Share

NaW: TUJUH

Kembali pada pagi hari, di mana Taylor harus sekolah, dan Dave harus bekerja. Namun, Taylor melihat ada yang berbeda dari Dave. Wajah Dave seperti kurang tidur. Apakah Dave begadang?

"Paman Jo terlihat seperti manusia panda. Kalau mengantuk, lebih baik tidur saja. Aku tidak perlu diantar," celetuk Taylor yang baru saja selesai sarapan.

"Tidak. Aku akan tetap mengantarmu," balas Dave yang tidak sengaja menghirup wangi tubuh Taylor, ketika Taylor menaruh piring kotor di wastafel. "Kamu tidak ingin memberitahuku, apa rahasia tubuh wangimu?"

"Kalau Paman Jo mengantuk di tengah jalan, lalu kita kecelakaan, itu tidak lucu." Taylor menatap Dave sekilas, lalu meminum minum air putih. "Sekali rahasia, tetaplah rahasia."

Taylor gadis yang tidak pernah berbohong, tetapi masalah rahasia, Taylor pandai menyimpan dengan erat. Akan sulit bagi Dave untuk mengetahui rahasia Taylor.

"Kamu saja yang menyetir."

Terkejut mendengar ucapan Dave, Taylor mencubit pelan lengan kekar Dave. "Tujuan kita yang ada ke rumah sakit. Mau?"

Dave tertawa, lalu menyuruh Taylor untuk memakai sepatu. "Sebelum masuk mobil, pakai dulu sepatu. Ikat dulu tali sepatumu di depanku."

Ketika melipat koran, Dave memperhatikan Taylor yang sedang memasukkan kaki ke sepatu. Lalu, diam, tidak ada lagi pergerakan. Tiba-tiba Taylor menoleh ke Dave. Rencana Taylor adalah langsung lari ke mobil tanpa mengikat tali sepatu.

Taylor terlalu malas mengikat tali sepatu. Ketika mamanya membelikan Taylor sepatu, Taylor menginginkan sepatu bertali.

Sepertinya, Dave mengerti dengan ancang-ancang Taylor. Sebelum Taylor berdiri dari duduk, Dave lebih dulu mendekat dan berjongkok di depan Taylor. Kedua tangan Dave dengan cepat mengikat tali sepatu Taylor.

"Kalau kamu seperti ini terus, sepatumu akan kubuang. Sekolah pakai sandal saja," ancam Dave dengan menatap Taylor.

"Kalau kamu seperti ini terus, sepatumu akan kubuang. Sekolah pakai sandal saja." Taylor mengulangi ucapan Dave dengan mengejek. Salah satu tangan Taylor juga bergerak, seakan mengejek bibir Dave yang banyak bicara.

"Kamu tahu? Wajahmu sangat jelek, saat mengejekku." Dave sengaja memancing emosi Taylor.

"Aku tahu. Aku memang jelek." Taylor langsung pergi meninggalkan Dave yang masih berjongkok.

Dave tidak menyesal. Diamnya Dave di tempat, karena lagi dan lagi menghirup wangi tubuh Taylor. Rasa penasaran Dave masih sangat tinggi. Wangi tersebut membuat Dave tidak ingin lepas dari Taylor. Ingin terus-menerus memeluk Taylor, hanya untuk menghirup wangi tersebut.

Sudah diejek jelek, sekarang Taylor harus menerima keadaan, jika Dave adalah tukang melamun. Tidak tahu apa yang ada dipikiran sang paman. Cara yang paling ampuh untuk menyadarkan Dave adalah menjambak rambut hitam Dave.

"Pak tua tukang melamun, dilarang berpikiran mesum di pagi hari!"

"Hey, enak saja!"

***

Bersiap turun dari mobil, Taylor dihentikan dulu oleh Dave. "Kali ini, aku sungguh akan menjemputmu. Kita akan pergi ke pabrik, melihat cara pembuatan parfum. Kamu pasti sangat penasaran."

"Sebenarnya, tidak begitu penasaran, tapi kupegang ucapanmu," balas Taylor, yang langsung keluar dari mobil.

"Gadis dingin," panggil Dave, membuat Taylor membalikan tubuh pada Dave. Dave kembali memberi kecupan jarak jauh dan kedipan genit.

"Sungguh?" Taylor berkacak pinggang.

Dave suka sekali dengan reaksi Taylor yang tidak suka. Senyuman Dave melebar. Namun, senyuman itu sirna, ketika Brian mendatangi Taylor.

"Hey, Tay. Mari ke kelas bersama," ajak Brian. Melihat ada Pamannya Taylor, Brian memberi salam. "Pagi, Paman Jo. Kemarin aku mengantar Taylor pulang dengan selamat. Jangan khawatir."

"Tidak perlu seperti itu. Sudah kujelaskan padanya kemarin." Taylor menyahut, ketika Dave hanya diam. "Ayo, ke kelas." Giliran Taylor yang mengajak Brian.

Suasana hati Dave menjadi gemuruh. Taylor memang berhak berteman dengan siapa saja, tetapi dengan laki-laki? Dave merasa ragu. Tidak ada waktu, Dave harus pergi ke perusahaan.

"Kamu belum sarapan? Wajahmu pucat." Melihat wajah Taylor yang terlihat tidak sehat, Brian menjadi khawatir.

"Aku ini vampire." Candaan Taylor membuat Brian tertawa.

Begitu bel masuk berbunyi, guru tergalak di kelas datang dengan wajah masam. Murid di kelas Taylor selalu mengatakan hal yang sama, jika guru tersebut sedang datang bulan, dan tidak pernah selesai.

"Selamat pagi. Sekarang cepat keluarkan kamus yang saya suruh bawa. Apa ada yang tidak membawa kamus?"

"Ah, sial," umpat Taylor, yang terdengar oleh Riley dan Brian. "Aku lupa."

"Gawat. Kalau Bu Ana tahu, kamu bisa disuruh lari putar lapangan sepuluh kali. Apalagi kamu ada riwayat asma. Bu Ana tidak pilih kasih, kalau sudah memberi hukuman." Riley merasa khawatir.

Begitu juga dengan Brian. Taylor tidak bisa melakukan olahraga berlebihan. Seketika, kamus yang Brian pegang, langsung diberikan pada Taylor.

"Saya lupa bawa, Bu." Brian berdiri dengan mengangkat tangan.

"Lari keliling lapangan! Sepuluh kali!" suruh Bu Ana pada Brian, yang sedang meninggalkan kelas. "Ada lagi? Saya tidak suka, kalau ada murid yang tidak menurut."

Tidak seharusnya Brian melakukan ini. Kenapa Brian mau memberikan kamus pada Taylor? Taylor merasa kasihan.

Putaran kesepuluh selesai. Brian duduk sementara di tangga sekolah, mengatur napas, dan mengelap keringat. Tidak ada angin dan hujan, seseorang memberikan air putih langsung di depan Brian.

"Untukmu. Seharusnya, aku yang dihukum." Taylor memilih duduk di sebelah Brian.

Selesianya Brian menjalani hukuman, saat itu juga bel istirahat berbunyi. Keadaan yang sepi, berubah jadi sangat ramai.

"Kesehatanmu harus diutamakan. Lupakan saja. Akhir-akhir ini, aku butuh olahraga." Brian berusaha tidak membuat Taylor menjadi sedih. "Begini saja, sebagai ganti, nanti pulang bersamaku lagi. Bagaimana?"

"Sayangnya, Paman Jo akan menjemputku lagi. Maaf." Taylor menundukkan kepala.

"Hey, tidak masalah. Mungkin lain kali. Pamanmu pasti ingin mengganti kesalahannya kemarin, 'kan?" Brian meminum kembali minumannya.

Jawaban Taylor hanya anggukkan kepala.

Tiba-tiba Riley datang dari belakang kedua murid yang duduk bersebelahan, mengejutkan mereka yang termenung. "Duduk berdua saja. Aku tidak diajak. Aku sendirian, tahu?" Riley duduk di antara Taylor dan Brian.

"Orang bilang, kalau ada orang yang berada di tengah, dialah hantu."

Celotehan Taylor membuat Riley menyenggol lengan Taylor dengan tidak suka. Pasal, Riley mudah ketakutan hanya dengan cerita saja. Sedangkan Brian hanya tertawa.

"Boleh aku bertanya?" Riley memecahkan keheningan. "Kenapa kalian tidak berpacaran saja?"

***

Brian mengantar Taylor ke mobil hitam yang sudah menunggu sambil bercanda. Pandangan tersebut membuat Dave kembali tidak suka.

"Selamat sore, Paman Jo. Semoga harimu menyenangkan. Taylor belajar dengan baik hari ini." Brian sengaja memberi laporan tentang keseharian Taylor, supaya bisa dapat dipercaya.

"Terima kasih sudah menjaganya. Ayo, Taylor, masuk mobil." Dave menyuruh dari dalam mobil. "Jalanan macet. Nanti kamu tidak sempat melihat pembuatan parfum."

Ketika Taylor masuk ke mobil, Brian terpukau dengan pekerjaan Dave. "Parfum? Paman pembuat parfum? Wah, keren sekali. Apa aku akan dapat parfum gratis?" Sedikit bercanda tidak masalah.

"Ya, gratis. Hanya sekali semprot," jawab Dave dengan sinis.

Taylor terkekeh dengan perilaku Dave yang tidak biasa terjadi. "Sepertinya, Pamanku sedang datang bulan, sama seperti Bu Ana. Kamu hati-hati, ya? Aku pulang dulu." Sebelum menutup jendela mobil, Taylor melambaikan tangan pada Dave.

Brian membalas lambaian dengan senyuman.

"Kamu akrab sekali dengannya. Apa kalian sungguh berpacaran?" Dave bertanya dengan tatapan fokus ke jalan.

"Aku sudah bilang padamu. Brian pacarku," jawab Taylor dengan menatap mata Dave dengan berani. Ketika Dave menatap Taylor balik, tidak ada lirikan ke arah manapun. "Akan kukabari mama nanti. Santai saja."

"Jadi, kamu sungguh pacaran dengannya? Mengejutkan. Bagaimana cara dia menjadikanmu pacar?"

Sungguh risih. Taylor mendecakkan lidah. "Paman Jo terlalu banyak ingin tahu."

***

Banyak alat besar dan pegawai di sekitar Taylor. Masing-masing sibuk dengan tugas. Taylor mencoba untuk mendekat pada parfum yang belum dimasukkan ke kemasan.

"Terlalu menyengat." Taylor mengibas tangan di depan wajah.

Dave menarik pelan Taylor untuk menjauh dari tong, supaya Taylor tidak tercebur. "Haruskah kubatalkan?" tanyanya membuat Taylor bingung.

"Kenapa dibatalkan? Lanjutkan saja. Aku tidak bilang parfum ini tidak wangi. Hanya saja, aku yang bukan pemakai parfum, hanya bisa memberi pendapat." Taylor memiliki cara tersendiri dalam sudut pandang sesuatu.

Sampai di bagian kemasan, Taylor dan Dave berhenti dengan memperhatikan para pegawai yang cepat memasukkan parfum ke dalam bungkusan.

"Ini pertama kalinya aku buat parfum untuk remaja. Apa menurutmu akan laris?"

Pertanyaan Dave membuat Taylor cukup terusik. Kenapa sedaritadi Dave ingin menghentikan proses parfum, ketika Taylor mengatakan terlalu pekat? Kenapa Dave menjadi ragu dengan penjualan parfum remaja?

"Tentu saja laku. Pikir positif, Paman Jo. Apalagi, Paman punya model yang bernama Dora itu," jawab Taylor membuat Dave tertawa.

"Donna, bukan Dora. Dia model parfum khusus wanita dewasa. Untuk sekarang, belum ada model parfum remaja- Bagaimana kalau kamu yang menjadi model?"

"Hah? Apa?" Taylor tidak menyangka, jika Dave membuat Taylor menjadi model. Wajah Taylor terlalu dingin dan kaku, tidak pantas berada di depan layar. Foto bersama orang lain saja hampir tidak pernah, apalagi foto sendiri.

"Bukankah dia cocok menjadi model?" tanya Dave pada para pegawai.

Para pegawai memilih setuju. Ada yang mengangguk, meng-iya-kan, dan hanya tersenyum. Namanya pegawai, tidak ada yang berani dengan atasan. Demi gaji yang mereka inginkan, mereka terkadang harus setuju.

Taylor menggeleng kepala tanda tidak setuju. "Aku sudah bilang, bukan pemakai parfum. Jadikan Riley model saja."

"Aku ingin kamu, bukan orang lain."

"Dasar, Pak tua pemaksa!"

Setelah puas mengajak Taylor mengelilingi pabrik, Dave mengajak Taylor ke ruang kerja. Ada beberapa berkas yang harus diurus, dan itu membutuhkan waktu lama, membuat Taylor tidak sengaja tertidur di sofa.

Begitu selesai dengan berkas, Dave menyadari, jika Taylor sudah tak bersuara. Jika sudah tidur, pasti Taylor sulit dibangunkan. Alhasil, Dave memilih untuk menggendong Taylor ala pengantin.

Namun sebelum itu, Dave lagi dan lagi dibuat tidak bisa konsentrasi, bahkan tidak bisa menahan diri.

Kedua tangan Dave sudah siap untuk mengangkat tubuh Taylor, tetapi wajah Dave masih setia berada di dekat bahu Taylor, yang semakin lama semakin dekat. Wangi tubuh Taylor-lah alasan Dave menjadi seperti ini. Kenapa wangi tubuh Taylor bisa bertahan lama, dan mampu membius Dave?

Tanpa Dave sadari, di pintu sudah ada Donna yang masuk tanpa suara. "Dave!"

Teriakan Donna membuat Dave langsung menoleh, sedangkan Taylor terbangun dengan terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status