Share

NaW: DUA

Author: LiEunSaVaLove
last update Last Updated: 2021-04-10 11:10:12

Taylor merasa risih dengan tatapan Dave. Ancaman pun keluar dari mulut Taylor. "Aku sedang memegang garpu. Jangan sampai garpu ini mengenai matamu."

Dave tidak pernah takut dengan ancaman Taylor. Hanya tawa saja yang menjadi reaksinya.

Bukan Dave namanya, jika tidak menjahili Taylor sampai Taylor marah. Salah satu kaki Dave bergerak mengenai dan mengusap dengan sengaja kaki Taylor, membuat Taylor yang sedang minum menjadi tersedak.

Kesal dengan perilaku sahabat mama, Taylor menciprati Dave dengan air minum. "Apa tujuanmu melakukan itu?! Mau buat aku mati tersedak?!"

"Kamu terlalu serius. Tersenyumlah sedikit, untuk Paman Jo-mu ini," balas Dave dengan menunjukkan senyum jahil.

Taylor memilih diam, ketika menaruh piring kotor di wastafel. Hendak pergi dari ruang makan, Dave memanggil Taylor karena sang mama menelpon dengan panggilan video.

"Halo, Ma. Belum berangkat?" tanya Taylor sambil berdiri di sebelah Dave. Namun, Dave menarik pinggang Taylor, sehingga Taylor terduduk di salah satu paha Dave. Tidak ada perlawanan dari Taylor.

"Sebentar lagi. Mama ingin memastikan kamu baik-baik saja di tangan pria menyebalkan itu." Kepala mama bergerak menunjuk Dave yang sedang menyender kepala di bahu Taylor.

Taylor yang merasa risih, langsung menyingkirkan kepala Dave. "Kalau menyebalkan, kenapa dititipkan padanya? Aku tidak betah, Ma."

Sebelum menjawab, Mama menghela napas. "Habisnya, hanya dia sahabat Mama yang dapat dipercaya. Sahabat Papamu juga."

"Dipercaya apanya?" gumam Taylor yang terdengar oleh Dave.

"Oh ya, salah satu karyawan kepercayaan papamu sudah mengerjakan sebagian tugas. Kemungkinan, Mama hanya seminggu di sana. Jadi, kamu akan tinggal dengannya hanya seminggu." Ada secercah kebahagiaan pada hati Taylor.

"Anakmu ini semakin lama semakin membenciku, tapi jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Dave meyakinkan Tina, sang mama.

"Kupegang ucapanmu, Dave. Ya sudah, pesawatnya mulai terbang. Mama tutup dulu." Mama pun mematikan panggilan.

Belum sempat mengatakan selamat tinggal dan hati-hati, Taylor merasa akan ada sesuatu yang terjadi pada sang mama. Namun, pikiran buruk tersebut dihapus dari otak.

Ketika Taylor ingin pergi ke kamar, Dave menahan pinggang Taylor untuk tidak pergi ke mana-mana.

"Jangan terburu-buru. Aku merindukanmu."

"Lepaskan aku, Pak tua!"

Karena berontakan Taylor yang begitu cepat, tidak sengaja membuat salah satu bagian tubuh Dave tersenggol. "Ugh, kamu membuat menara sutetku bangun."

"Hah? Tidak jelas." Taylor pun langsung mencubit paha Dave sampai kesakitan, supaya bisa kabur. Mau atau tidak, Dave melepaskan Taylor, dan Taylor langsung berlari ke kamar.

"Anak itu memang tidak pernah berubah," gumam Dave sambil tersenyum.

***

"Taylor, makan malam sudah siap." Sudah berkali-kali Dave memanggil Taylor, tetapi tidak ada sahutan dari kamar anak sahabatnya.

Apa terjadi sesuatu? Atau Taylor melakukan hal bodoh?

Dave mengetuk pintu kamar Taylor berkali-kali. Sama, tidak ada sahutan dan pintu pun dikunci dari dalam. Panik melanda Dave. Dave menggedor-gedor pintu kamar Taylor.

Taylor pun membuka pintu kamar dengan kesal, lalu sengaja mengeluarkan bagian kepala saja. "Apa?!"

"Kamu melupakan peraturan nomor empat. Dilarang mengunci pintu." Dave mengingatkan.

"Bagaimana aku tidak mengunci pintu? Aku sedang mandi! Paman kalau mandi juga mengunci pintu, 'kan?" balas Taylor semakin kesal.

"Kata siapa?" tanya Dave dengan senyum jahil.

Tiba-tiba Dave memasuki kamar Taylor, membuat Taylor menjadi panik. Tentu saja panik, karena Taylor hanya memakai handuk yang dibalut ke tubuh.

"Keluar! Heh!"

"Kamu mengusir pemilik rumah .... " Dave yang tadinya ingin terlihat menyeramkan di depan Taylor, malah seketika menelan ludah. Kedua matanya tidak berhenti menatap bagian tubuh Taylor yang terekspos.

Terdapat beberapa sepatu yang Taylor bawa dari rumah. Sepatu itu Taylor simpan di dekat pintu kamar, tetapi sekarang sepatu itu melayang ke wajah Dave.

"Baiklah! Aku pergi sekarang!" Dave pergi dengan memegangi wajahnya yang terkena lemparan sepatu.

Selesai memakai pakaian, Taylor memilih belajar untuk menghabiskan waktu sebelum tidur. Kali ini dengan pintu kamar yang terbuka. Padahal, Taylor lebih suka yang tertutup, jadi tidak ada yang mengganggu.

Namun, rumah yang Taylor tempati bukan lagi rumah orang tua. Rumah ini milik Dave Jo, pria yang selalu disebut Pak tua. Maka dari itu, Taylor tidak punya hak untuk melawan.

Sedang konsentrasi belajar, Taylor dikejutkan dengan suara berat Dave. "Jangan terlalu serius."

"Tidak bisakah ketuk pintu sebelum masuk? Di mana tata kramamu, Paman Jo?"

Bukannya menjawab, Dave malah tertawa melihat kekesalan Taylor. "Ingat, ini rumahku. Aku bebas untuk mengetuk atau asal masuk. Makan malam sudah siap. Kita makan dulu," ajak Dave sambil mengambil pulpen yang Taylor pegang.

Makan malam dalam keadaan hening cukup membuat pikiran Taylor tenang. Sayangnya, hanya bertahan beberapa detik saja.

"Berikan nomor ponsel teman kelasmu," pinta Dave yang sudah berada di sofa ruang tamu.

Perjalan Taylor untuk kembali ke kamar pun berhenti. "Untuk apa? Tidak akan ada perempuan yang menyukaimu. Apa Paman ingin kukenalkan dengan teman laki-lakiku?"

"Aku ini normal. Berikan saja satu," pinta Dave sedikit agak memaksa.

Hanya satu. Taylor memutuskan memberi nomor ponsel teman laki-laki, ketika duduk di sebelah Dave. "Namanya Brian Gullit." Tiba-tiba ada ide yang terlintas. "Dia pacarku."

Kepala Dave menoleh dengan cepat, terkejut dengan ucapan Taylor. "Kamu? Pacaran? Tidak mungkin. Tidak ada yang mau denganmu."

"Kata siapa? Nyatanya Brian pacarku," kukuh Taylor. Taylor sengaja mengatakan itu, supaya Dave tidak lagi mendekatinya.

"Oh, ya? Biar kutanya Mamamu-"

"Jangan!"

Dave tersenyum miring. Jika Taylor tidak mau Dave mengabari Tina, pasti ada sesuatu. Taylor tidak mengatakan pada sang mama, jika sedang berpacaran, atau mungkin Taylor berbohong belum berpacaran.

"Aku hapal perilakumu, gadis dingin. Kamu tidak pandai berbohong. Lihat, kalau kamu bohong, pasti kamu tidak berani menatapku," tukas Dave sambil menatap Taylor, tetapi Taylor malah menatap ke segala arah.

"Kamu tidak berpacaran. Berani bohong sama Pamanmu ini." Dave menggelitiki tubuh Taylor, sehingga Taylor kembali berontak.

Lelah berontak, Taylor terlihat mengantuk. Tubuhnya bersender pada lengan Dave yang kekar.

"Kamu mengantuk? Tidur saja. Besok sekolah, 'kan?" Tiba-tiba Dave menggendong Taylor ala pengantin. Dave sengaja melakukan ini, karena jika Taylor sudah mengantuk, pasti malas bergerak.

Dave pun menaruh Taylor di ranjang, lalu menyelimuti layaknya seorang papa pada anak. Melihat beberapa buku yang terbuka di meja, Dave juga merapikan buku tersebut.

"Buku untuk besok sudah disiapkan? Besok pakai baju apa? Mau bawa bekal atau tidak?"

Taylor yang sudah menutupi tubuhnya dengan selimut, menjawab dengan malas, "Buku sudah kusiapkan. Baju bisa diurus besok. Tidak perlu, ada kantin di sekolah. Paman terdengar seperti Mama."

"Ini tanggungjawabku," balas Dave yang sudah duduk di ranjang, membelai wajah dari anak sahabatnya. "Mimpikan aku, ya?"

"Lebih baik tidak tidur," jawab Taylor dengan mata tertutup.

Terlihat menggemaskan, Dave mencubit pipi Taylor dengan gemas.

"Sakit!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Not a Week   NaW: TIGA PULUH DUA

    Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.

  • Not a Week   NaW: TIGA PULUH SATU

    Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid

  • Not a Week   NaW: TIGA PULUH

    Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,

  • Not a Week   NaW: DUA PULUH SEMBILAN

    Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J

  • Not a Week   NaW: DUA PULUH DELAPAN

    Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."

  • Not a Week   NaW: DUA PULUH TUJUH

    Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status