Share

NaW: DUA

Taylor merasa risih dengan tatapan Dave. Ancaman pun keluar dari mulut Taylor. "Aku sedang memegang garpu. Jangan sampai garpu ini mengenai matamu."

Dave tidak pernah takut dengan ancaman Taylor. Hanya tawa saja yang menjadi reaksinya.

Bukan Dave namanya, jika tidak menjahili Taylor sampai Taylor marah. Salah satu kaki Dave bergerak mengenai dan mengusap dengan sengaja kaki Taylor, membuat Taylor yang sedang minum menjadi tersedak.

Kesal dengan perilaku sahabat mama, Taylor menciprati Dave dengan air minum. "Apa tujuanmu melakukan itu?! Mau buat aku mati tersedak?!"

"Kamu terlalu serius. Tersenyumlah sedikit, untuk Paman Jo-mu ini," balas Dave dengan menunjukkan senyum jahil.

Taylor memilih diam, ketika menaruh piring kotor di wastafel. Hendak pergi dari ruang makan, Dave memanggil Taylor karena sang mama menelpon dengan panggilan video.

"Halo, Ma. Belum berangkat?" tanya Taylor sambil berdiri di sebelah Dave. Namun, Dave menarik pinggang Taylor, sehingga Taylor terduduk di salah satu paha Dave. Tidak ada perlawanan dari Taylor.

"Sebentar lagi. Mama ingin memastikan kamu baik-baik saja di tangan pria menyebalkan itu." Kepala mama bergerak menunjuk Dave yang sedang menyender kepala di bahu Taylor.

Taylor yang merasa risih, langsung menyingkirkan kepala Dave. "Kalau menyebalkan, kenapa dititipkan padanya? Aku tidak betah, Ma."

Sebelum menjawab, Mama menghela napas. "Habisnya, hanya dia sahabat Mama yang dapat dipercaya. Sahabat Papamu juga."

"Dipercaya apanya?" gumam Taylor yang terdengar oleh Dave.

"Oh ya, salah satu karyawan kepercayaan papamu sudah mengerjakan sebagian tugas. Kemungkinan, Mama hanya seminggu di sana. Jadi, kamu akan tinggal dengannya hanya seminggu." Ada secercah kebahagiaan pada hati Taylor.

"Anakmu ini semakin lama semakin membenciku, tapi jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Dave meyakinkan Tina, sang mama.

"Kupegang ucapanmu, Dave. Ya sudah, pesawatnya mulai terbang. Mama tutup dulu." Mama pun mematikan panggilan.

Belum sempat mengatakan selamat tinggal dan hati-hati, Taylor merasa akan ada sesuatu yang terjadi pada sang mama. Namun, pikiran buruk tersebut dihapus dari otak.

Ketika Taylor ingin pergi ke kamar, Dave menahan pinggang Taylor untuk tidak pergi ke mana-mana.

"Jangan terburu-buru. Aku merindukanmu."

"Lepaskan aku, Pak tua!"

Karena berontakan Taylor yang begitu cepat, tidak sengaja membuat salah satu bagian tubuh Dave tersenggol. "Ugh, kamu membuat menara sutetku bangun."

"Hah? Tidak jelas." Taylor pun langsung mencubit paha Dave sampai kesakitan, supaya bisa kabur. Mau atau tidak, Dave melepaskan Taylor, dan Taylor langsung berlari ke kamar.

"Anak itu memang tidak pernah berubah," gumam Dave sambil tersenyum.

***

"Taylor, makan malam sudah siap." Sudah berkali-kali Dave memanggil Taylor, tetapi tidak ada sahutan dari kamar anak sahabatnya.

Apa terjadi sesuatu? Atau Taylor melakukan hal bodoh?

Dave mengetuk pintu kamar Taylor berkali-kali. Sama, tidak ada sahutan dan pintu pun dikunci dari dalam. Panik melanda Dave. Dave menggedor-gedor pintu kamar Taylor.

Taylor pun membuka pintu kamar dengan kesal, lalu sengaja mengeluarkan bagian kepala saja. "Apa?!"

"Kamu melupakan peraturan nomor empat. Dilarang mengunci pintu." Dave mengingatkan.

"Bagaimana aku tidak mengunci pintu? Aku sedang mandi! Paman kalau mandi juga mengunci pintu, 'kan?" balas Taylor semakin kesal.

"Kata siapa?" tanya Dave dengan senyum jahil.

Tiba-tiba Dave memasuki kamar Taylor, membuat Taylor menjadi panik. Tentu saja panik, karena Taylor hanya memakai handuk yang dibalut ke tubuh.

"Keluar! Heh!"

"Kamu mengusir pemilik rumah .... " Dave yang tadinya ingin terlihat menyeramkan di depan Taylor, malah seketika menelan ludah. Kedua matanya tidak berhenti menatap bagian tubuh Taylor yang terekspos.

Terdapat beberapa sepatu yang Taylor bawa dari rumah. Sepatu itu Taylor simpan di dekat pintu kamar, tetapi sekarang sepatu itu melayang ke wajah Dave.

"Baiklah! Aku pergi sekarang!" Dave pergi dengan memegangi wajahnya yang terkena lemparan sepatu.

Selesai memakai pakaian, Taylor memilih belajar untuk menghabiskan waktu sebelum tidur. Kali ini dengan pintu kamar yang terbuka. Padahal, Taylor lebih suka yang tertutup, jadi tidak ada yang mengganggu.

Namun, rumah yang Taylor tempati bukan lagi rumah orang tua. Rumah ini milik Dave Jo, pria yang selalu disebut Pak tua. Maka dari itu, Taylor tidak punya hak untuk melawan.

Sedang konsentrasi belajar, Taylor dikejutkan dengan suara berat Dave. "Jangan terlalu serius."

"Tidak bisakah ketuk pintu sebelum masuk? Di mana tata kramamu, Paman Jo?"

Bukannya menjawab, Dave malah tertawa melihat kekesalan Taylor. "Ingat, ini rumahku. Aku bebas untuk mengetuk atau asal masuk. Makan malam sudah siap. Kita makan dulu," ajak Dave sambil mengambil pulpen yang Taylor pegang.

Makan malam dalam keadaan hening cukup membuat pikiran Taylor tenang. Sayangnya, hanya bertahan beberapa detik saja.

"Berikan nomor ponsel teman kelasmu," pinta Dave yang sudah berada di sofa ruang tamu.

Perjalan Taylor untuk kembali ke kamar pun berhenti. "Untuk apa? Tidak akan ada perempuan yang menyukaimu. Apa Paman ingin kukenalkan dengan teman laki-lakiku?"

"Aku ini normal. Berikan saja satu," pinta Dave sedikit agak memaksa.

Hanya satu. Taylor memutuskan memberi nomor ponsel teman laki-laki, ketika duduk di sebelah Dave. "Namanya Brian Gullit." Tiba-tiba ada ide yang terlintas. "Dia pacarku."

Kepala Dave menoleh dengan cepat, terkejut dengan ucapan Taylor. "Kamu? Pacaran? Tidak mungkin. Tidak ada yang mau denganmu."

"Kata siapa? Nyatanya Brian pacarku," kukuh Taylor. Taylor sengaja mengatakan itu, supaya Dave tidak lagi mendekatinya.

"Oh, ya? Biar kutanya Mamamu-"

"Jangan!"

Dave tersenyum miring. Jika Taylor tidak mau Dave mengabari Tina, pasti ada sesuatu. Taylor tidak mengatakan pada sang mama, jika sedang berpacaran, atau mungkin Taylor berbohong belum berpacaran.

"Aku hapal perilakumu, gadis dingin. Kamu tidak pandai berbohong. Lihat, kalau kamu bohong, pasti kamu tidak berani menatapku," tukas Dave sambil menatap Taylor, tetapi Taylor malah menatap ke segala arah.

"Kamu tidak berpacaran. Berani bohong sama Pamanmu ini." Dave menggelitiki tubuh Taylor, sehingga Taylor kembali berontak.

Lelah berontak, Taylor terlihat mengantuk. Tubuhnya bersender pada lengan Dave yang kekar.

"Kamu mengantuk? Tidur saja. Besok sekolah, 'kan?" Tiba-tiba Dave menggendong Taylor ala pengantin. Dave sengaja melakukan ini, karena jika Taylor sudah mengantuk, pasti malas bergerak.

Dave pun menaruh Taylor di ranjang, lalu menyelimuti layaknya seorang papa pada anak. Melihat beberapa buku yang terbuka di meja, Dave juga merapikan buku tersebut.

"Buku untuk besok sudah disiapkan? Besok pakai baju apa? Mau bawa bekal atau tidak?"

Taylor yang sudah menutupi tubuhnya dengan selimut, menjawab dengan malas, "Buku sudah kusiapkan. Baju bisa diurus besok. Tidak perlu, ada kantin di sekolah. Paman terdengar seperti Mama."

"Ini tanggungjawabku," balas Dave yang sudah duduk di ranjang, membelai wajah dari anak sahabatnya. "Mimpikan aku, ya?"

"Lebih baik tidak tidur," jawab Taylor dengan mata tertutup.

Terlihat menggemaskan, Dave mencubit pipi Taylor dengan gemas.

"Sakit!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status