakan Vanya dengan detail, dia tidak menyangka kalau Vanya langsung membenarkan ucapannya.
“Tapi … kalau aku ada alasan lain lagi, apa … T-tuan Kevin bisa percaya padaku?” Mata Vanya menatap Kevin dengan tatapan yang terlihat sangat jernih, dengan napas yang tercekat, suara terdengar bergetar dan tangannya terkepal kuat. Dia mencoba untuk mengeluarkan semua keberaniannya untuk berkata pada Kevin.
“Alasanku … alasanku karena Anda sudah membantuku tadi,” ucap Vanya dengan jujur.
Mendengar pernyataan itu, Kevin langsung menautkan alisnya lalu, membuang napas dengan berat. “Berlebihan,” ucapnya, “lalu, apa setiap orang yang menolongmu akan kau ajak menikah?”
Vanya terkejut mendengarnya, lalu dia sedikit mengerucutkan bibirnya dan berkata, “Tidak begitu juga tapi karena kamu … kamu ….” Kembali Vanya tidak bisa berkata-kata di hadapan Kevin, lidahnya benar-benar terasa kelu.
“Sudahlah, kau masuk saja!” potong Kevin cepat, “di sini sangat dingin, salju mungkin akan turun malam ini, keluargamu akan repot kalau kau sakit.” Ucapan Kevin terdengar datar, tapi jelas memiliki arti besar untuk Vanya, bahkan pria itu memberikannya perhatian?
Tidak ingin berlama-lama dan mungkin akan terlibat masalah dengan Kevin, Vanya cepat membalikkan badannya dan berjalan cepat ke arah ballroom pesta, karena langkahnya yang sedikit tergesa, beberapa kali terlihat dia akan terjatuh karena menabrak anak tangga dan menginjak gaunnya sendiri.
Dari kejauhan Kevin melihat dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
Baru saja kembali ke tempat pesta itu, Febiola langsung menghampiri Vanya dengan wajah yang terlihat sedang menahan amarah.
“Dari mana saja kamu, heh?!” ucapnya dengan nada pelan tapi terasa sangat menekan, karena tidak mungkin dia berkata kasar pada Vanya di depan banyak orang. Setidaknya dia berusaha untuk menahan dirinya saat ini.
“Aku dari–”
“Sudah tidak penting untuk sekarang! Ikut aku!” Febiola menarik dengan sedikit kasar pergelangan tangan Vanya membuatnya terhuyung beberapa saat sebelum akhirnya menyesuaikan langkah dengan Febiola.
“Vanya, sepertinya mendapatkan Kevin terlalu sulit untukmu, maka aku dan ayahmu sudah memutuskan untuk tidak terlalu memaksamu,” ucap Febiola saat langkah mereka sejajar.
Vanya menoleh ke arah Febiola, tanpa ada kesempatan untuk bertanya, Febiola kembali bicara, “Aku dan ayahmu sudah sepakat untuk menikahkanmu dengan seseorang, tugasmu hanya mengiyakan dan tidak boleh menolak!”
Hal itu tentu membuat Vanya terkejut.
Lalu, langkah mereka berhenti di dekat Lesmana yang saat ini sedang bicara serius dengan Wiratama Kusnadi.
“Sayang, ternyata tadi Vanya sedang ke toilet,” ucap Febiola pada Lesmana.
Lesmana hanya tersenyum singkat lalu kembali berkata pada lawan bicaranya.
“Seperti yang saya katakan tadi, semua keputusan ada di tangan Vanya.” Lesmana berkata dengan penuh makna.
Entah kenapa dia merasa ada firasat buruk untuk dirinya.
Wiratama sama seperti sebelumnya, melihatnya dengan tatapan penuh nafsu, membuatnya sangat tidak nyaman. “Nona, aku sudah bicara pada orang tuamu, menurutku kamu sangat cocok untuk menjadi Nyonya di keluarga Kusnadi.”
Ucapan yang keluar dari mulut Wiratama itu membuat Vanya sangat terkejut.
“M-maksudnya?” Vanya tergagap dengan mata yang membesar.
“Wanita muda dan cantik sepertimu ini, lebih baik menjadi nyonya besar keluarga Kusnadi saja, jadilah istriku dan semua kemewahan yang dimiliki keluarga Kusnadi tentu saja akan jatuh ke tanganmu.” Ucapan itu membuat Vanya terkejut, dia lalu melihat ke arah Febiola dan Lesmana.
Vanya menoleh ke arah Lesmana dan Febiola, namun jelas tatapan Febiola sangat tegas kalau dia harus menyetujuinya.
“Nona,” Wiratama kembali mendesak, senyumnya melebar sementara tubuhnya semakin mendekat. “Posisi Nyonya Kusnadi sudah lama kosong. Aku butuh wanita sepertimu untuk mengatur semua urusan di rumahku. Bagaimana menurutmu?”
Tatapan matanya menyapu Vanya dari ujung kepala hingga kaki, membuat Vanya menjadi semakin terjepit, tangannya meremas kuat gaun yang dipakainya. Kemudian dengan berani Wiratama mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Vanya.
Refleks, Vanya menepisnya, napasnya tercekat.
“Ah ternyata kamu masih malu-malu ya, kalau begini aku makin menyukaimu, Nona.” Wiratama berkata dengan khas pria hidung belangnya, menatap Vanya seperti predator yang sedang menunggu mangsanya.
Vanya masih diam, namun sebelum dia sempat merangkai kata, suara lantang dari belakangnya memotong suasana.
“Kamu menyukainya, tapi apakah Nona Dirgantara ini juga menyukaimu?”
Serentak beberapa orang di sekitar mereka menoleh ke arah sumber suara.
“T-Tuan Kevin?” ucap Vanya terbata, refleks begitu melihat sosok itu berdiri tak jauh dari mereka.
Kehadiran Kevin seketika membuat Febiola waspada, sehingga ia buru-buru membuka suara. “Begini, Tuan Kevin. Kebetulan saat suami saya berbincang dengan Tuan Wiratama, ternyata Tuan Wiratama menyukai Vanya. Tentu saja niatnya serius, dia ingin melamar Vanya. Begitu kan, Sayang?” Ia melirik ke arah Lesmana, menuntut dukungan.
“Benar,” jawab Lesmana tanpa ragu. “Dan tentu saja kalau Vanya setuju, ini akan menjadi hal yang sangat membahagiakan.”
Mendengar jawaban itu, sorot mata Kevin sedikit menyipit. Suaranya terdengar datar, tapi menekan. “Kalau begitu … putrimu setuju menerima lamarannya?”
Ucapannya diiringi tatapan tajam yang kini beralih ke arah Vanya. Gadis itu menunduk buru-buru, seolah takut menanggung beratnya tatapan Kevin yang menusuk.
Tak ingin memberi celah Kevin untuk menghancurkan rencananya, Febiola langsung menyambar cepat, “Vanya harusnya setuju, karena Vanya sudah merasa cocok dengan Tuan Wiratama. Mungkin memang sudah berjodoh jadi takdir bisa menyatukan mereka.”
Kevin mendengus dingin. Tatapannya meninggalkan wajah Vanya dan beralih pada Lesmana. Bibirnya melengkung tipis, namun dingin.
“Tapi … bagaimana ya?” ucapnya santai, namun mengandung tekanan. “Aku juga tertarik dengan putrimu, dan berniat menikahinya. Apa aku tidak punya kesempatan?”
Vanya berjalan meninggalkan Lesmana, tetapi dalam hatinya bertanya-tanya, ‘Apa dirinya sudah terlalu kejam? Bukankah, walau bagaimana juga, Lesmana adalah ayahnya?’Hanya saja bagian dirinya yang lain mempertanyakan hal yang sebaliknya, ‘Setelah semua yang dilakukan Lesmana selama ini, apa dia masih pantas dianggap sebagai seorang ayah?’Rasa ragu itu sedikit mempermainkan hatinya, hingga akhirnya suara lembut terdengar di telinga. “Jangan murung begitu.”Vanya mendongak kaget dan melihat wajah Kevin yang membuatnya merasa tenang.“Apa mereka barusan menyakitimu?” Kevin bertanya dengan nada sedikit meninggi.“Haruskah aku menyuruh orang untuk menyuruh keluargamu pulang sekarang?”Alih-alih marah, Vanya malah tersenyum ringan nyaris terkekeh. Melihat sikap Kevin yang sedikit protektif padanya ini membuatnya merasa tidak perlu lagi memikirkan Keluarga Dirgantara lagi, bukankah sekarang keluarganya adalah Kevin? Sosok yang bersedia melindunginya.“Bukan apa-apa,” jawab Vanya singkat, lalu
Setelah acara selesai, tamu dari keluarga dekat dan orang-orang kepercayaan Keluarga Wicaksana sudah berangsur pulang. Di sisi lain, Keluarga Dirgantara perlahan melangkah mendekat ke arah Vanya yang kini berdiri agak jauh dari Kevin. Pria itu masih tampak berbincang ringan dengan beberapa kerabatnya. Orang pertama yang mendekatinya adalah Febiola, ibu tiri, diikuti oleh dua putrinya di belakangnya.Vanya sedikit membungkukkan tubuhnya memberikan penghormatan padanya dan juga kedua kakak tirinya yang hadir, Vira dan Dira,“Terima kasih sudah datang, Ibu, Kakak.” Vanya berkata dengan suara lembutnya.Seperti biasanya, Febiola tentu saja menunjukkan sisi malaikatnya di hadapan keluarga Kevin yang lain, dia tersenyum indah dan memberikan ucapan selamat padanya, lalu setelah itu memeluknya sambil berbisik pelan di telinga Vanya, “Dengar Vanya, kau pikir hidupmu akan aman di bawah pengaruh keluarga Wicaksana? Lihat saja nanti.”Vanya tidak lagi terkejut mendengarkan kalimat ancaman itu, tap
Setelah Kevin dan Vanya tiba di depan altar, Seorang pembawa acara dengan suara lembut memecah keheningan. “Upacara penyatuan kedua mempelai akan segera dimulai.” Lampu kristal yang baru saja menyala terang saat keduanya tiba di depan altar, sekarang kembali meredup perlahan, berganti dengan cahaya hangat lilin-lilin aromatik yang menyala di sekeliling altar kecil di tengah aula. Kemudian, musik lembut perlahan berhenti ketika seorang tetua adat Averland melangkah maju. Suaranya berat namun tenang, mengisi seluruh ruangan yang kini hening. “Dalam adat Averland, sebelum dua jiwa disatukan oleh cahaya, mereka harus terlebih dahulu menghormati keluarga sebagai asal mereka datang ke dunia dan membesarkan mereka. Karena dari sanalah segala restu bermula.” Tetua itu memberi isyarat, dan dua keluarga besar dipersilakan naik ke atas. Dari pihak Wicaksana, Johnson dan Dellia melangkah anggun mendekati altar. Sementara dari pihak Dirgantara, Lesmana dan Febiola berdiri berseberangan. S
Di antara decak kagum tamu undangan, Vanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum cepat. Tatapan-tatapan itu menusuk, sebagian memuja, sebagian heran, sebagian lagi ... tidak percaya. Akan tetapi, yang membuatnya paling gugup adalah suara kecil di kepalanya yang terus bertanya, “Apakah ini sungguh aku? Apakah ini nyata?”Musik lembut mulai mengalun. Kamera berputar, para tamu berdiri. Namun di sudut ruangan, keluarga Dirgantara masih terpaku, wajah-wajah mereka campuran antara keterkejutan dan rasa tak percaya tentu saja.Vira, yang sedari tadi selalu berkata penuh ejekan dan merendahkan sekarang malah menahan napas, menggigit bibir bawahnya. “Dia … ternyata sangat tampan,” gumamnya, hampir seperti mengutuk.Sama halnya yang dilakukan Dira, gadis itu tampak tak berkedip melihat Kevin dan Vanya. “Apa itu benar-benar Kevin? Lalu di sebelahnya itu si anak haram?”“Kenapa dia … jadi sangat berbeda?” Dira mendesis.Keduanya yang berekspektasi tinggi untuk kehancuran pernikahan in
Beberapa waktu sebelumnya di Kediaman Dirgantara.“Kak Lira, kau yakin tidak ingin pergi ke acara itu?” tanya Vira memastikan sekali lagi pada saudaranya itu.Lira melirik sebentar dari ponselnya, lalu menggeleng. “Tidak. Aku ada urusan malam ini. Pastikan saja kau merekam semuanya, terutama wajah si monster itu. Setelahnya, kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?”Vira mengangguk. Ia memang terbiasa memegang kamera dan tampil di depan publik. Sebagai influencer di bidang finansial, reputasinya di dunia maya cukup tinggi. Apalagi didukung oleh latar belakang pendidikan dan keluarganya. “Ya, aku tahu. Jujur saja, aku juga penasaran sama tampangnya itu. Sejak muncul di dunia bisnis, tidak ada satu pun foto Kevin Wicaksana yang bocor ke publik. sok misterius sekali, kan?”Lira tertawa pendek, dingin. “Itu karena wajahnya pasti memalukan. Jelek, gendut, pendek, dan menyeramkan. Makanya calon istrinya kabur dan mati sebelum sempat menikah.”Vira ikut terkekeh kecil. “Benar juga, kalau tid
“Vanya.” Suara itu terdengar begitu lembut di telinganya, namun terasa jauh … seolah datang dari mimpi.“Vanya, bangunlah. Kita akan melangsungkan acara adat pernikahan malam ini.” Nada itu kembali terdengar. Terasa hangat, sabar, mengetuk perlahan gendang telinganya. Sesaat kemudian, sesuatu yang lembut menyentuh keningnya. Sentuhan itu membuat kesadarannya perlahan kembali.Mata Vanya terbuka lebar. Wajah Kevin begitu dekat, hanya berjarak sejengkal. Senyum tipis menghiasi bibirnya, dan untuk sepersekian detik Vanya baru menyadari sepertinya sentuhan lembut dan dingin itu adalah kecupan singkat yang diberikan Kevin untuknya.“Astaga! Aku ketiduran!” serunya terbata, suara seraknya memecah keheningan.Baru saat itu ia sadar, posisinya sudah berubah. Sebelumnya Kevin bersandar di pangkuannya, tapi kini dia malah berada dalam pelukan Kevin dan lengannya sendiri justru melingkar di tubuh pria itu, seolah enggan dilepaskan.Ini … benar-benar gila! Vanya menjadi panik, segera melarikan tan







