Share

7

Menikah? Dengan tanpa adanya cinta? Dua orang yang hanya saling memanfaatkan satu sama lain segera terikat dalam sebuah pernikahan. Hubungan yang seharusnya menjadi sesuatu yang sakral bagi dua orang yang terlibat di dalamnya. Namun, tidak dengan apa yang terjadi pada Abiyya dan Jeffin. Keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius karena keadaan dari keduanya yang saling membutuhkan.

Abiyya yang membutuhkan Jeffin agar tidak berhubungan lagi dengan kakaknya. Lalu Jeffin yang membutuhkan Abiyya untuk menghindari perjodohan yang biasanya dilakukan oleh ibunya. Tuntutan dari ibunya juga yang menyuruhnya untuk segera menikah membuat Jeffin memanfaatkan Abiyya yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kehidupannya. Kemudian ada alasan lain juga kenapa ia berani melakukan hal seperti ini untuk hidupnya.

Baik Abiyya maupun Jeffin sudah sepakat untuk menjalin hubungan seperti ini. Hubungan yang tidak pernah diinginkan oleh keduanya. Tetapi seolah takdir membuat mereka harus memutuskan untuk melakukan hal ini.

Setelah Jeffin memberitahukan pada Aera tentang berita keduanya yang memutuskan untuk menikah, Aera langsung meminta untuk bertemu dengan keduanya. Di sinilah ketiga orang tersebut bertemu guna membahas segala hal untuk pernikahan Abiyya dan Jeffin. Aera sangat bersemangat membahas semua yang berkaitan dengan pernikahan. Dan semua urusan pernikahan Jeffin serahkan pada Aera yang disambut gembira perempuan paruh baya itu.

“Jadi benar, semua diserahkan ke Mama aja?” tanya Aera memastikan sekali lagi.

“Iya, Ma. Jeffin dan Abiyya akan senang kalau mama yang urus itu semua, biar kita tinggal pilih aja apa yang udah mama pilihin.”

“Abiyya, nggak keberatan kan sayang?” tanya Aera sambil menatap Abiyya.

Abiyya tersenyum. “Nggak apa-apa, Ma. Tapi maaf ya kalau aku sama Jeffin jadi ngerepotin mama.”

“Sama sekali nggak repot, mama malah senang kalian percaya sama mama.” Aera meraih tangan Jeffin dan Abiyya lalu menyatukannya dalam genggaman tangannya. “Terima kasih ya, mama bahagia sekali dengan semua ini.”

🌾🌾🌾

Shida melirik ke arah Abiyya. Memastikan sekali lagi dari raut wajahnya yang tampak terlihat tidak baik-baik saja. Ingin bertanya tapi Shida takut jika Abiyya merasa terganggu akan pertanyaannya. Tapi, jika tidak bertanya maka rasa ingin tahunya jadi lebih besar.

Shida meyakinkan dirinya jika Abiyya mau berbagi cerita, pasti nanti akan bercerita. Namun, Shida tidak bisa seperti itu. Ah, bodo amat deh.

“Lo, kalau butuh teman buat cerita, cari gue aja, Abiyya.” Akhirnya Shida hanya mengatakan itu, takut jika Abiyya mengira dirinya mencampuri urusan pribadinya.

“Ah, makasih, Shida. Kalau gitu nanti aku mau cerita ya?”

“Boleh-boleh, siapa tahu nanti lo jadi lega dan kalau gue bisa bantu pasti bantu lo kok.”

“Makasih ya, Shida.”

Seperti yang dibicarakan sebelumnya, bahwa Abiyya ingin bercerita pada Shida. Di sinilah mereka berdua. Memilih tempat yang paling pojok dari kantin setelah membeli makanan.

“Jadi?” tanya Shida memulai pembicaraan. “Kalau belum mau cerita sekarang juga nggak apa-apa,” lanjutnya ketika Abiyya masih belum mau mengeluarkan suaranya.

“Tapi kamu jangan kaget ya?” Shida menganggukkan kepalanya sembari mengunyah makanannya. “Jadi, aku sama Jeffin, udah memutuskan buat menikah.”

“Apa? Menikah?” Abiyya langsung menutup mulut Shida dengan tangan kanannya. Tubuhnya yang condong ke arah Shida, bergumam agar tidak berbicara keras.

“Oke-oke. Seriusan?”

“Heem.”

“Terus masalahnya dimana? Bukannya kalian emang udah berhubungan, maksudnya udah punya ikatan gitu kan sebelumnya. Jadi nggak ada masalah kan harusnya?”

Abiyya mendesah lelah.“Panjang ceritanya.” Abiyya mulai bercerita sejak pertama kali dirinya bertemu dengan Jeffin. Lalu bagaimana bisa sampai akhirnya begini.

Abiyya entah kenapa bisa bercerita semua hal itu pada Shida. Abiyya hanya merasa Shida bisa dipercaya olehnya. Sejak pertama ia bertemu Shida, Shida berlaku sangat baik padanya. Juga Shida biasanya menceritakan apa saja yang berhubungan dengannya. Jadi tidak ada salahnya kan, jika Abiyya juga ingin mempercayai Shida dan menceritakan semua hal tentang hidupnya pada Shida.

“Jadi, hubungan lo sama Pak Jeffin itu cuma kebohongan semata di depan Bu Aera biar beliau nggak melakukan perjodohan lagi ke Pak Jeffin?” Abiyya mengangguk membenarkan. “Terus kalian berdua terpaksa memutuskan untuk menikah.”

“Ya kira-kira begitulah.”

“Kalau gitu, kenapa nggak lo bikin buat Pak Jeffin jatuh cinta sama lo. Maksudnya kalau ada cinta di antara kalian meskipun cuma dari satu pihak, seenggaknya kehidupan pernikahan kalian tersasa sedikit lebih baik kan.”

“Jadi, aku harus berusaha buat Jeffin jatuh cinta sama aku? Terus kalau aku yang jatuh cinta sama dia gimana dong?”

“Lebih bagus kalau kalian berdua saling jatuh cinta.”

“Harus banget ya?”

“Itu kembali lagi ke lo sih, kalau lo nggak mau pernikahan kalian cuma sebatas buat permainan, lebih baik kalian berusaha buat saling mencintai satu sama lain. Toh nggak ada salahnya, nanti kalian udah menikah ini.”

“Huft.”

“Semoga lancar ya buat pernikahanya,” goda Shida membuat Abiyya salah tingkah terlihat dari pipinya yang sedikit memerah.

Setelah itu Shida bercerita tentang apa aja yang ia alami ketika pertama kali bekerja. Sampai hal-hal lucu yang membuat Abiyya tertawa mendengarkan cerita dari Shida. Abiyya merasa beruntung bisa bertemu dengan Shida. Dengan pembawaannya yang ceria dan terlihat seperti tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Bibirnya terus tersenyum dan tertawa seolah tidak ada beban di dalam dirinya, namun Abiyya tahu bahwa setiap orang pasti memiliki masalah dalam hidupnya.

🌾🌾🌾

Abiyya menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan Crystal di rumah orang tua Jeffin yang menatapnya tampak tidak bersahabat. Ah, Crystal memang selalu menatapnya seperti itu sejak pertama kali mereka bertemu. Abiyya yang berusaha meyakinkan dirinya sebelumnya, ketika akan menyapa Crystal, gadis itu sudah berlalu begitu saja. Abiyya sadar jika Crystal memang tidak menyukai kehadirannya dalam kehidupan keluarganya.

Hari ini memang Abiyya memiliki janji dengan Aera. Setalah mendapat izin sehabis makan siang tidak kembali ke kantor, Abiyya pergi ke rumah orang tua Jeffin untuk bertemu dengan Aera. Abiyya memilih untuk datang menghampiri Aera di rumah, daripada Aera yang datang ke kantor. Bukannya apa-apa, hanya saja Abiyya merasa tidak nyaman dengan orang-orang di kantor.

“Siang, Om Reksa,” sapa Abiyya ketika mendapati Reksa yang tengah bersantai di kursinya sambil menonton sebuah acara di televisi. Tadi Abiyya di suruh Aera untuk datang saja ke ruang keluarga yang ada di rumah ini.

“Eh, udah sampai Abiyya. Duduk dulu, saya panggil Aera dulu. Kayaknya masih siap-siap.”

“Nggak usah, Om. Nggak apa-apa, Abiyya nunggu aja.”

“Mau minum apa? Biar nanti dibikinin.”

“Nggak usah repot-repot, Om.”

“Ya udah, kalau minum bikin sendiri aja ya ke dapur, anggap aja rumah sendiri. Nanti juga kamu bakal jadi bagian dari keluarga ini.”

“Iya, Om,” balas Abiyya sambil tersenyum canggung. Selama ini Abiyya hanya mengobrol banyak bersama Aera.

Dapat Abiyya lihat, Aera yang sedang turun dari anak tangga dengan sedikit buru-buru. Sampai suara Reksa memperingatkan Aera agar tidak perlu terburu-buru, toh Abiyya tidak akan meninggalkannya. Tentu saja Abiyya hanya menampilkan senyumnya ketika mendengar hal itu dari mulut Reksa. Setelah itu Aera berpamitan pada Reksa untuk pergi bersama Abiyya. Tak lupa Abiyya juga ikut berpamitan.

Kini Aera dan Abiyya tengah duduk kursi belakang mobil Aera. Ada Pak Bani, sopir Aera yang mengemudi. Aera menunjukkan beberapa desain undangan di iPad-nya pada Abiyya.

“Abiyya suka yang mana? Tadi pas Mama tanya ke Jeffin, katanya suruh tanya ke kamu, biar kamu yang pilih mau yang mana.”

“Boleh Abiyya lihat-lihat sekali lagi?”

“Ya boleh dong, sayang.”

Abiyya melihat-lihat semua desain sekali lagi dengan seksama. Semuanya terlihat sangat bagus. Abiyya sedikit kebingungan untuk memilihnya. Namun, matanya jatuh pada satu desain yang menurutnya tidak terlalu berlebihan. Tampak sederhana tetapi memiliki kesan yang begitu elegan.

“Gimana? Udah milih?”

“Udah, Ma. Abiyya pilih yang ini aja.”

“Benar yang ini?” tanya Aera memastikan sekali lagi dan Abiyya mengiyakan.

Seperti yang sudah direncanakan, Aera mengajak Abiyya untuk pergi ke butik. Tentu untuk memilih gaun yang mana saja yang akan dipakai oleh Abiyya untuk serangkaian acara dalam pernikahan. Seharusnya Jeffin juga ikut pergi bersama dua perempuan tersebut, namun masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Aera menyuruhnya untuk memilih sendiri gaun mana yang diinginkan oleh Abiyya. Sembari menunggu Abiyya, Aera terlihat sedang berbicara dengan orang yang ada di sana dengan wajah yang bersinar. Sungguh, Abiyya jadi merasa bersalah akan pernikahan yang akan dijalani dengan Jeffin hanyalah untuk menyenangkan wanita itu. Abiyya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Aera ketika mengetahui hal yang sebenarnya.

“Abiyya? Gimana udah ada pilihan yang menarik buat kamu?” pertanyaan dari Aera membuyarkan segala hal yang sedang dipikirkannya.

“Hm, tadi ada beberapa sih yang udah Abiyya lihat dan kelihatan menarik gitu, tapi Abiyya masih mau lihat-lihat yang lain dulu ya, Ma, nggak apa-apa, kan?”

“Ya nggak apa-apa dong, sayang.”

“Menurut mama bagusan yang ini atau yang ini?” tanya Abiyya yang ingin mendapatkan pendapat dari Aera tentang dua gaun yang sedari tadi dilihatnya.

“Dua-duanya bagus kok. Apalagi kalau yang pakai kamu, pasti lebih bagus,” jawab Aera dengan senyum lebar di bibirnya yang membuat Abiyya merasa sangat bersalah sekali sudah membohongi wanita yang ada dihadapannya.

“Di pakai sama mama juga pasti lebih bagus,” ujar Abiyya.

“Bisa saja kamu ini.”

“Hehe.”

Setelah itu Abiyya berkata jika akan lebih baik ia akan bertanya dulu pada Jeffin mengenai gaunnya. Takutnya jika nanti Jeffin tidak suka, maka Abiyya masih bisa memilih yang lain. Aera yang mengerti pun hanya mengiyakan. Lalu Aera mengajak Abiyya untuk berjalan sebentar ke arah taman terdekat untuk menghirup udara sore hari yang terlihat cerah. Semilir angin yang menerpa wajah cantik keduanya semakin membuat mereka berdua terlihat lebih cantik.

Sepanjang perjalanan menuju taman, tangan Aera tak lepas sedikitpun dari lengan Abiyya. Abiyya pun tak merasa keberatan. Malah Abiyya merasa senang, akhirnya ia bisa kembali merasakan kelembutan dan kehangatan dari seorang ibu. Jujur saja Abiyya sangat merindukan perlakuan seperti itu dari ibu angkatnya. Meskipun Abiyya hanya angkat, namun ayah dan ibunya sangat menyayanginya. Abiyya mengusap air matanya yang tak sengaja jatuh.

🌾🌾🌾

Setelah mendengar kabar tentang pernikahan kakaknya, gadis yang sedang berada di apartemennya terlihat sangat kacau. Beberapa barang sudah berserakan di lantai. Bahkan penampilan gadis itu juga terlihat sangat berantakan. Rambut panjangnya sudah tak beraturan.

Setelah berhasil membuang barang-barangnya di lantai, Crystal duduk bersandar pada tempat tidurnya dan menekuk kedua lututnya. Crystal hanya berpikir ketika Jeffin menikah nanti, maka Jeffin akan semakin jauh darinya. Apalagi sekarang Crystal sangat-sangat sadar jika Jeffin sedang menjauhinya. Crystal tentu tidak ingin Jeffin meninggalkannya.

Sedari kecil Crystal sangat bergantung pada Jeffin. Kemanapun lelaki itu pergi, dirinya pasti ikut. Hanya saja setelah mereka dewasa, kerap kali Crystal meminta Jeffin untuk membuatnya dengan salah satu sahabatnya.

“Astaga, Crystal!” Teriakan itu membuat Crystal mengangkat kepalanya. Menatap seorang laki-laki yang tadi sempat dihubunginya. Tanpa memberitahukan dimana keberadaannya, lelaki itu mampu menemukannya.

“Kenapa lo lakuin ini hah!” Lelaki itu berjongkok di hadapan Crystal. Tangannya meraih dagu Crystal dan mengangkatnya agar matanya bisa menatap tepat di mata gadis itu.

‘Benar-benar kacau,' gumamnya dalam hati.

“Kenapa? Lo bisa cerita sama gue, nggak perlu ngelakuin hal kayak ini.” Suaranya yang berubah menjadi lembut membuat Crystal membawa tubuhnya ke dalam tubuh pria itu. Terdengar sedikit isakan yang keluar dari mulut Crystal dalam pelukan laki-laki tadi.

🌾🌾🌾

Abiyya melangkahkan kakinya menuju kamar. Abiyya merasa sepertinya Jeffin sudah pulang. Tanpa pikir panjang, Abiyya masuk ke dalam kamar dan membersihkan dirinya. Setelah selesai Abiyya menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang ada di kepalanya. Kemudian membuka ponsel siapa tahu ada pesan atau suatu hal lain.

Abiyya yang hendak mengeluarkan sesuatu dari kulkas, tersentak kaget ketika Jeffin sudah berdiri di belakangnya. Tangannya hendak meraih sebuah botol minuman soda membuat Abiyya sedikit menggeser tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan Jeffin. Abiyya juga berusaha mengatur napasnya yang seketika merasa sesak.

“Nggak usah masak, saya udah pesan makanan.” Abiyya mengerjapkan matanya, lalu menatap punggung Jeffin yang sudah berlalu dan duduk di sofa. Lalu meminum botol yang ada di tangannya.

“Huh.”

“Tolong buka pintunya,” perintah Jeffin ketika ada yang memencet bel, katanya siapa tahu itu makanan yang sudah dipesannya datang.

Namun bukan makanan yang datang, melainkan sosok yang langsung masuk begitu saja setelah pintu dibuka oleh Abiyya. Dengan tidak sopannya juga merampas botol yang ada di tangan Jeffin dan meminumnya. Abiyya membuka mulutnya sedikit, merasa keget dengan apa yang dilakukan tamu yang tidak ada sopannya sama sekali.

Meski dapat Abiyya lihat bahwa Jeffin merasa kesal, tetapi pria itu tidak marah pada Ajen. Ya, Ajendra, sahabat Jeffin yang menjelma sebagai sekretaris pria itu yang datang barusan. Abiyya tidak menyangka jika Ajen ternyata bersikap seperti itu ketika berada di luar kantor.

Tak berapa lama setelah kedatangan Ajen, makanan yang di pesan Jeffin datang. Seolah tahu akan kedatangan tamu yang tidak ada sopannya, Jeffin memesan lebih banyak makanan dari biasanya. Abiyya segera menyiapkannga di piring lalu memanaskannya di microwave.

“Hai, Abiyya,” sapa Ajen ketika mereka sudah duduk tenang di meja makan. Jeffin dan Abiyya tampak sangat menikmati makanannya. Lain hal dengan Ajen yang makan sambil banyak bicara.

“Awas Mas, nanti kesedak kalau makan sambil ngomong terus,” tegur Abiyya yang sedari tadi sudah gatal ingin menyuruh Ajen diam ketika makan. Dan benar saja setelah Abiyya mengucapkan hal itu, Ajen langsung tersedak dan kelimpungan mencari air minum.

“Lo nyumpahin gue ya?” tudu Ajen ketika berhasil menenggak satu gelas air.

“Lo yang banyak omong, makanya kesedak. Nggak usah nyalahin orang,” tegur Jeffin yang akhirnya membuka suaranya.

“Nye nye nye nye.”

“Pulang gih abis makan,” usir Jeffin setelah menyelesaikan makannya.

“Iya deh tahu, yang cuma pengen berduaan tanpa adanya orang lain,” balas Ajen sembari menyindir.

Abiyya hanya menunduk. Tak berani menatap Ajen, terlebih Jeffin. Abiyya membereskan piringnya dan Jeffin, membawanya ke arah westafel, membiarkan Ajen menyelesaikan makannya sendiri. Ketika hendak mencucinya, suara Jeffin membuatnya menatap Ajen.

“Biarin aja Ajen yang cuci piringnya.”

“Beneran, Mas Ajen yang mau cuci piringnya?” tanya Abiyya pada Ajen yang masih asyik menikmati makanannya.

“Yo, tinggalin aja, biar gue yang cuci piringnya,” jawab Ajen.

“Beneran, Mas? Nggak apa-apa?” tanya Abiyya memastikan kembali.

“Iya, udah santai aja si, kayak sama siapa aja lo.”

“Makasih ya, Mas, sebelumnya maaf jadi malah tamu yang beres-beres.”

“Santai aja, anggap aja karena gue udah numpang makan jadinya gue yang beres-beres.”

Setelah itu Abiyya pamit untuk kembali ke kamarnya. Lagian Abiyya merasa tidak nyaman berada di dekat dua orang itu. Kemudian Abiyya memilih untuk melanjutkan menonton konten boygrup yang membuatnya tertarik.

Ajen menghampiri Jeffin yang masih duduk di sofa. Namun, kali ini ada iPad yang ada di tangannya. Ajen hanya melirik sekilas tak ingin mengganggu kemudian menyalakan televisi.

Kedatangannya kali ini hanya ingin bertemu dengan Jeffin. Ingin memastikan jika Abiyya benar-benar tinggal bersama sahabatnya itu. Dan Ajen bisa melihat sendiri bagaimana hubungan keduanya yang sepertinya hanya berbicara seperlunya saja.

“Jeff,” panggil Ajen.

“Hmm.”

“Lo, yakin buat ngejalanin pernikahan sama Abiyya? Maksud gue, lo sama dia aja kayak nggak pernah ngobrol kecuali kalau ada yang penting.”

Tak ada balasan dari Jeffin. Namun Ajen bisa melihat jika Jeffin merasa terganggu dengan perkataannya. Terbukti dengan Jeffin yang mengabaikan layar iPad-nya. Kepalanya terangkat, menatap kosong langit-langit atas ruang tamu.

“Kalau emang nggak yakin, nggak usah dilanjut. Nanti malah jadi boomerang sendiri buat lo.” Terkadang Jeffin merasa beruntung memiliki sahabat seperti Ajen dan Freja. Keduanya bisa menjadi tempatnya berbagi cerita dan memberinya saran. “Apalagi lo sama Abiyya saling nggak ada rasa satu sama lain. Kalau lo emang mau bantu Abiyya, lo bisa bantu tanpa melibatkan dia dalam masalah lo.”

“Thanks buat sarannya, Jen.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status