Suara deru mobil menandakan mobil sedang disetir. Seorang wanita muda dan gadis yang baru menginjak masa dewasa duduk bersebelahan. Sayangnya, aura mereka terlihat berbeda.
Taylor melihat pemandangan dengan kedua lengan dilipat di depan dada. "Ma, aku sudah bilang. Aku bisa menjaga diri dan tidak akan mengundang siapa pun."
Gadis dengan rambut diurai berusaha membuat sang mama tidak menitipkannya pada pria yang pernah dia lihat sebelumnya.
"Mama tahu. Tadi ada berita tentang perampok yang masuk ke rumah orang, lalu menyekap dan membunuh. Mama tidak ingin hal itu terjadi padamu. Mama sudah kehilangan Papamu. Tidak lagi, Tay." Sulit membuat sang mama berubah pikiran.
Terpaksa, Taylor harus menuruti permintaan Mama. Taylor menghela napas pasrah.
Sebelum sampai tujuan, Taylor berusaha berpikir, jikalau Dave melakukan sesuatu yang menyebalkan. Hubungan Taylor dan Dave memang tidak pernah akur.
Saat itu umur Taylor 6 tahun. Dave selalu menggendong Taylor untuk sengaja menjauhi Taylor dari orang tua. Itu dilakukan dengan sengaja, karena Dave suka dengan reaksi Taylor yang selalu dijahili.
Setiap Dave datang ke rumah Keluarga Spark, Taylor langsung bersembunyi, tetapi selalu saja Dave menemukannya. Jika sudah berada di tangan Dave, Taylor harus berontak dengan cara menangis.
Pikiran Taylor buntu. Semua cara penolakan Dave pasti tidak akan berlaku. Apalagi Taylor akan menginap di rumah Dave, yang peraturannya sudah Dave buat.
Dengan malas, Taylor menggeret koper sambil mengikuti mama menuju pintu utama yang telah terbuka. Di pintu juga sudah ada Dave yang menunggu dengan minuman hangat di tangan.
"Selamat datang, gadis dinginku." Senyum jahil muncul di wajah Dave.
Tina memukul lengan Dave lumayan kencang. "Jangan menggoda anakku. Dia baru saja memasuki masa remaja. Aku titip dia beberapa minggu. Perusahaan Johan harus kuatur mulai sekarang. Aku tidak tahu akan pulang kapan-"
"Tidak tahu?" Taylor terkejut. "Mama bilang akan pulang secepatnya," lanjutnya merasa kecewa. Pasal, ucapan sang mama berbeda.
"Iya, secepatnya, tapi belum tahu kapan. Perusahaan papamu di sana sangat besar. Jadi, Mama akan sangat sibuk," balas Mama menatap Taylor dengan arti 'Mohon-jangan-melawan.'
Senyuman Dave semakin melebar. Rasa ingin mengganggu Taylor mulai meningkat. "Dengarkan ucapan Mamamu. Selama kamu tinggal di sini, jangan buat Mamamu kecewa."
Taylor menatap Dave dengan tidak suka.
"Ya sudah. Mama tinggal sekarang. Jangan nakal, Tay. Kamu juga, Dave." Mama bernama Tina mulai meninggalkan tempat.
Dari sini hati Taylor mulai tak nyaman. Taylor tidak akan tinggal sendiri, ada makhluk hidup yang akan mengganggu hidupnya dalam jangka waktu yang entah sampai kapan. Sekarang saja, Taylor yakin, jika Dave sedang tersenyum penuh kemenangan.
"Ayo, masuk, gadis dinginku," ajak Dave dengan satu tangan yang merangkul pinggang kecil Taylor.
Taylor langsung mencengkeram tangan besar Dave dengan kencang. "Aku bukan anak kecil lagi yang bisa kamu jahili, Paman Jo. Jangan menyentuhku, atau tanganmu kupatahkan sekarang." Setelah mengancam, Taylor langsung memasuki rumah layaknya rumah sendiri.
Dave tertawa melihat perilaku Taylor yang sangat berbeda sekali. Bisa dimaklumi, karena Taylor baru saja ditinggal selamanya oleh Johan Spark, Papa Taylor dan sahabat Dave.
Berdiri di tengah rumah yang belum pernah didatangi, membuat Taylor memperhatikan sekitar dengan seksama. Dulu, Dave yang selalu datang ke rumah Keluarga Spark.
"Aku tidak menyiapkan jebakan. Kamu terlalu mencurigaiku," sahut Dave yang sudah berdiri di sebelah Taylor, sambil meminum minuman yang dipegang.
"Mengingat perilakumu yang menyebalkan dari dulu, membuatku harus sangat berhati-hati," balas Taylor sambil menatap Dave. "Sekarang tunjukkan kamarku, Pak tua."
Dave berjalan lebih dulu, sambil meminum minumannya lagi. "Aku lebih suka panggilan Paman Jo, jangan Pak tua."
"Ingat saja umurmu yang sudah kepala tiga," balas Taylor dengan cepat.
"Masih banyak yang mengira aku anak muda," balas Dave lagi tak mau kalah.
Taylor diam, bukan berarti kalah debat, tetapi tidak ingin bertambah kesal. Biarkan Dave merasa bahagia.
"Ini kamarmu. Kamu tinggal di rumahku dengan peraturan rumahku, jadi turuti dan jangan buat aku marah. Sudah menjadi tanggungjawabku untuk menjagamu-"
"Jangan bertele-tele," potong Taylor yang sudah lelah berdiri.
"Baiklah. Pertama, dilarang pulang sampai tengah malam. Kedua, dilarang membawa orang asing. Ketiga, jika butuh sesuatu, datangi saja aku atau pelayan. Keempat ... " Dave sengaja berhenti bicara, membuat Taylor penasaran.
"Apa?"
" ... Dilarang mengunci pintu."
Taylor tidak setuju. Apa tujuan Dave dengan melarang mengunci pintu? Taylor juga butuh privasi. Pasti ini hanya modus saja.
"Aku serius, Taylor. Jika kamu mengunci pintu, aku tidak bisa menyelamatkanmu, jika terjadi sesuatu," tambah Dave.
Taylor memijat pangkal hidung. Tak habis pikir dengan pikiran Dave. Ingin protes, tetapi Dave pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dengan terpaksa, Taylor menyetujui. "Baiklah. Terserah."
Memasuki kamar luas dengan nuansa girly, membuat Taylor bingung. Taylor menatap Dave untuk meminta penjelasan.
"Aku tahu, kamu memintaku untuk menjelaskan." Dave mendekati Taylor, ikut memperhatikan kamar yang sudah didekorasi. "Aku memang belum menikah, tapi kamu sudah kuanggap sebagai anak. Kamar ini kudekorasi sudah sangat lama, dari pertama kali kita bertemu saat umurmu tujuh tahun. Aku selalu menyuruh pelayan untuk membersihkan kamar ini."
Tawa tidak percaya Taylor keluar. Menggeleng kepala, karena semakin bingung dengan cara berpikir pria di dekatnya. "Ini akibat Paman tidak menikah." Taylor mulai mengeluarkan barang-barang dari koper.
"Kamu ingin sekali aku menikah. Wanita saja aku belum punya."
Dave membuat Taylor terkekeh. "Astaga. Tidak ada wanita satu pun yang menyukaimu? Omong kosong. Biar kucarikan."
"Tidak," tolak Dave dengan cepat. "Fokus saja pada sekolahmu. Masalah wanita bisa kuurus nanti."
"Nanti? Kapan? Sampai aku menikah? Sampai aku punya anak? Sampai aku sudah-"
"Taylor." Suara berat Dave membuat Taylor menelan ludah. Jika Dave sudah serius, maka tatapannya berubah menjadi tajam. "Selesaikan urusanmu, akan kutunggu di lantai satu."
Taylor ditinggal begitu saja. Seharusnya, Taylor tidak perlu mempedulikan urusan asmara Dave. Namun, rasanya menjengkelkan, jika Dave belum memiliki pendamping hidup. Yang akan dijadikan sasaran keusilan pasti Taylor.
Taylor merasa risih dengan tatapan Dave. Ancaman pun keluar dari mulut Taylor. "Aku sedang memegang garpu. Jangan sampai garpu ini mengenai matamu."Dave tidak pernah takut dengan ancaman Taylor. Hanya tawa saja yang menjadi reaksinya.Bukan Dave namanya, jika tidak menjahili Taylor sampai Taylor marah. Salah satu kaki Dave bergerak mengenai dan mengusap dengan sengaja kaki Taylor, membuat Taylor yang sedang minum menjadi tersedak.Kesal dengan perilaku sahabat mama, Taylor menciprati Dave dengan air minum. "Apa tujuanmu melakukan itu?! Mau buat aku mati tersedak?!""Kamu terlalu serius. Tersenyumlah sedikit, untuk Paman Jo-mu ini," balas Dave dengan menunjukkan senyum jahil.Taylor memilih diam, ketika menaruh piring kotor di wastafel. Hendak pergi dari ruang makan, Dave memanggil Taylor karena sang mama menelpon dengan panggilan video."Halo, Ma. Belum berangkat?" tanya Taylor sambil berdiri di sebelah Dave. Namun, Dave menarik pinggang Taylor,
"Cepatlah, Paman! Jangan lambat!""Kamu yang lambat. Ikat dulu tali sepatumu!""Nanti saja di mobil."Dave dan Taylor masuk ke mobil bersamaan. Duduk bersebelahan. Dave memakai sabuk pengaman, sedangkan Taylor mengikat tali sepatu sambil menggigit roti."Lepas dulu rotimu. Sini, biar kupegang." Dave mengambil roti Taylor. "Apa kamu selalu seperi ini, jika ingin berangkat sekolah?""Tidak. Ini karena Paman lambat, jadi aku sedikit kesiangan," tuduh Taylor sambil memakai sabuk pengaman.Dave mengembalikan roti Taylor dengan wajah masam. "Bisanya menuduhku saja. Nanti pulang kabari aku, biar kujemput.""Tidak perlu," balas Taylor sambil mengunyah. "Setelah sekolah, aku ada tugas kelompok dengan teman-teman di rumah teman."Sambil menyetir, Dave menoleh sesekali pada Taylor dengan curiga. "Siapa temanmu? Brian?"Seketika, salah satu ujung bibir Taylor terangkat. Sengaja membuat Dave kesal. "Ya. Ada tugas kelompok. Aku dan dia harus b
Taylor sudah membaik, karena inhaler dari Dokter Elsa, juga sarapan yang disuapi Dave. Padahal, tangan Taylor masih bisa bergerak, tetapi Dave keras kepala. Membuat Dokter Elsa tertawa melihat perilaku dua orang di depan.Sekarang, Taylor sudah siap untuk pergi ke rumah teman kelas untuk mengerjakan tugas kelompok."Tay, sepertinya kamu pulang saja. Aku takut asmamu tiba-tiba kambuh." Fanny menggendong tas dengan wajah khawatir."Tugasnya dikumpul besok. Lagipula, aku sudah ada inhaler dari Dokter Elsa. Santai saja," kekeh Taylor yang ingin ikut. Demi mendapat nilai tambahan, kerjasama memang harus. Apalagi, guru yang mengajar telah mengatakan, yang hanya menumpang nama tidak akan mendapat nilai.Rudy yang satu kelompok dengan Taylor, menyetujui ucapan Fanny. Namun, wajah Rudy terlihat tidak suka. "Fanny benar. Kamu pulang saja. Kalau ditengah tugas tiba-tiba kamu kambuh, tapi inhaler tidak berfungsi, percuma saja, 'kan?"Entah kenapa, Taylor merasa ada
"Apa Donna membuatmu tak nyaman?"Pagi hari sudah membuat Taylor malas bicara. Kenapa harus membicarakan tentang orang asing? "Paman tahu sendiri, kalau aku tidak nyaman dengan orang asing.""Kalau begitu, apa kamu sudah nyaman denganku?" tanya Dave dengan senyum miring.Taylor mendecakkan lidah. Menyesal menjawab pertanyaan yang menjebak. "Jangan lambat, Paman Jo! Aku ingin berangkat sekarang. Tugas kelompok tinggal sedikit lagi selesai, akan kulanjut di sekolah saja."Dave meminum kopi dengan cepat. Memperhatikan Taylor yang asal memakai sepatu, Dave kembali bersuara. "Ikat tali sepatumu dulu dengan benar.""Nanti saja di mobil." Taylor mulai bergerak keluar dari rumah.Sebelum itu, Dave menghalangi jalan Taylor untuk mengikat tali sepatu. Membuat Taylor merasa sedikit tidak nyaman. "Kalau kamu jatuh sebelum masuk mobil, jangan salahkan aku. Tinggal diikat seperti ini saja, tidak sulit, 'kan?.""Terima kasih." Taylor pun memasuki mobil den
Ini ketiga kalinya Taylor mendecakkan lidah. Sudah lelah berpikir karena tugas, sekarang lelah menunggu Dave yang katanya sedang berangkat menjemput. Cuaca semakin lama semakin gelap.Brian datang duduk di sebelah Taylor, yang sedang duduk di tangga sekolah. Menemani dengan setia."Sepertinya, pamanmu akan datang terlambat. Mungkin macet. Ini sudah sore, jam pulang orang kerja," imbuh Brian sambil menonton beberapa murid yang bermain basket."Mungkin," balas singkat Taylor. "Kamu tidak pulang?" Kembali Taylor mengabari Dave melalui pesan."Bagaimana bisa aku meninggalkan perempuan yang telah mengungkapkan perasaannya di kantin?"Candaan Brian membuat Taylor malu. Taylor sengaja menyenggol lengan Brian, sambil berbisik, "Menyebalkan."Jika Taylor sudah mengungkapkan perasaan di kantin, kini giliran Brian yang akan mengungkapkan perasaan di tangga sekolah. Ini momen bagus. Selagi Brian duduk berdua dengan Taylor, tanpa ada murid yang mengganggu.
Kembali pada pagi hari, di mana Taylor harus sekolah, dan Dave harus bekerja. Namun, Taylor melihat ada yang berbeda dari Dave. Wajah Dave seperti kurang tidur. Apakah Dave begadang?"Paman Jo terlihat seperti manusia panda. Kalau mengantuk, lebih baik tidur saja. Aku tidak perlu diantar," celetuk Taylor yang baru saja selesai sarapan."Tidak. Aku akan tetap mengantarmu," balas Dave yang tidak sengaja menghirup wangi tubuh Taylor, ketika Taylor menaruh piring kotor di wastafel. "Kamu tidak ingin memberitahuku, apa rahasia tubuh wangimu?""Kalau Paman Jo mengantuk di tengah jalan, lalu kita kecelakaan, itu tidak lucu." Taylor menatap Dave sekilas, lalu meminum minum air putih. "Sekali rahasia, tetaplah rahasia."Taylor gadis yang tidak pernah berbohong, tetapi masalah rahasia, Taylor pandai menyimpan dengan erat. Akan sulit bagi Dave untuk mengetahui rahasia Taylor."Kamu saja yang menyetir."Terkejut mendengar ucapan Dave, Taylor mencubit pelan le
"Kamu perebut calon suamiku!""Kamu sengaja tidur di sofa, supaya Dave tergoda, 'kan?""Dave itu milikku! Jangan berani kamu dekati dia!"Sudah cukup. Pegangan tangan Taylor pada gelas berisikan susu semakin kencang. Peristiwa kemarin malam sungguh membuatnya tidak bisa tidur.Tidak ada yang suka dituduh, ditambah tanpa adanya bukti. Seperti Donna yang menuduh Taylor habis-habisan, mempermalukan Taylor di depan Dave.Bisa saja Taylor melaporkan hal tersebut karena pencemaran nama baik, tetapi Dave juga nemiliki salah. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada wanita yang suka, dan itu Dave sendiri yang mengatakan itu. Taylor berpikir, itu tidak mungkin, karena pasti banyak pegawai wanita yang mudah terpesona. Akan tetapi, Taylor tidak menyangka ada yang seperti ini.Menurut Taylor, diam itu lebih bagus untuk tidak mudah terpancing. Akan tetapi, bukan berarti diam itu lemah.Setelah memperlakukan Taylor dengan puas, Donna masih sempat bermesraan de
Pagi menjelang siang. Taylor masih belum keluar dari kamar. Kali ini, Dave sungguh menyesal dengan kecerobohan yang telah diperbuat.Kemari malam, setelah Dave diusir, Taylor sungguh tidak keluar dari kamar. Bahkan saat Dave mengajak bicara, Taylor malah diam dengan berpura-pura tidur.Menyesal sudah membuat Taylor marah dua kali. Kali ini, Dave akan meminta maaf. Sekaligus meminta penjelasan atas apa yang Brian lakukan pada Taylor. Semoga saja akan berjalan dengan lancar.Dave sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pintu tidak dikunci, sesuai dengan peraturan rumah. Takut peristiwa kemarin terulang, Dave membuka pintu kamar dengan perlahan.Ternyata si gadis dingin masih tertidur pulas, dengan posisi yang sama, miring ke arah kanan. Terlihat sangat tenang sekali, hingga Dave tidak berani membangunkan.Salah satu tangan Dave terurai untuk mengusap kepala Taylor. Lagi, lagi, dan lagi, wangi dari tubuh Taylor masih saja tercium.Tidak, Dave