Bibir Nyonya Valerie memucat. Alih-alih membenci Suri, putranya malah memihak wanita itu secara terang-terangan. Terlebih, Romeo berani mempertanyakan tuduhan yang ia sematkan terhadap menantunya yang mandul itu.
“Romeo, sejak kapan kamu terpengaruh oleh ucapan Suri?” tanya Nyonya Valerie dengan suara bergetar. Ia mengira bahwa Suri yang sudah meracuni pikiran putranya.
“Suri tidak mengatakan apa-apa,” pungkas Romeo.
Wajah Nyonya Valerie merah padam, antara marah dan bingung. Ia tak terbiasa melihat Romeo berbicara dengan nada setajam ini. Sementara Aira, yang biasanya sering membalas perkataan kakaknya, kali ini diam membatu, seperti seorang bocah yang ketahuan berbuat nakal.
Romeo melanjutkan dengan nada suara yang lebih dingin dan tegas, seolah memberi peringatan. “Aku dan Suri belum bercerai,” katanya, menatap tajam ibu dan adiknya secara bergantian. “Dan aku akan segera membawanya pulang.”
Aira menimbang sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Bagian dari dirinya ingin mengabaikan Ivan, tetapi di sisi lain, ia merasa senang melihat bahwa pria itu masih tertarik padanya.Percakapan dimulai dengan canggung. Ivan mencoba menarik kembali ingatan masa lalu, tentang momen-momen ketika mereka bersama, tetapi Aira hanya menjawab sekenanya. Ia tidak mau terlihat lemah, apalagi masih menyimpan cinta terhadap pria itu. Hanya saja, setelah mereka berdua menghabiskan beberapa gelas minuman, Aira mulai terbuka. Perlahan-lahan senyumnya kembali mengembang, bahkan gadis itu tak canggung untuk bersandar di bahu Ivan. Sebagai mantan kekasih, Ivan tahu persis bagaimana caranya membuat Aira luluh, dan hal itu mulai melemahkan pertahanan yang telah ia bangun.“Baby, apa kamu pernah berpikir untuk bersamaku lagi?” Ivan bertanya tiba-tiba, membuat jantung Aira berdegup lebih cepat. Apalagi, Ivan menatapnya dengan tatapan serius yang sulit diabaikan.Aira menghela napas, mencoba menutupi kebimba
Suri melirik dokter Silas yang berdiri di sebelah dokter Richard. Pria itu hanya tersenyum kecil, seolah sudah biasa mendengar pujian semacam itu.“Terima kasih atas sarannya, Dok,” jawab Suri terdengar ragu.Menghilangkan bekas luka itu terasa seperti membuka luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam. Namun, di sisi lain, ada sedikit harapan untuk bisa meninggalkan kenangan buruk itu selamanya. Bagaimanapun, ia berhak untuk tampil sempurna sebagai seorang wanita. Setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh, dokter Richard pun berpamitan. “Baiklah, saya rasa cukup untuk pagi ini. Nanti sore, dokter Daniel yang akan memeriksa kondisi Anda.”Dokter Richard berjalan keluar, diikuti oleh perawat yang menjaga Suri. Sepertinya, ia ingin memberikan beberapa instruksi tambahan kepada perawat tersebut.Kini, hanya ada Suri dan dokter Silas di dalam kamar rawat yang sunyi. Dokter Silas pun mendekat, lalu memperhatikan selang infus dan alat pemantau denyut jantung secara bergantian. “Bagaimana ko
Setelah Yonas pergi, Romeo menarik napas panjang untuk meredakan amarahnya. Aira selalu menjadi tanggung jawabnya sejak ayah mereka meninggal, tetapi gadis itu kini semakin sulit diatur. Ini semua karena Aira selalu dimanjakan dan dipenuhi semua keinginannya sejak kecil. Untuk sesaat, ruangan terasa hening, hanya terdengar suara napas Romeo yang teratur. Di saat seperti ini, ia tidak boleh goyah dan terhanyut oleh perasaan. Bagaimanapun, tumpukan dokumen di mejanya masih menanti untuk diperiksa. Romeo duduk di belakang meja kerjanya, menatap layar laptop dengan alis yang sedikit berkerut. Ia melepas jas dan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Kurang lebih tiga jam, Romeo tenggelam dalam pekerjaan, hingga ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. “Masuk,” katanya tanpa mengangkat pandangan.Yonas masuk dengan langkah tenang sebelum menghampiri meja sang CEO. “Pak Romeo, Detektif Austin sudah datang. Dia sedang menunggu di luar.”Romeo mengangguk pelan. “Suruh dia masuk
“Tuan Romeo, saya harus jujur. Dengan minimnya petunjuk seperti ini, akan sangat sulit untuk menemukan identitas gadis kecil itu. Belasan tahun adalah waktu yang panjang, dan lokasi spesifik kejadian sudah berubah banyak,” jelas Austin apa adanya. “Saya paham,” kata Romeo cepat. “Tapi, jika ada cara untuk mencari tahu, saya ingin Anda mencobanya.”Austin mengangguk perlahan, ekspresinya penuh pertimbangan. “Baiklah, saya akan mencoba. Hanya saja, saya tidak bisa menjanjikan hasil yang pasti. Lagi pula, prioritas saya saat ini adalah melacak keberadaan Nyonya Suri.”“Saya mengerti,” kata Romeo. “Bawa saja jepit kupu-kupu ini. Mungkin bisa membantu Anda dalam penyelidikan.”Austin menyimpan jepit tersebut ke dalam kantong kecil di jasnya. “Saya akan menyelidiki saat ada waktu luang dari tugas utama saya. Jika saya menemukan sesuatu, saya akan segera mengabari Anda.”Detektif itu membungkuk singkat, lalu melangkah keluar. Romeo memandangi punggungnya hingga hilang di balik pintu. Kenan
Malam itu, begitu sampai di mansion, Romeo tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia bermaksud langsung menuju kamarnya di lantai dua. Namun, sang adik ternyata sudah menunggu di ruang tamu dengan tangan terlipat di dada.Begitu Romeo melangkah lebih dekat, Aira bangkit dari sofa sembari memasang wajah cemberut. “Kak, kenapa kartu kreditku diblokir?” protesnya tanpa basa-basi.Romeo berhenti sejenak, menatap Aira dengan sorot mata tajam yang membuat siapapun merasa terkunci di tempatnya. Meski begitu, Aira tidak mundur. Gadis itu menatap balik dengan berani, biarpun di dalam hati ia merasa gentar. “Itu pelajaran untukmu, Aira,” jawab Romeo dingin, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Selama ini kamu hanya tahu bagaimana menghamburkan uang. Kamu selalu bersikap manja dan menolak bekerja keras. Bahkan, skripsimu sampai sekarang belum selesai.”Kata-kata Romeo menghujam Aira seperti panah berapi. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi dia tidak ingin menangis di depan kakaknya. Harga dirin
Kamar rumah sakit itu diselimuti ketenangan. Suri membuka mata perlahan, merasakan kegelapan samar mulai berganti dengan cahaya putih yang berpendar dari langit-langit ruangan. Kesadarannya berangsur pulih, tetapi rasa nyeri yang menusuk di pipi kirinya segera mencuri perhatian. Suri mengangkat tangannya, ingin menyentuh pipinya, tetapi ia ragu. Ia tahu, menyentuhnya hanya akan memperparah rasa sakit. Sejak menjalani operasi tumor hidung beberapa waktu lalu, tubuhnya seperti terbiasa menghadapi rasa sakit. Namun, operasi plastik di pipi kirinya ini membawa rasa yang berbeda—nyeri yang berdenyut dan terasa seperti ribuan jarum menusuk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Tidak apa-apa,” gumamnya lirih. “Aku hanya perlu bersabar.” Meski nyeri itu menyakitkan, ia tidak akan mengeluh. Dalam hati, Suri percaya, rasa sakit ini adalah harga yang pantas untuk sebuah awal baru. Perawat yang menjaga Suri langsung tersenyum hangat dan menyapanya, "Selamat pagi, No
Cakrawala biru memayungi gedung pencakar langit dengan awan tipis yang tersapu angin. Romeo melangkah keluar dari mobilnya dengan mengenakan setelan jas krem, matanya yang tajam menatap pintu kaca kantor. Agendanya hari ini sangat padat, mulai dari rapat pagi hingga meninjau proyek pembangunan hotel. “Selamat pagi, Tuan Romeo. Dan selamat ulang tahun,” ucap Yonas dengan nada formal, disertai senyum kecil. Seperti biasa, pria itu sudah menanti kehadiran Romeo di lobi. “Terima kasih,” jawab Romeo datar. Tidak ada antusiasme dalam suaranya. Baginya, ulang tahun hanyalah hari biasa. Bahkan, ia hampir lupa bahwa hari ini adalah ulang tahunnya yang ketiga puluh satu, hingga Yonas mengingatkan. Dengan wajah tanpa ekspresi, Romeo berjalan menuju lift khusus CEO sementara Yonas mengekor di belakangnya. Namun, baru beberapa langkah, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakang. Resepsionis muda kantor, seorang wanita bertubuh jangkung, memanggilnya. “Tuan Albantara!” Romeo menghe
Yonas menelan ludah, mencoba memahami alasan di balik permintaan tersebut. Ia mengangguk perlahan. “Akan saya sampaikan ke manajer HRD, supaya tidak mengumumkan hari ulang tahun Anda mulai tahun depan,” jawab Yonas patuh.Di sepanjang perjalanan menuju proyek, suasana di dalam mobil terasa tegang. Yonas memilih diam, merasa ini bukan waktu yang tepat untuk berbasa-basi. Namun, pikirannya sibuk menganalisis perubahan sikap Romeo pagi ini. Ia yakin semuanya berawal dari hadiah yang dikirimkan oleh Suri. Di sisi lain, Romeo duduk di kursi belakang dengan tangan terlipat. Matanya memandang ke arah jalan raya, tetapi pikirannya tidak berhenti berputar. Ia masih penasaran mengapa Suri mengirim parfum itu? Apa tujuannya? Kenangan tentang wanita itu kembali menghantam dirinya. Romeo ingat betul bagaimana dulu ia sering bersikap dingin atas perhatian Suri. Ia berpikir bahwa menunjukkan kelemahannya berarti memberikan Suri kendali penuh atas dirinya. Namun sekarang, ia justru merasa diabaik
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya