Karina berjalan masuk ke dalam rumah mendiang orang tua Alan, yang sekarang ditempati permanen oleh Zara. Karina membawa semua katalog yang dia serahkan pada Alan tadi, dan berniat akan menunjukkannya pada Evelyn oleh dirinya sendiri. Karina menatap sekeliling, dan rumah terasa sangat sepi. Alan bilang Evelyn masih ada di rumah, sedangkan Zara sudah pergi kuliah. "Evelyn?" Karina memanggil nama Evelyn dengan suara sedikit keras. Matanya menatap ke arah lantai dua, saat mendengar suara pintu terbuka dari atas. "Kak Karina?" Suara Evelyn terdengar disertai dengan suara langkah kaki yang menuruni tangga. Evelyn tersenyum lebar melihat sosok Karina yang sekarang ada di rumah. "Lagi apa? Aku nggak ganggu kamu kan?" Karina bertanya seraya menatap Evelyn yang berjalan mendekat ke arahnya. "Nggak kok, Kak. Barusan cuma beresin meja kerja Mas Alan saja." Evelyn menjawab dengan senyum manis. Kedua alis Karina terangkat mendengar panggilan Evelyn untuk Alan. Terasa geli, tapi wajar sih. "Y
Hari ini, sekretaris baru Alan yang dipilih Karina mulai bekerja. Untuk hari pertama, Alan akui wanita bernama Rida itu sangat cekatan dan sepertinya mampu diandalkan. Ya, semoga saja memang bisa seterusnya begitu. Karena pekerjaan sebagai sekretaris sudah diambil oleh Rida, Karina pun resign secara resmi. Karena sudah tak bekerja, sekarang Karina bisa fokus membantu Alan menyiapkan pernikahan pria itu. "Jadi kapan kamu dan Kak Vino akan mengadopsi anak?" Alan bertanya seraya menyimpan sebuah buku katalog yang diserahkan oleh Karina tadi. "Mas Vino masih ada proyek pembangunan dan perkiraan selesainya nanti menjelang hari pernikahan kamu. Jadi aku dan Mas Vino akan mengadopsi anak setelah urusan pernikahan kamu selesai," jawab Karina. Alan menghela nafas pelan mendengar itu. Dia jadi merasa bersalah karena membebani Karina dengan persiapan pernikahannya. "Maaf membuatmu repot karena harus membantuku mempersiapkan semua ini," ucap Alan. Karina tertawa pelan mendengar itu. "Sejak
Zara keluar dari kamarnya pada pukul setengah tujuh pagi. Tubuhnya sekarang terasa lebih sehat dan lebih segar dibanding semalam. Walau begitu, raut wajahnya terlihat sangat masam. Oh jelas dia kesal karena saat bangun, Evelyn tak ada di dalam kamarnya. Tanpa harus bertanya, Zara tahu di mana keberadaan teman baiknya tersebut. Zara menyeret kakinya menuju kamar sebelah yang memiliki pintu berwarna hitam. Tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam, Zara langsung menggedornya dengan sangat kuat. "Om Alan! Mana Evelyn!" Zara berteriak kesal sambil terus menggedor pintu tersebut. Tak lama, pintu tersebut pun dibuka. Terlihat sosok Alan yang sudah siap dengan setelan kerjanya. "Apaan sih? Pagi-pagi udah berisik," desis Alan kesal. Dia hanya membuka pintu sedikit, membuat Zara sulit melihat ke dalam. "Mana Evelyn?" Zara bertanya dengan mata memicing tajam. Alan merotasikan kedua matanya mendengar itu. Dia lalu bergeser dan membuka pintu kamarnya lebih lebar. Tangannya menunjuk ke arah
Alan dan Evelyn duduk di sofa ruang tamu, menunggu makanan mereka datang. Dan tentu saja, Alan memang selalu memanfaatkan situasi apapun untuk terus menempel pada Evelyn. "Cukup." Evelyn menahan tangan Alan yang sudah sampai pada pahanya. Dia mendorong dada Alan agar menjauh darinya. Nafasnya sedikit memburu, dengan bibir yang merah karena ciuman panas Alan. "Kita sedang menunggu makanan," ucap Evelyn kesal. Alan awalnya bilang hanya sebuah ciuman saja. Namun tentu itu hanya akal liciknya saja. Setelah ciuman itu terjadi, jelas tindakan dia akan terus merembet pada yang lain. "Aku tahu. Yang antar makanan juga belum datang," jawab Alan santai. Dia menyingkirkan tangan Evelyn yang menahan gerakan tangannya. Setelah itu tangan Alan langsung masuk semakin dalam pada rok Evelyn. Bibirnya pun langsung menuju ke arah leher Evelyn dan bergerak liar di sana, memberikan rangsangan. Evelyn mendesah pelan karena rangsangan yang diberikan Alan. Dia susah payah berusaha untuk mengumpulkan kes
Alan kini duduk di sofa panjang yang ada di kamarnya. Di atas meja ada laptop miliknya yang menyala, dan sekarang Alan sedang membuka email dari Karina. Email tersebut berisi tentang biografi calon sekretarisnya yang baru, yang akan menggantikan posisi Karina nanti. Alan membaca biografi yang dikirimkan oleh Karina dengan sangat teliti. Namanya Rida Nurmawati. Usia 35 tahun, dan sekarang menjabat sebagai staf administrasi. Kinerjanya sebagai staf administrasi sangat bagus, pantas saja Karina memilihnya. Informasi lain tentang wanita itu juga dituliskan oleh Karina dengan sangat detail. Statusnya yang menarik perhatian Alan, yaitu menikah. Bagus. Karina memang tahu apa yang dibutuhkan oleh Alan. Setelah selesai membacanya, Alan pun mengirim pesan pada Karina, memberitahu kakak iparnya tersebut kalau dia setuju dengan pilihan Karina. "Oke. Aku akan memberitahunya besok agar dia bisa menyiapkan diri sebagai sekretarismu. Lalu, aku mau bertanya tentang persiapan pernikahanmu. Bagaiman
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, dan Evelyn baru saja selesai membuat bubur untuk Zara. Sore tadi Alan bilang kalau Zara kurang enak badan dan suhu tubuhnya agak tinggi. Jadinya, mau tak mau Alan membawa Evelyn ke rumah lagi untuk merawat sekaligus menemani Zara. Sekesal apapun Alan pada Zara, dia tetap tak akan tega meninggalkan keponakannya sendirian di rumah dalam keadaan sedang sakit. "Obatnya ada? Kalau gak ada aku beli dulu ke apotek," ucap Alan seraya melihat Evelyn yang sedang menuangkan bubur dari panci ke dalam mangkuk. "Aku belum lihat kotak obat. Coba cek saja," jawab Evelyn. Dia memegang nampan yang di atasnya terdapat semangkuk bubur dan segelas air putih untuk Zara. Evelyn menengok ke arah Alan dan tersenyum pada pria itu. "Terima kasih sudah mengizinkan aku menginap di sini lagi," ucap Evelyn. Setelah mengatakan itu Evelyn berjalan meninggalkan Alan sendirian di dapur. Alan memperhatikan punggung Evelyn yang semakin menjauh darinya. Setelah sosok Evelyn hila