Home / Romansa / Not a Week / NaW: ENAM

Share

NaW: ENAM

Author: LiEunSaVaLove
last update Last Updated: 2021-04-20 22:30:07

Ini ketiga kalinya Taylor mendecakkan lidah. Sudah lelah berpikir karena tugas, sekarang lelah menunggu Dave yang katanya sedang berangkat menjemput. Cuaca semakin lama semakin gelap.

Brian datang duduk di sebelah Taylor, yang sedang duduk di tangga sekolah. Menemani dengan setia.

"Sepertinya, pamanmu akan datang terlambat. Mungkin macet. Ini sudah sore, jam pulang orang kerja," imbuh Brian sambil menonton beberapa murid yang bermain basket.

"Mungkin," balas singkat Taylor. "Kamu tidak pulang?" Kembali Taylor mengabari Dave melalui pesan.

"Bagaimana bisa aku meninggalkan perempuan yang telah mengungkapkan perasaannya di kantin?"

Candaan Brian membuat Taylor malu. Taylor sengaja menyenggol lengan Brian, sambil berbisik, "Menyebalkan."

Jika Taylor sudah mengungkapkan perasaan di kantin, kini giliran Brian yang akan mengungkapkan perasaan di tangga sekolah. Ini momen bagus. Selagi Brian duduk berdua dengan Taylor, tanpa ada murid yang mengganggu.

"Tay, sebenarnya, aku juga menyu-"

Cuaca yang gelap membuat suara petir terdengar kencang. Tetesan air juga mulai jatuh dari awan. Diawali dengan gerimis, berubah menjadi deras.

"Pindah tempat dulu. Cipratan air mengenai wajah mulusku." Taylor membuat Brian terkekeh, ketika pindah tempat.

Mereka berteduh di parkiran motor, tepat di dekat motor Brian.

"Tay, aku tidak yakin, kalau pamanmu akan datang." Brian mulai lelah menunggu, begitu juga dengan Taylor yang telah menunggu sedaritadi.

"Kamu benar. Tidak ada macet sampai berjam-jam begini," balas Taylor dengan kesal, lalu menatap Brian. "Tolong antarkan aku ke rumah Paman Jo saja."

"Dengan senang hati." Brian berubah menjadi semangat. Ternyata, menunggu itu bisa merubah keadaan. Seperti sekarang, Brian ingin pulang bersama Taylor, dan harapan itu terjadi.

Ketika Brian memberikan atasan jas hujan, Taylor mendadak bingung. Pasal, jas hujan yang Brian punya hanya satu. "Tidak ada lagi? Bagaimana denganmu?"

"Ada jaket. Tenang saja." Brian menunjukkan senyum.

Berani melawan hujan deras untuk tidak menunggu lagi. Taylor tidak suka menghabiskan banyak waktu hanya untuk menunggu, apalagi tidak ada kabar sama sekali. Bahasa gaulnya adalah 'Ghosting.'

Di tengah jalan, juga hujan deras, Brian mengajak Taylor bicara. "Tunjukkan arah rumah pamanmu."

"Hah? Mama Sarah? Siapa dia?" balas Taylor yang tidak dapat dengar secara jelas.

"Marah? Kamu marah? Kenapa? Aku salah apa?"

"Gerah dari mana? Kamu tidak lihat, hujan deras di depan?"

Brian pun menepikan motor, lalu menoleh pada Taylor. "Kamu mau beli beras?"

***

Bukannya berangkat menjemput Taylor, Dave malah asik dengan Donna yang mendesah. Mendengar suara petir yang kencang, membuat Dave tersadar dengan Taylor yang sudah menunggu.

"Sial." Dave menjauhi Donna sambil merapikan pakaian. "Pulanglah. Aku harus jemput Taylor dan pulang sekalian. Dia pasti akan memarahiku."

Donna mendecakkan lidah, menatap Dave yang bersiap pergi tanpa merapikan pakaian. "Dia sudah bukan anak-anak lagi. Dia bisa pulang sendiri, atau pulang bersama temannya. Ayolah, Dave. Aku ingin berdua denganmu."

"Tidak bisa. Dia anak sahabatku. Aku bertanggungjawab atas keselamatannya, apalagi dia punya penyakit asma," balas Dave terburu-buru meninggalkan Donna sendirian.

"Hanya karena dia anak sahabatmu yang dititipkan, bukan berarti kamu seperti pengasuh, Dave! Taylor menjadi penghalang," gumam Donna kesal.

Mobil hitam berhenti di depan gedung sekolah. Menunggu siswi bernama Taylor Spark keluar dari gerbang sekolah, Dave mencoba menghubungi Taylor.

Tidak ada jawaban. Dave mencoba lagi. "Angkat, Taylor."

Terpaksa, Dave memanggil satpam yang sedang berjaga. "Pak, Taylor Spark, apa dia sudah pulang?"

"Sudah, Pak. Dia pulang bersama temannya, Brian. Mereka naik motor. Sudah pulang beberapa jam yang lalu," jawab Satpam dengan payung yang melindungi tubuh dari air hujan.

"Terima kasih, kalau begitu." Dave menutup kaca jendela, ketika satpam memberi salam hormat.

Dave mulai melajukan mobil. "Sepertinya, dia pulang ke rumah. Aku akan meminta maaf padanya. J

Kalau Donna tidak datang, tidak akan seper- Tidak. Seharusnya, aku tidak tergoda dengan Donna. Kalau terjadi apa-apa pada Taylor, Tina tidak akan memaafkanku."

Mobil hitam berhenti lagi di garasi. Dave memasuki rumah besar dengan tergesa-gesa. "Taylor," panggilnya dengan suara lantang. "Taylor, di mana kamu?"

Salah satu pelayan datang, menyambut kedatangan tuan rumah. "Selamat sore, Tuan Dave. Nona Spark belum pulang."

"Belum? Ini sudah malam. Ke mana dia? Apa dia memberi kabar ke rumah?" Jiwa ke-papa-an Dave memuncak. Tidak ingin terjadi sesuatu pada gadis yang sudah dianggap sebagai anak.

Jawaban pelayan hanyalah gelengan kepala.

Dave mengusap wajah dengan cemas. "Jangan bilang, dia kabur karena marah? Akan kutunggu dia sementara. Kalau tengah malam belum pulang, terpaksa aku akan pergi mencari."

Dave memutuskan untuk duduk di sofa, nenyenderkan tubuh kekar, sambil menatap kosong ke arah gelas berisikan air, yang baru dibawakan oleh pelayan.

"Aku tidak akan memaafkan Brian, kalau dia melakukan hal buruk pada gadis dinginku."

***

18:35. Brian baru saja menurunkan Taylor di depan rumah besar. Menunggu jas hujan dikembalikan, Brian tidak sengaja melihat pria yang sedang memperhatikan melalui jendela.

"Tay, sepertinya, pamanmu tidak suka dengan kehadiranku." Brian mengajak Taylor berbincang, sambil menghindari tatapan.

"Hiraukan saja dia." Setelah mengembalikan jas hujan, Taylor memberi uang pada Brian. "Tadi kamu beli bensin, ini kubayar."

"Santai saja, Tay. Kamu seperti pulang bersama ojek saja," ucap Brian sambil tertawa.

Taylor memaksa dengan menaruh uang di tangan Brian. "Karena aku menumpang, jadi kuganti uang bensinmu. Hati-hati di jalan."

Brian pun menerima pemberian Taylor. "Baiklah. Terima kasih, Tay. Aku pulang dulu." Motor pun mulai meninggalkan tempat.

Masuk dengan menenteng sepatu basah, Taylor harus berjalan dengan hati-hati, karena takut terpeleset di lantai dingin.

"Harus cepat mandi, atau nanti masuk angin," gumam Taylor tidak sadar akan kehadiran Dave di ruang tamu.

"Taylor Spark, sudah jam berapa ini?"

Langkah Taylor terhenti, lalu menatap Dave yang sudah melipat kedua lengan di depan dada. Taylor melihat jam tangan, sambil menjawab, "Ini belum tengah malam. Jangan berlebihan."

"Memang belum, tapi ke mana saja? Kenapa baru sekarang tiba?" Dave mendekati Taylor dengan tatapan tajam.

Entah kenapa, Taylor merasa diintimidasi oleh Dave. Seharusnya, Taylor yang melontarkan pertanyaan tersebut. Suasana hati Taylor berubah menjadi suntuk.

"Brian tidak tahu arah jalan pulang ke rumahmu, mengisi bensin, lalu tidak sengaja tersasar. Sekarang kutanya, di mana Paman Jo saat aku meminta jemput? Aku memberi pesan berkali-kali. Paman kira, aku tidak lelah menunggu?"

"Memang salahku, karena telat menjemput. Aku juga sudah menghubungimu, tapi tidak dijawab. Di mana ponselmu?" tanya Dave dengan suara sedikit meninggi.

"Ponselku mati karena habis baterai. Puas?" Kali ini, nada bicara Taylor ikut meninggi. "Aku bosan menunggumu terlalu lama. Menghabiskan banyak waktu hanya untuk menunggu," lanjutnya, lalu pergi ke kamar.

Taylor dan Dave memang selalu bertengkar kecil hanya untuk bercanda, tetapi kali ini pertengkaran mereka sedikit serius.

Memang kesalahan penuh ada pada Dave. Sudah bersiap berangkat, tetapi malah mengundur waktu. Padahal, tadi Dave ingin meminta maaf. Entah kenapa, setelah melihat Brian mengantar Taylor pulang, Dave merasa kesal.

Kali ini, Dave sungguh akan meminta maaf pada Taylor. Meminta maaf karena telat jemput, dan tidak sengaja marah.

Sebelum masuk ke kamar Taylor, Dave mengetuk pintu. Berusaha terlihat sopan di saat Taylor sedang marah. Seperti yang Dave tahu, Taylor tidak suka ada orang yang asal mengganggu privasi.

"Masuk." Taylor menyuruh dari dalam.

Dave melihat Taylor sedang memakai body lotion pada kaki jenjang, membuat Dave salah fokus, sekaligus salah tingkah.

Salah satu kaki Taylor dinaikkan ke ranjang sambil berdiri, kedua tangan Taylor juga bergerak untuk meratakan lotion, tetapi tatapan Taylor tidak berpindah tempat dari kaki. Jika kesal, Taylor tidak ingin menatap orang, bahkan melirik pada orang yang sudah membuat Taylor marah saja enggan.

Dave memilih duduk di sebelah Taylor yang berdiri. "Aku mengaku salah. Tolong, maafkan aku. Tadi ... ada pegawai yang melakukan kesalahan, jadi harus kuperiksa."

"Aku hanya ingin Paman Jo memberi kabar. Kalau tidak bisa, bilang, walaupun telat." Taylor menghentikan gerakan tangan, lalu menatap Dave. "Lupakan. Setidaknya aku sudah di rumah, dan pulang tidak tengah malam," lanjutnya sambil meratakan lotion.

Setelah selesai dengan kegiatan, Taylor merapikan pelajaran untuk besok.

"Oh ya, aku mengirim foto parfum padamu. Menurutmu bagaimana? Kalau kamu suka, akan kuperbanyak parfum itu, lalu dijual." Dave mencoba mengganti suasana hati Taylor.

"Kenapa harus menunggu aku suka?" tanya Taylor dengan senyum miring. Taylor melihat gambar parfum Dave yang berada diponsel.

"Karena kamu remaja. Kamu perwakilan dari semua remaja yang ada di dunia," jawab Dave sambil tertawa, ketika menjadikan kedua lengan untuk menahan tubuh ke belakang.

Taylor duduk di kursi belajar, sambil memperhatikan gambar parfum.

"Apa ada yang salah? Kenapa lihatnya lama sekali?" Penasaran, Dave mendekati Taylor. Wangi dari tubuh Taylor masuk ke hidung Dave, membuat salah satu bagian tubuh Dave terangsang.

Parfum apa yang dipakai Taylor? Dave tidak pernah melihat Taylor memakai parfum, melihat parfum Taylor saja tidak. Namun, wangi ini mampu membuat Dave tergoda. Dave harus cari tahu apa rahasia dari wangi tubuh si gadis dingin.

"Sebagai remaja yang tidak pernah memakai parfum, aku hanya bisa menjawab, kalau penampilan parfum ini sangat bagus. Jadi, kembangkan saja."

Jawaban Taylor membuat Dave tidak percaya. "Tidak pernah memakai parfum? Lalu, wangi tubuhmu ini dari mana?"

"Rahasia," jawab singkat Taylor dengan senyum miring. "Aku yakin, parfum ini akan laris dengan adanya model parfummu. Siapa namanya? Dora?"

"Donna," ralat Dave sambil tertawa. "Beritahu aku, wangi apa ini? Kalau bukan parfum, lalu apa?"

Taylor menggerakkan tangan seakan mengusir. "Ingin tahu saja rahasia perempuan. Makan malam sudah jadi? Aku lapar. Aku juga ingin minum susu hangat." Taylor meninggalkan Dave sendirian.

Dave mampu membuat berbagai macam parfum dengan pilihan. Akan tetapi, wangi dari tubuh Taylor sangat langka. Pernyataan Taylor yang mengatakan tidak pernah menggunakan parfum, membuat Dave tidak percaya.

Selagi tidak ada Taylor di kamar, Dave memeriksa meja rias. Hanya ada krim wajah, kosmetik, serta body lotion. Sungguh tidak ada parfum.

"Aku tidak akan bisa tidur dengan tenang, kalau rasa penasaran belum terjawab," gumam Dave sambil menatap pantulan di cermin.

"Paman Jo, mau makan atau tidak?" tanya Taylor dari ruang makan dengan sedikit berteriak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Not a Week   NaW: TIGA PULUH DUA

    Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.

  • Not a Week   NaW: TIGA PULUH SATU

    Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid

  • Not a Week   NaW: TIGA PULUH

    Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,

  • Not a Week   NaW: DUA PULUH SEMBILAN

    Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J

  • Not a Week   NaW: DUA PULUH DELAPAN

    Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."

  • Not a Week   NaW: DUA PULUH TUJUH

    Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status