Share

NaW: ENAM

Ini ketiga kalinya Taylor mendecakkan lidah. Sudah lelah berpikir karena tugas, sekarang lelah menunggu Dave yang katanya sedang berangkat menjemput. Cuaca semakin lama semakin gelap.

Brian datang duduk di sebelah Taylor, yang sedang duduk di tangga sekolah. Menemani dengan setia.

"Sepertinya, pamanmu akan datang terlambat. Mungkin macet. Ini sudah sore, jam pulang orang kerja," imbuh Brian sambil menonton beberapa murid yang bermain basket.

"Mungkin," balas singkat Taylor. "Kamu tidak pulang?" Kembali Taylor mengabari Dave melalui pesan.

"Bagaimana bisa aku meninggalkan perempuan yang telah mengungkapkan perasaannya di kantin?"

Candaan Brian membuat Taylor malu. Taylor sengaja menyenggol lengan Brian, sambil berbisik, "Menyebalkan."

Jika Taylor sudah mengungkapkan perasaan di kantin, kini giliran Brian yang akan mengungkapkan perasaan di tangga sekolah. Ini momen bagus. Selagi Brian duduk berdua dengan Taylor, tanpa ada murid yang mengganggu.

"Tay, sebenarnya, aku juga menyu-"

Cuaca yang gelap membuat suara petir terdengar kencang. Tetesan air juga mulai jatuh dari awan. Diawali dengan gerimis, berubah menjadi deras.

"Pindah tempat dulu. Cipratan air mengenai wajah mulusku." Taylor membuat Brian terkekeh, ketika pindah tempat.

Mereka berteduh di parkiran motor, tepat di dekat motor Brian.

"Tay, aku tidak yakin, kalau pamanmu akan datang." Brian mulai lelah menunggu, begitu juga dengan Taylor yang telah menunggu sedaritadi.

"Kamu benar. Tidak ada macet sampai berjam-jam begini," balas Taylor dengan kesal, lalu menatap Brian. "Tolong antarkan aku ke rumah Paman Jo saja."

"Dengan senang hati." Brian berubah menjadi semangat. Ternyata, menunggu itu bisa merubah keadaan. Seperti sekarang, Brian ingin pulang bersama Taylor, dan harapan itu terjadi.

Ketika Brian memberikan atasan jas hujan, Taylor mendadak bingung. Pasal, jas hujan yang Brian punya hanya satu. "Tidak ada lagi? Bagaimana denganmu?"

"Ada jaket. Tenang saja." Brian menunjukkan senyum.

Berani melawan hujan deras untuk tidak menunggu lagi. Taylor tidak suka menghabiskan banyak waktu hanya untuk menunggu, apalagi tidak ada kabar sama sekali. Bahasa gaulnya adalah 'Ghosting.'

Di tengah jalan, juga hujan deras, Brian mengajak Taylor bicara. "Tunjukkan arah rumah pamanmu."

"Hah? Mama Sarah? Siapa dia?" balas Taylor yang tidak dapat dengar secara jelas.

"Marah? Kamu marah? Kenapa? Aku salah apa?"

"Gerah dari mana? Kamu tidak lihat, hujan deras di depan?"

Brian pun menepikan motor, lalu menoleh pada Taylor. "Kamu mau beli beras?"

***

Bukannya berangkat menjemput Taylor, Dave malah asik dengan Donna yang mendesah. Mendengar suara petir yang kencang, membuat Dave tersadar dengan Taylor yang sudah menunggu.

"Sial." Dave menjauhi Donna sambil merapikan pakaian. "Pulanglah. Aku harus jemput Taylor dan pulang sekalian. Dia pasti akan memarahiku."

Donna mendecakkan lidah, menatap Dave yang bersiap pergi tanpa merapikan pakaian. "Dia sudah bukan anak-anak lagi. Dia bisa pulang sendiri, atau pulang bersama temannya. Ayolah, Dave. Aku ingin berdua denganmu."

"Tidak bisa. Dia anak sahabatku. Aku bertanggungjawab atas keselamatannya, apalagi dia punya penyakit asma," balas Dave terburu-buru meninggalkan Donna sendirian.

"Hanya karena dia anak sahabatmu yang dititipkan, bukan berarti kamu seperti pengasuh, Dave! Taylor menjadi penghalang," gumam Donna kesal.

Mobil hitam berhenti di depan gedung sekolah. Menunggu siswi bernama Taylor Spark keluar dari gerbang sekolah, Dave mencoba menghubungi Taylor.

Tidak ada jawaban. Dave mencoba lagi. "Angkat, Taylor."

Terpaksa, Dave memanggil satpam yang sedang berjaga. "Pak, Taylor Spark, apa dia sudah pulang?"

"Sudah, Pak. Dia pulang bersama temannya, Brian. Mereka naik motor. Sudah pulang beberapa jam yang lalu," jawab Satpam dengan payung yang melindungi tubuh dari air hujan.

"Terima kasih, kalau begitu." Dave menutup kaca jendela, ketika satpam memberi salam hormat.

Dave mulai melajukan mobil. "Sepertinya, dia pulang ke rumah. Aku akan meminta maaf padanya. J

Kalau Donna tidak datang, tidak akan seper- Tidak. Seharusnya, aku tidak tergoda dengan Donna. Kalau terjadi apa-apa pada Taylor, Tina tidak akan memaafkanku."

Mobil hitam berhenti lagi di garasi. Dave memasuki rumah besar dengan tergesa-gesa. "Taylor," panggilnya dengan suara lantang. "Taylor, di mana kamu?"

Salah satu pelayan datang, menyambut kedatangan tuan rumah. "Selamat sore, Tuan Dave. Nona Spark belum pulang."

"Belum? Ini sudah malam. Ke mana dia? Apa dia memberi kabar ke rumah?" Jiwa ke-papa-an Dave memuncak. Tidak ingin terjadi sesuatu pada gadis yang sudah dianggap sebagai anak.

Jawaban pelayan hanyalah gelengan kepala.

Dave mengusap wajah dengan cemas. "Jangan bilang, dia kabur karena marah? Akan kutunggu dia sementara. Kalau tengah malam belum pulang, terpaksa aku akan pergi mencari."

Dave memutuskan untuk duduk di sofa, nenyenderkan tubuh kekar, sambil menatap kosong ke arah gelas berisikan air, yang baru dibawakan oleh pelayan.

"Aku tidak akan memaafkan Brian, kalau dia melakukan hal buruk pada gadis dinginku."

***

18:35. Brian baru saja menurunkan Taylor di depan rumah besar. Menunggu jas hujan dikembalikan, Brian tidak sengaja melihat pria yang sedang memperhatikan melalui jendela.

"Tay, sepertinya, pamanmu tidak suka dengan kehadiranku." Brian mengajak Taylor berbincang, sambil menghindari tatapan.

"Hiraukan saja dia." Setelah mengembalikan jas hujan, Taylor memberi uang pada Brian. "Tadi kamu beli bensin, ini kubayar."

"Santai saja, Tay. Kamu seperti pulang bersama ojek saja," ucap Brian sambil tertawa.

Taylor memaksa dengan menaruh uang di tangan Brian. "Karena aku menumpang, jadi kuganti uang bensinmu. Hati-hati di jalan."

Brian pun menerima pemberian Taylor. "Baiklah. Terima kasih, Tay. Aku pulang dulu." Motor pun mulai meninggalkan tempat.

Masuk dengan menenteng sepatu basah, Taylor harus berjalan dengan hati-hati, karena takut terpeleset di lantai dingin.

"Harus cepat mandi, atau nanti masuk angin," gumam Taylor tidak sadar akan kehadiran Dave di ruang tamu.

"Taylor Spark, sudah jam berapa ini?"

Langkah Taylor terhenti, lalu menatap Dave yang sudah melipat kedua lengan di depan dada. Taylor melihat jam tangan, sambil menjawab, "Ini belum tengah malam. Jangan berlebihan."

"Memang belum, tapi ke mana saja? Kenapa baru sekarang tiba?" Dave mendekati Taylor dengan tatapan tajam.

Entah kenapa, Taylor merasa diintimidasi oleh Dave. Seharusnya, Taylor yang melontarkan pertanyaan tersebut. Suasana hati Taylor berubah menjadi suntuk.

"Brian tidak tahu arah jalan pulang ke rumahmu, mengisi bensin, lalu tidak sengaja tersasar. Sekarang kutanya, di mana Paman Jo saat aku meminta jemput? Aku memberi pesan berkali-kali. Paman kira, aku tidak lelah menunggu?"

"Memang salahku, karena telat menjemput. Aku juga sudah menghubungimu, tapi tidak dijawab. Di mana ponselmu?" tanya Dave dengan suara sedikit meninggi.

"Ponselku mati karena habis baterai. Puas?" Kali ini, nada bicara Taylor ikut meninggi. "Aku bosan menunggumu terlalu lama. Menghabiskan banyak waktu hanya untuk menunggu," lanjutnya, lalu pergi ke kamar.

Taylor dan Dave memang selalu bertengkar kecil hanya untuk bercanda, tetapi kali ini pertengkaran mereka sedikit serius.

Memang kesalahan penuh ada pada Dave. Sudah bersiap berangkat, tetapi malah mengundur waktu. Padahal, tadi Dave ingin meminta maaf. Entah kenapa, setelah melihat Brian mengantar Taylor pulang, Dave merasa kesal.

Kali ini, Dave sungguh akan meminta maaf pada Taylor. Meminta maaf karena telat jemput, dan tidak sengaja marah.

Sebelum masuk ke kamar Taylor, Dave mengetuk pintu. Berusaha terlihat sopan di saat Taylor sedang marah. Seperti yang Dave tahu, Taylor tidak suka ada orang yang asal mengganggu privasi.

"Masuk." Taylor menyuruh dari dalam.

Dave melihat Taylor sedang memakai body lotion pada kaki jenjang, membuat Dave salah fokus, sekaligus salah tingkah.

Salah satu kaki Taylor dinaikkan ke ranjang sambil berdiri, kedua tangan Taylor juga bergerak untuk meratakan lotion, tetapi tatapan Taylor tidak berpindah tempat dari kaki. Jika kesal, Taylor tidak ingin menatap orang, bahkan melirik pada orang yang sudah membuat Taylor marah saja enggan.

Dave memilih duduk di sebelah Taylor yang berdiri. "Aku mengaku salah. Tolong, maafkan aku. Tadi ... ada pegawai yang melakukan kesalahan, jadi harus kuperiksa."

"Aku hanya ingin Paman Jo memberi kabar. Kalau tidak bisa, bilang, walaupun telat." Taylor menghentikan gerakan tangan, lalu menatap Dave. "Lupakan. Setidaknya aku sudah di rumah, dan pulang tidak tengah malam," lanjutnya sambil meratakan lotion.

Setelah selesai dengan kegiatan, Taylor merapikan pelajaran untuk besok.

"Oh ya, aku mengirim foto parfum padamu. Menurutmu bagaimana? Kalau kamu suka, akan kuperbanyak parfum itu, lalu dijual." Dave mencoba mengganti suasana hati Taylor.

"Kenapa harus menunggu aku suka?" tanya Taylor dengan senyum miring. Taylor melihat gambar parfum Dave yang berada diponsel.

"Karena kamu remaja. Kamu perwakilan dari semua remaja yang ada di dunia," jawab Dave sambil tertawa, ketika menjadikan kedua lengan untuk menahan tubuh ke belakang.

Taylor duduk di kursi belajar, sambil memperhatikan gambar parfum.

"Apa ada yang salah? Kenapa lihatnya lama sekali?" Penasaran, Dave mendekati Taylor. Wangi dari tubuh Taylor masuk ke hidung Dave, membuat salah satu bagian tubuh Dave terangsang.

Parfum apa yang dipakai Taylor? Dave tidak pernah melihat Taylor memakai parfum, melihat parfum Taylor saja tidak. Namun, wangi ini mampu membuat Dave tergoda. Dave harus cari tahu apa rahasia dari wangi tubuh si gadis dingin.

"Sebagai remaja yang tidak pernah memakai parfum, aku hanya bisa menjawab, kalau penampilan parfum ini sangat bagus. Jadi, kembangkan saja."

Jawaban Taylor membuat Dave tidak percaya. "Tidak pernah memakai parfum? Lalu, wangi tubuhmu ini dari mana?"

"Rahasia," jawab singkat Taylor dengan senyum miring. "Aku yakin, parfum ini akan laris dengan adanya model parfummu. Siapa namanya? Dora?"

"Donna," ralat Dave sambil tertawa. "Beritahu aku, wangi apa ini? Kalau bukan parfum, lalu apa?"

Taylor menggerakkan tangan seakan mengusir. "Ingin tahu saja rahasia perempuan. Makan malam sudah jadi? Aku lapar. Aku juga ingin minum susu hangat." Taylor meninggalkan Dave sendirian.

Dave mampu membuat berbagai macam parfum dengan pilihan. Akan tetapi, wangi dari tubuh Taylor sangat langka. Pernyataan Taylor yang mengatakan tidak pernah menggunakan parfum, membuat Dave tidak percaya.

Selagi tidak ada Taylor di kamar, Dave memeriksa meja rias. Hanya ada krim wajah, kosmetik, serta body lotion. Sungguh tidak ada parfum.

"Aku tidak akan bisa tidur dengan tenang, kalau rasa penasaran belum terjawab," gumam Dave sambil menatap pantulan di cermin.

"Paman Jo, mau makan atau tidak?" tanya Taylor dari ruang makan dengan sedikit berteriak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status