Yuri Katakori is suffering from an illness—he is allergic to women due to trauma. He has everything that a man could want, except for love. He has given up on it until he saw Allyah Jane Fernandez, aka AJ. AJ has long forgotten what it feels like to be in love. The fairytales she believed in for so long has lost its spark. All she wants is to have a peaceful life in her comfort zone, her world without a man. But destiny is still working and did not give up on both of them. In an unexpected way… In an unexpected time of the day… The two people who lost their way in life unexpectedly met at the crossroad. AJ’s fate got tangled up with Yuri’s world—darkness, betrayal, secrets, pains, sufferings, and tragedies. Is she capable of giving Yuri the life he seek desperately for a long time? Or will she bring more trouble in his complicated life?
View More“Arini! Arini! Dimana kamu?” teriak Ibu Ida dari arah ruang makan. Bergegas Arini menghampiri Bu Ida, mertuanya.
“I-ya, Bu. Ada apa, Bu?” tanya Arini. Dia melihat ibu mertuanya sudah berkacak pinggang dengan muka merah padam menahan amarah.“Ada apa kamu bilang? Lihat! Sudah jam berapa ini? Enak-enakan kamu, ya, masih malas-malasan di kamar!” bentak Ibu Mertua sembari menunjuk ke arah jam dinding.Ya ... Arini tinggal dengan suami bersama ibu mertua dan adik ipar perempuannya. Suaminya, Arman bekerja sebagai manajer di sebuah hotel. Sebenarnya setelah menikah, Arini mengajak Arman untuk tinggal terpisah dengan Ibu Mertua. Tetapi, suaminya tidak tega meninggalkan ibu dan adiknya sendirian.Arman tidak tahu perlakuan ibu dan adiknya ke istrinya seperti apa, karena Arini menyembunyikan semua itu. Arini berpikir tidak mau menambah beban suaminya yang sudah lelah bekerja seharian.
Arman itu tiga bersaudara. Masih ada lagi anak perempuan Bu Ida, kakaknya Arman, Salma namanya. Salma ikut tinggal bersama suaminya yang tak jauh dari rumah ibunya. Sampai usia pernikahan kakak Arman yang kesebelas tahun, mereka belum dikaruniai momongan. Tak ada bedanya perlakuan Salma pada Arini, sama-sama menganggap Arini tidak sepadan dengan Arman.Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Biasanya, jam segini Arini sudah ada di dapur, menyiapkan makanan untuk makan malam. Tapi, tadi sebelum menuju ke dapur, Arini merasa tidak enak badannya dan kepalanya agak sedikit pusing. Jadi, dia memutuskan untuk merebahkan diri sebentar untuk mengurangi pusing kepalanya. Tanpa sadar, Arini ketiduran dan bangun karena mendengar suara teriakan Ibu Mertua.“Maaf, Bu! Tadi Arini pusing, makanya Arini istirahat sebentar,” ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatap mertuanya itu.“Alah ... gak usah banyak alasan kamu, ya! Dasar menantu gak tahu diri! Sudah untung dinikahi anakku yang manajer, jadi bisa angkat derajatmu yang miskin itu!” bentak Bu Ida. Kata itulah yang selalu jadi andalan Ibu Ida, kala dirinya marah dengan Arini.“Cepat sana masak!” bentak Bu Ida lagi. Bergegas Arini menuju dapur dan menyiapkan makan malam sebelum suaminya pulang. Selagi Arini memasak, datanglah Bela-adik ipar-meminta dibuatkan minuman.“Mbak, buatin aku es sirup, ya?” pinta Bela tanpa memperdulikan kakak iparnya yang tengah sibuk memasak.“Buat sendiri dulu, ya, Bel! Mbak lagi repot dan buru-buru ini,” tolak Arini dengan suara lembut.BRAK!!
Seketika Bella menggebrak meja. Arini melonjak kaget, sampai-sampai pisau yang ada ditangannya terjatuh. Untung kakinya dengan sigap menghindar, jadi kaki Arini tidak terluka.“Cuma buatkan aku minuman gitu aja apa susahnya, sih? Ingat! Kamu itu hanya pendatang di rumah ini!” teriak Bella di depan muka Arini. Arini sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti itu dari adik iparnya ini. Mereka akan baik jika ada Arman di rumah.Memang ibu mertua dan ipar Arini dari awal sudah tidak menyukai kehadirannya. Sempat pernikahannya dengan Arman tak disetujui. Tetapi, setelah Arman membujuk, akhirnya keduanya mau menyetujuinya. Dengan syarat, uang yang Arman berikan ke ibunya tiap bulan tidak berkurang setelah dia punya istri. Dan, setiap ibunya meminta uang, Arman tidak boleh menolaknya.“Ya sudah, tunggu dulu sebentar,” jawab Arini. Tak mau menambah panjang urusannya dengan Bela, Arini memilih mengalah.*****
Sudah pukul enam, makan malam sudah siap di meja makan. Saat Arini tengah selesai mandi, terdengar suara mobil sang suami masuk ke halaman. Dengan langkah cepat, Arini membukakan pintu untuk menyambut kedatangan suaminya.“Assalammu’alaikum!” salam Arman dari depan rumah.“W*'alaikumsalam, Mas!” jawab Arini seraya mencium punggung tangan suaminya. Dibawakannya jas dan tas menuju kamar.Saat sang suami sedang mandi, Arini menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya. Setelah itu, Arini kembali lagi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk suaminya.Begitulah rutinitas Arini selama tiga bulan ini. Ya ... Arini dan Arman menikah baru tiga bulan. Mereka berkenalan di tempat Arini kerja. Saat itu, Arman ada rapat di restoran tempat Arini bekerja. Berawal dari sana mereka saling dekat dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Arini hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan.
Selesai mandi, Arman menuju ruang makan. Di sana ternyata sudah ditunggu ibu dan adik perempuannya. Arini mengambilkan nasi ke piring suaminya dan mereka pun makan dengan tenang. Selesai makan, Arini langsung membersihkan dan mencuci piring-piring kotor.Tujuannya, agar besok pagi bisa langsung mengerjakan pekerjaan yang lain. Dari arah dapur, terdengar sayup-sayup suami dan ibu mertuanya sedang mengobrol.
“Man ... Ibu minta uang, ya, buat arisan minggu depan,” ucap Ibu Ida saat di depan televisi.“Berapa, Bu?” tanya Arman.“Tiga juta saja, Man. Tapi, ditambahin, ya, buat traktir teman-teman Ibu, gitu! He ... he ... he...” jawab Ibu Ida terkekeh.“Oh ya, Bu. Besok ya, Bu, Arman kasih uangnya,” balas Arman. Ibu Ida terlihat mengulas senyum senang.Arman memang tak pernah bisa membantah atau menolak permintaan ibunya. Bagi dirinya, kalau bukan karena jasa ibunya, dia tidak akan bisa sampai dititik ini, dan juga karena janji yang sudah dibuatnya dulu sebelum menikah dengan Arini. Tanpa Arman sadari, hal itu justru membuat ibunya merasa semua uang yang dihasilkan Arman hanya menjadi miliknya seorang, dan tak ada yang boleh mengambil itu darinya, termasuk Arini.Arini yang sudah lama ada keinginan untuk pulang kampung, ketika mendengar percakapan suami dan mertuanya itu jadi teringat kembali akan keinginannya itu.
“Mas ... Arini boleh minta sesuatu gak?” tanya Arini pada Arman saat mereka sudah ada di dalam kamar.“Minta apa, Sayang?” balas Arman tanpa menoleh ke arah istrinya. Arman sedang disibukkan dengan pekerjaan yang tadi belum sempat dia selesaikan.Memang, jika pekerjaan Arman sedang banyak, tak jarang dia bawa pulang ke rumah untuk diselesaikan.
“Kalau boleh, Arini mau pulang kampung, nengok makan Emak dan Bapak di sana. Semenjak Arini pindah ke kota, Arini belum ke sana lagi, Mas. Bahkan kemarin waktu kita nikah, Arini juga gak ke sana," ucap Arini sedih. Kepalanya menunduk menahan agar tidak ada air mata yang terjatuh.Arman menghentikan sejenak pekerjaannya dan menatap istrinya yang sedang bersedih. Tak tega melihat orang yang dicintainya bersedih seperti itu. Direngkuhnya sang istri ke dalam pelukan dan diusapnya pucuk rambut Arini dengan lembut. Arman melepas pelukan saat dirasa istrinya sudah tenang.“Boleh, Sayang. Kapan rencananya? Tapi maaf ya, Sayang, Mas gak bisa nemenin kamu ke sana. Sampai akhir bulan ini pekerjaan Mas sedang banyak banget, karena hotel banyak pengunjung dan ada juga beberapa tamu yang pesan tempat untuk acara di sana,” jelas Arman. Kedua matanya menatap sang istri penuh cinta.“Gak apa-apa, Mas. Rencananya lusa kalau Mas mengizinkan. Tapi, nanti kalau Arini tidak di rumah, siapa yang mengurus rumah dan masak, Mas?” tanya Arini.Seketika Arini khawatir kalau ibu mertuanya tahu, dia tidak membolehkannya pergi. Karena selama tiga bulan ini, semua pekerjaan rumah semua Arini yang mengerjakan. Tapi, kalau Arman pulang, Ibu Mertuanya itu selalu mengeluh capek mengurus rumah, itu pun tanpa Arini tahu.
“Kan, di rumah ini ada Ibu dan Bela, Dek. Jadi, gak usah khawatir begitu. Bukankah selama ini mereka juga yang membantumu di rumah?” balas Arman.Deg!“Membantu? Bahkan Ibu dan Bela akan kembali ke kamar saat kamu sudah berangkat bekerja, Mas! Atau Ibu akan pergi keluar bersama teman-temannya,” kata Arini dalam hati.Arini tidak tahu kalau selama ini, Bu Ida dan Bela mengaku kalau setiap hari mereka membantu Arini, karena Arini tidak begitu becus mengurus pekerjaan rumah tangga.“Eh ... i-ya, Mas,” jawab Arini dengan tersenyum sedikit memaksa."Ya sudah, kita tidur dulu, yuk! Biar besok seger lagi," ajak Arman. Arini pun mengangguk.
*****
Keesokan harinya, saat Arini mencuci piring, terdengar suara Ibu Mertuanya mendekat.“Enak bener kamu, mau pakai uang anakku untuk pulang ke kampung!” sindir Bu Ida saat Arman sudah berangkat bekerja. Ya ... Arman sudah memberitahu ibunya kalau Arini mau pulang kampung selama tiga hari.“Kamu itu kerja juga enggak, malah hambur-hamburin uang suami gak jelas begitu! Gak usah pulang ke kampung segala lah! Orang tuamu juga sudah meninggal ini. Mau ngapain kesana?” sambung Bu Ida ketus.“Tapi, Bu ... Arini sudah lama tidak ke makam Bapak dan Emak. Mas Arman tidak keberatan kok, Bu. Bukannya kemarin juga Ibu minta uang ke Mas Arman untuk bayar arisan dan mentraktir teman-teman Ibu, ya?” Arini memberanikan diri menjawab ibu mertuanya."Wajarlah! Aku ini ibunya, yang membesarkan dia dan menyekolahkan dia. Jadi, sepatutnya memang uang Arman itu uang Ibu!" ucap Ibu Ida penuh penekanan.
"Tapi ... saya juga istrinya, Bu. Arini juga berhak diberi nafkah sama Mas Arman," jawab Arini, dirinya mencoba menjelaskan kewajiban suami pada istrinya.
“Arini, kamu —” teriak Bu Ida. Tangan Bu Ida sudah di udara dan siap menampar Arini.Tapi tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar.Tok! Tok! Tok!bersambung ....“Bakit narito kayong lahat?” tanong ni George Jr. sa kanyang mga pamangkin na lalaki na prenteng nakaupo sa salas.Kasalukuyang naglalaro sa garden ang mga apo niya sa mga ito, kasama ang mga nanay.Wala rin siyang alam na may pagtitipon-tipon na magaganap sa pamilya nila kaya nagtataka siya kung bakit narito ang buong pamilya ng Ate Livia niya.“Pinauwi ko po sila kasi sabi ni Lola Mira, ok na si Yuri,” sagot ni Ritz.“The first time I saw Yuri really did intrigued me. Alam naman nating mabait si AJ, pero ang weird niya talaga. Iyong pinulot na maduming keychain, nilinis at nilagyan lang ng pangalan niya, naging self-proclaimed lucky charm na,” ani Romar.“And don&r
NAG-REQUEST si Yuri na mag-picnic sa kalapit na burol. Napagpasyahan namin na magbakasyon ngayong malapit na ang fiesta sa amin. At alam na alam niya na once may hawak na akong libro, hindi ako magyayaya na gumala, kaya matinding pamimilit ang ginawa niya ngayon.“Lyah, please? Sina Kuya Louie at Kuya Romar, may kanya-kanyang family bonding. Ayaw mo ba? Mamaya, yayain nila ang mga anak mo, tapos sumama kasi hindi mo nilalabas.”“Yuri naman, eh. Ngayon na lang ulit ako nakapagbasa.”“Susunugin ko iyan.”“Subukan mo!”Kahit anong inis namin sa isa’t isa, hindi namin magawang magsigawan tulad ng dati. Tulog na ang mga anak namin, at katabi namin sila sa kama
Alagang-alaga ako ng doctor ko, dahil kambal ang dinadala ko at may high risk sila na maapektuhan ng sakit ko. Kailangang i-monitor ang factors.Yuri was very attentive, too. Lumabas ang pagiging gitarista at singer niya dahil palagi akong nagre-request na kantahan niya ako bago matulog. Gusto niya pa nga sana na iyong mga downloaded musics ang pakinggan ko, but I insist! Gusto rin naman ng mga anak namin.And what can I say? With his deep voice, he nailed the song “Pleasure” by WarpsUp.Kung kumanta pa si Yuri noong mga panahon na sinto-sinto pa ang relasyon namin, baka kapag nagkaalaman, ako ang lugi.My gosh, I really love him!“Lyah, wala ka bang planong magreklamo?”
Kasal na kami ni Yuri, pero ngayon na nasa harap ako ng saradong pinto ng simbahan at nakalingkis ang mga braso ko sa mga braso ng magulang ko, may belo na tumatakip sa mukha ko, at naririnig ko na ang pagtugtog ng wedding songs mula sa loob, hindi ko maiwasang panlambutan ng tuhod.“Ma, Pa, h-hindi ko alam na ganito sa feeling ito. Parang hinahalukay ang tiyan ko, ang lakas na rin ng tibok ng puso ko, like hello? Kasal na kami! Bakit naiiyak ako?”“Halos lahat naman, bago sa iyo. At saka, sayang ang make-up mo, pigilan mo ang pag-iyak,” ani Papa at sinundan ng pagsinghot.Nagtatakang tumingin ako sa kanya. Pinupunasan niya ang mata niya.Bumaling ako kay Mama na namumula ang mata, na tila pinipigilang maluha.
Isang buwan lang kami sa Japan, and I called it “bitin na honeymoon.” Snow at cherry blossom lang ang naabutan ko. I want to experience summer and fall too. Nag-promise naman si Yuri na babalik kami, mas matagal pa, at marami rin kaming pupuntahan. And he was hoping na may kasama na kaming mga anak.Nang makabalik naman kami sa Pilipinas, dito kami sa bahay niya dumiretso. Kasama pa rin namin sa bahay sina Sir Fred at Paul, pati na si Kristina who was busy with their son—Nijel. Binida rin ni Kristina na si Yuri ang nagpangalan sa anak nila, at ninong din siya.Naging playroom na rin ang dating kwarto ko.Kapag hindi ako busy sa trabaho, at wala naman akong maitutulong kay Yuri, nakikipaglaro ako sa mag-in. Nijel was such a sweet three-year-old child, calling me Ninang Ganda, asking me to tell him a fairytale story, at minsan pa na kaming tatlo lang nina Yuri ang nasa bahay at nakikipaghabulan sa kanya.Naging abala si Yuri habang sa baha
Nakaupo ako paharap sa glass window habang sumasabog ang iba’t ibang kulay ng ilaw sa langit. I maybe enjoying the view if it wasn’t for Yuri, who is making me tremble to the tip of my hair.Iniyakan ko siya kanina na manonood na lang kami ng fireworks kaysa gawin ito. And he simply shrugged that we can do both at the same time!Pinasuot niya pa ako ng bunny costume. At ang buntot noon ay kailangan pang ipasok sa butthole ko.I threw my head back and arched my body from the pleasure. My legs were resting on the armrest, making my core exposed right at his mouth. Ang init ng dila niya! Dumagdag pa sa nakakakiliting sensasyon na dala ng pagdila na iyon ay ang malambot, slimy at slippy.Mukhang hindi siya kuntento sa pagpilig at pagpapakawala ko ng mga impit na ungol, dahil ngayon, his fingers are pressing and rubbing my G-spot as his tongue do its magic on my clȋt. Dinidiin niya rin sa loob ko ang matigas na bagay na nakakabit sa buntot.
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
Comments