Share

NaW: DELAPAN

"Kamu perebut calon suamiku!"

"Kamu sengaja tidur di sofa, supaya Dave tergoda, 'kan?"

"Dave itu milikku! Jangan berani kamu dekati dia!"

Sudah cukup. Pegangan tangan Taylor pada gelas berisikan susu semakin kencang. Peristiwa kemarin malam sungguh membuatnya tidak bisa tidur.

Tidak ada yang suka dituduh, ditambah tanpa adanya bukti. Seperti Donna yang menuduh Taylor habis-habisan, mempermalukan Taylor di depan Dave.

Bisa saja Taylor melaporkan hal tersebut karena pencemaran nama baik, tetapi Dave juga nemiliki salah. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada wanita yang suka, dan itu Dave sendiri yang mengatakan itu. Taylor berpikir, itu tidak mungkin, karena pasti banyak pegawai wanita yang mudah terpesona. Akan tetapi, Taylor tidak menyangka ada yang seperti ini.

Menurut Taylor, diam itu lebih bagus untuk tidak mudah terpancing. Akan tetapi, bukan berarti diam itu lemah.

Setelah memperlakukan Taylor dengan puas, Donna masih sempat bermesraan dengan Dave. Sedangkan Dave sendiri berusaha melepas diri dari Donna, serta membuat Taylor mengerti dengan keadaan.

"Aneh sekali. Biasanya, kamu tidak bangun secepat ini." Dave datang dengan wajah tanpa ada masalah. Setelan jas pun rapi, lalu duduk, dan meminta kopi pada pelayan.

Taylor hanya diam sambil menatap mata Dave tajam. Masih merasa dibohongi.

"Kenapa menatapku seperti itu? Kamu masih marah denganku? Ayolah, Taylor. Harus berapa kali aku minta maaf?" Dave kembali merasa bersalah.

"Kekesalanku sudah seratus persen. Paman Jo dua puluh persen, dan sisanya si Dora itu. Entah Dora, Dota, Donna, atau Dosa, aku tidak peduli!" Taylor dengan cepat menghabiskan susu tanpa jeda.

Dave sedikit terkejut dengan cara minum Taylor, ketika sedang marah. Namun, masih bisa dimaklumi.

"Aku sungguh tidak suka dengannya. Dari awal datang ke rumah, dia masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Sudah terlihat, kalau dia tidak ada sopan santun. Begitu juga kemarin." Semua yang ada di dalam hati sengaja dikeluarkan oleh Taylor. "Dia juga selalu mengatakan calon suami. Kalau benar kalian punya hubungan khusus, jujur saja."

Ucapan terakhir Taylor membuat Dave mengusap wajah. Sepertinya, Dave mulai tak nyaman dengan percakapan ini. "Taylor, dia bukan pacarku. Hubungan kami hanya sebatas kerja. Dia memintaku ... untuk menikah dengannya."

"Aku memang tidak ada hak untuk mengurus dunia asmaramu. Tapi, aku tidak suka dengannya. Dia bukan wanita baik, Paman." Karena pandai menilai perilaku hanya dari tatapan tajam, Taylor berani mengatakan hal tersebut.

Notifikasi ponsel Taylor muncul. Brian mengabari, jika dirinya sudah ada di depan rumah Dave.

Taylor pun menaruh gelas kosong, lalu memakai tas gendong kecil. "Aku pergi dulu. Brian sudah menunggu di depan. Aku tidak akan pulang sampai tengah malam lagi."

"Pergi? Bukankah hari ini kamu libur? Kemana? Hanya berdua?" Pertanyaan banyak Dave membuat Taylor malas menjawab.

"Aku hanya pergi ke perpustakaan, ingin mengerjakan tugas dari beberapa buku. Kenapa hanya berdua? Paman ingin aku pergi ke perpustakaan bersama semua murid sekolahan?" tanya Taylor balik membuat Dave diam.

Tak lama setelah Taylor keluar rumah, Dave menyusul. Entah apa yang terjadi pada pikiran Dave, dia hanya ingin memastikan saja.

"Maaf, pasti sudah menunggu lama." Taylor memasang wajah sedih sebelum memakai helm. "Tadi sempat berdebat dengan si pak tua," lanjutnya setelah memakai helm.

Ketika Taylor baru saja menaiki motor, Dave mendekat sambil memanggil. Jiwa ke-papa-an Dave kembali muncul.

"Pagi, Paman Jo. Kami akan pergi ke perpustakaan. Tenang saja, aku akan menjaganya dengan baik." Brian berusaha membuat Dave percaya dan senang, teknik untuk mendapatkan perhatian calon mertua kedua, setelah Mama Taylor.

Dave tidak peduli dengan Brian. Mata Dave fokus pada Taylor yang sedang menatap ke arah lain. "Beritahu aku, kalau kamu ada janji bersama teman. Ingat, kamu dititipkan. Kamu tanggungjawabku selagi ada di rumah ini."

Salah satu tangan Taylor terangkat, meminta Dave berhenti bicara. "Jangan buat suasana hatiku semakin buruk. Mau bilang atau tidak, aku bisa menjaga diri. Pacarku setia menemani."

Pacar. Satu kata itu membuat Dave meradang. Belum lagi, melihat Taylor yang memeluk Brian dengan erat dari belakang.

"Kami pergi dulu, Paman," ijin Brian dengan memberi senyuman sebelum berangkat.

Sudah lewat dari jam masuk kerja. Dave terburu-buru mengambil tas kerja tanpa meminum kopi yang sudah dingin. Saat mengambil tas, kunci mobil, menutup pintu, itu dilakukan dengan rasa kesal.

Sebenarnya, ada apa dengan Dave?

***

Taylor sempat menceritakan semua apa yang terjadi di malam itu pada Brian. Dengan lengkap dan pelan, karena perpustakaan melarang kebisingan.

"Donna itu buruk. Kamu harus berhati-hati dengannya," imbuh Brian yang setuju dengan Taylor.

"Memang harus. Hanya saja, aku tidak mengerti dengan Donna. Dia mengira aku merebut Paman Jo darinya," oceh Taylor yang membuat Brian terkekeh.

Brian memajukan tubuh pada Taylor yang duduk di sebrang, mengajak untuk berbisik. "Donna pasti iri denganmu, bisa tinggal di rumah Paman Jo dengan mudah."

Salah satu alis Taylor menaik. Alasan itu tidak masuk akal. "Aneh. Aku saja tidak ingin satu rumah dengan Paman Jo, karena dia sangat menyebalkan. Kalau Donna ikut tinggal di sana, lebih baik aku mundur," balasnya dengan mengangkat kedua tangan.

"Apa mamamu tahu ini?" tanya Brian sambil membuka lembaran kertas.

Taylor menggeleng kepala. "Aku tidak suka mengganggu orang sibuk. Apa yang menurutku bisa kuatur sendiri, akan kulakukan. Masalah Donna tidak perlu dibesar-besarkan. Dia hanya berlebihan saja."

"Semakin lama aku mencintaimu." Brian membuat Taylor malu, sehingga Taylor menutupi wajah dengan buku yang sedang dibaca.

"Sudahlah. Buku-buku ini akan kupinjam saja. Mengerjakan tugas di rumah. Mari kita jalan-jalan," ajak Taylor sambil merapikan buku.

Brian mengangguk setuju, lalu ikut merapikan buku.

Berhenti di restoran sederhana, Taylor dan Brian masuk untuk makan siang. Mereka akan menghabiskan waktu bersama sebelum menjelang malam. Terlihat sangat menyenangkan, walaupun hanya sesaat.

Ya, sesaat.

Brian sedang memegang kedua tangan Taylor dengan senyum bahagia. Senyum itu mampu membuat Taylor salah tingkah. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Penyakitmu itu bukan alasan. Percayalah, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Cintaku ini hanya untukmu."

Memang Brian tidak bisa membaca pikiran Taylor. Akan tetapi, Brian pasti tahu, jika Taylor selalu berpikir, kenapa Brian ingin menjalin kasih dengan orang yang penyakitan?

Suara kursi ditarik membuat kedua pasangan muda menoleh. Seorang pria duduk dengan santai, lalu bertepuk tangan layaknya terpukau.

"Wow, pernyataan cinta yang sangat luar biasa."

Taylor mendecakkan lidah, lalu menghela napas berat. Sedangkan Brian hanya tersenyum, dan berkata, "Terima kasih, Paman Jo."

"Apa kalian akan berpegangan tangan saat makan?" Dave terdengar seperti memberi peringatan pada Brian.

Taylor melepas pegangan Brian dengan kesal, menatap Dave dengan salah satu alis menaik. "Apa yang Paman Jo lakukan di sini?"

"Tentu saja makan siang. Aku tidak sengaja melihat kalian, jadi ikut bergabung," jawab Dave tanpa merasa bersalah. Sambil melihat menu makanan, Dave bertanya, "Sudah memilih makanan?"

"Belum, Paman," jawab Brian dengan wajah kecewa.

"Bagus. Pilihlah makanan kalian, aku yang akan bayar. Gadis dingin, pilih makanan sehat. Aku tidak ingin asmamu kambuh." Sungguh, Dave seakan sengaja membuat Taylor kesal. Selalu saja mengganggu privasi.

Dengan perasaan yang berkecamuk, Taylor membuka buku menu dengan kesal.

Dave sempat melirik pada Taylor sekilas. Ada senyum yang mengembang di bibir. Sebenarnya, Dave tidak berangkat ke kantor. Dari awal Taylor pergi ke perpustakaan, Dave mengikuti tanpa ketahuan. Ingin memastikan, bahwa Taylor baik-baik saja.

Selesai makan siang, Dave membuka suara, supaya suasana di antara mereka tidak terlalu tegang. "Bagaimana? Apa makanannya enak?"

"Enak sekali, Paman." Brian pasrah dengan keadaan. Hanya bisa mengikuti alur permainan Dave.

"Tentu saja. Aku yang bayar."

Cukup. Taylor sudah tidak tahan lagi. "Paman, hentikan ini. Lebih baik pergi ke kantor dan urus parfum-parfummu. Sudah cukup Paman mengganggu. Kami sungguh tidak tenang, kalau ada Paman di sini."

Pengganggu. Kata itu cukup menyakitkan hati Dave. Entah kenapa bisa sesakit ini. Padahal, setiap Dave bertemu dengan Taylor, tidak pernah ada rasa sakit seperti ini.

Dari dulu, Taylor selalu mengatakan bahwa Dave pengganggu di hidup Taylor, tetapi hati Dave malah merasa senang. Kali ini Dave sungguh merasa kecewa.

"Ya." Dave mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. "Beri saja kembalian uang ini pada pelayan." Ditaruh uang tersebut di depan Taylor.

"Dan kamu ... " Dave memegang salah satu bahu Brian. " ... Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Taylor. Apa pun itu." Karena ada rasa kecewa, Dave memberi cengkraman sedikit pada bahu Brian.

"I-iya, Paman. Aku akan selalu menjaganya," balas Brian dengan menahan sakit, serta memberi senyum sedih.

Dave pun beranjak dari kursi. Kali ini, Dave sungguh pergi ke perusahaan.

***

Dua pegawai masuk ke ruangan, karena dipanggil oleh Dave melalui sekretaris. Satu wanita dan satu pria, sudah duduk di sebrang sang atasan.

"Saya memanggil karena ingin meminta kalian untuk mencari lima model remaja perempuan. Kita akan menyeleksi mereka satu per satu." Dave menjelaskan semuanya, sampai para pegawai mengerti.

Mereka pun mengerti permintaan Dave, tetapi tidak mengerti dengan alasan.

Pegawai wanita pun bertanya, "Maaf, kalau saya lancang. Kenapa kita harus menyeleksi? Bukankah hanya panggil satu model, lalu tinggal melakukan shooting iklan?"

"Iya, Pak. Bagaimana dengan Nona Spark? Menurut saya, dia cocok untuk menjadi model parfum remaja ini." Pegawai pria ikut setuju dan bertanya.

Dave harus menjawab. Namun, karena kata pengganggu yang terlontar dari mulut Taylor membuat Dave menjadi risih, dan sulit berpikir.

"Taylor menolak. Saya meminta ini, karena ingin mencari model yang cocok. Itu saja. Kembalilah bekerja."

Kedua pegawai pun pergi dari ruangan Dave. Bagaimana para pegawai bisa mengenali Taylor? Itu karena Dave selalu mengajak Taylor ke perusahaan, ketika Taylor masih anak-anak.

Berkali-kali Dave menatap jam tangan. Ada rasa khawatir di hati, karena Taylor pergi bersama Brian. Suasana pun juga sudah mulai gelap.

"Aku memang kecewa, tetapi diam saja tidak akan menghasilkan apa pun. Jangan egois. Akan kuhubungi dia," gumam Dave, selagi mencari nama 'Gadis Dingin' dikontak ponsel.

Setelah tersambung, Dave langsung melontarkan banyak pertanyaan. "Gadis dingin, apa kamu sudah di rumah? Sudah makan? Apa yang kamu lakukan sekarang?"

Dave sedikit terkejut dengan suara yang keluar dari ponsel. Suara lelaki.

"Aku bukan gadis dinginmu, Paman," jawab Brian sambil terkekeh. "Taylor sudah ada di rumah, dia sudah makan, dan dia sedang-"

"Kenapa ponsel Taylor ada padamu?" tanya Dave menyela jawaban Brian.

"Katanya, dia malas berbicara denganmu. Jadi, dia menyuruhku untuk menerima panggilanmu," jawab Brian sesuai permintaan Taylor.

Dave terdiam. Pikirannya kembali menuju pada Taylor yang terganggu oleh kedatangan Dave.

"Aw! Brian! Kamu terlalu menekannya!"

Lamunan Dave tersadar setelah mendengar rintihan Taylor. Apa yang Brian lakukan pada Taylor?

"Brian! Apa yang kamu lakukan? Ada apa dengan Taylor? Halo? Brian!" Dave berkali-kali memanggil nama Brian dan Taylor, tetapi tidak ada sahutan. Membuat Dave geram, dan langsung mengambil ancang-ancang pulang.

Di sisi lain, Brian juga melakukan hal yang sama. "Halo? Paman? Paman Jo?"

"Kenapa?" tanya Taylor sambil mengelus kaki.

"Sinyal ponselmu buruk sekali," jawab Brian setelah menaruh ponsel Taylor di meja, lalu melanjutkan aktivitas yang tertunda.

Tiba-tiba Taylor menarik kaki dari tangan Brian. "Sudahlah, kakiku sudah lebih baik. Terima kasih. Sebaiknya kamu pulang, ini sudah malam. Kalau Paman Jo tiba-tiba melihatmu di sini, kamu sudah habis di tangannya."

"Aku akan pulang. Jangan terlalu dipaksakan berjalan. Jaga dirimu." Brian pergi keluar meninggalkan Taylor, sambil melambaikan tangan tanda berpisah.

Taylor menghela napas pasrah. Ketika berjalan menaiki tangga teras, tidak sengaja kaki Taylor terkilir. "Ceroboh sekali aku. Waktunya mandi." Taylor pun berjalan ke kamar dengan perlahan.

Dua jam kemudian. Dave datang dengan wajah panik, khawatir, dan kesal. Saat bertemu dengan pelayan di tangga, Dave bertanya, "Taylor di kamar?"

"Di kamar , Tuan."

Dengan cepat langsung ke kamar Taylor. Tanpa mengetuk dan memanggil, Dave langsung membuka kamar dengan kasar. Tentu saja, siapa yang tidak khawatir, jika ada seorang gadis yang disayang bersama dengan lelaki?

Namun, Dave bukannya mendapati Taylor bersama Brian, melainkan pemandangan yang mampu membuat salah satu anggota tubuh Dave terbangun.

Taylor sengaja berlama-lama di kamar mandi, dan baru selesai mandi ketika Dave pulang. Tubuh Taylor baru ditutupi oleh pakaian dalam dengan warna senada.

Mereka berdua pun sama-sama terkejut.

"Pergi, Pak tua mesum!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status