Kesunyian yang melingkupi ruangan itu membuat setiap detik terasa begitu panjang. Bak badai yang baru saja reda, tetapi meninggalkan jejak kehancuran yang tak kasatmata. Nyonya Miranda, Nyonya Valerie, dan Aira masih terdiam, seolah tersambar petir oleh kenyataan yang baru saja terungkap. Mata Nyonya Valerie memerah, dadanya naik turun seiring kedua bahunya yang terguncang pelan. Sedangkan Nyonya Miranda, wanita tua itu tampak pucat. Ia terbatuk sebentar, lalu menghela napas sepenuh dada.Romeo menatap mereka satu per satu, membiarkan mereka menyerap berita buruk yang selama ini ia pendam sendiri. Dengan suara bergetar, Nyonya Miranda akhirnya membuka suara.“Romeo, apakah kamu yakin hasil ini benar?” tanyanya lirih, menatap cucunya penuh harap.Romeo mengangguk tegas. “Sangat benar, Nek. Aku diperiksa di rumah sakit terpercaya oleh dokter Fani, seorang dokter obgyn yang sangat berpengalaman.”Mendengar penegasan dari Romeo, Nyonya Valerie terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tan
Gedung galeri seni di pusat kota Velmora berdiri megah dengan arsitektur bernuansa klasik. Dinding-dindingnya tinggi, dihiasi karya-karya para pelukis ternama. Aroma cat minyak samar-samar bercampur dengan wangi bunga yang disusun dalam vas kristal. Para tamu yang berlalu-lalang, mengamati lukisan-lukisan yang dipajang dengan pencahayaan sempurna.Nyonya Miranda berjalan perlahan, matanya menyusuri tiap kanvas yang memajang berbagai mahakarya dari tiga pelukis tersohor. Romeo dan Suri setia mendampinginya, memperhatikan ekspresi nenek mereka yang sesekali mengangguk kagum. Ia berhenti di depan lukisan malaikat yang melayang di atas hamparan bunga lili putih, serta lukisan burung camar yang terbang bebas di langit jingga. Kemudian, matanya berpindah lagi ke lukisan laut bergelora, dengan mercusuar yang berdiri kokoh di tengah badai. Lukisan-lukisan itu bercerita tentang warna dan goresan, menyuguhkan potret emosional dan abstrak yang menggugah imajinasi."Sungguh luar biasa," gumam N
Hampir tiga minggu berlalu sejak pengakuan Romeo tentang kondisinya di depan keluarga. Sejak itu, Nyonya Miranda semakin sering mengundang mereka ke mansion, sekadar untuk makan malam bersama atau berjalan-jalan menikmati udara segar. Sementara itu, Nyonya Valerie, meskipun masih bersikap sinis, tampaknya belum melakukan apapun yang mengusik kehidupan rumah tangga putranya.Hanya saja, saat ini Suri sedang merasa kesepian. Romeo harus pergi ke luar negeri selama lima hari untuk melakukan kesepakatan kerja sama proyek pembangunan mal. Hari ini baru memasuki hari kedua, tetapi Suri sudah merindukan suaminya dengan begitu dalam. Sepulang dari kantor, ia hanya duduk termenung di kamar, memeluk erat boneka beruang besar pemberian Romeo. Walaupun tubuhnya lelah usai seharian meninjau proyek kota mandiri, Suri sama sekali tidak mengantuk.Biasanya, di malam-malam seperti ini, Suri terlelap dalam pelukan suaminya, merasakan kehangatan dan perlindungannya. Namun kini, ranjang tempatnya berbar
Raysa baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu calon pembeli apartemen. Setelah merapikan berkas-berkasnya, ia menghela napas sejenak sebelum bersiap menemui klien berikutnya—seseorang yang berniat membeli unit penthouse eksklusif dengan luas lebih dari 250 meter persegi di pusat kota. Pertemuan mereka dijadwalkan berlangsung di sebuah kafe, yang terletak di dekat area pengembangan apartemen.Setibanya di kafe, Raysa memesan secangkir kopi latte dan duduk di salah satu meja yang menghadap ke jendela. Ia mengecek kembali dokumen properti sambil menunggu kliennya datang.Namun, alih-alih sosok asing yang muncul, Raysa justru mendapati seorang pria yang sangat dikenalnya.Kenzo.Matanya melebar, tubuhnya menegang. Kenzo berjalan santai mendekatinya, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, memperlihatkan pergelangan tangan kokohnya. Senyum khasnya yang penuh percaya diri membuat Raysa semakin kesal."Apa yang kamu lakukan di sini?" Raysa langsung berdiri dari kursinya,
Tepat pukul dua belas, Suri melangkah masuk ke Kafe Eclesia, tempat yang telah ia sepakati dengan Axel. Aroma kopi yang khas bercampur dengan wangi roti panggang menyambutnya, memberikan suasana hangat di tengah kepenatan. Matanya segera menangkap sosok pria yang duduk di sendirian di meja nomor sebelas, menunggunya dengan wajah penuh harap. Axel segera berdiri begitu melihat Suri datang. Ia berjalan ke pintu masuk dengan senyum mengembang, lalu meraih tangan Suri dan menariknya ke dalam pelukan.Suri sempat terkejut, tubuhnya menegang sejenak, tetapi ia tidak menolak. Ia menganggap pelukan itu sebagai ungkapan persaudaraan semata. Bagaimanapun, Axel adalah putra dari sang tante, walaupun hubungan mereka memiliki riwayat yang pelik. "Aku senang kamu datang," ujar Axel sambil melepas pelukannya. Ia kemudian menggandeng tangan Suri, membimbingnya menuju meja yang telah ia pesan sebelumnya.Suri duduk dengan sopan, menarik tangannya secara perlahan dari genggaman Axel. Matanya menatap
Suri melangkah mengikuti Axel ke dalam kamar yang beraroma obat. Di atas ranjang berkanopi putih, seorang wanita paruh baya terbaring lemah. Wajahnya yang dulu penuh wibawa kini tampak pucat dan tirus.Lingkaran hitam di bawah matanya semakin menegaskan betapa sakitnya ia selama ini. Napasnya terdengar berat, dan tangannya yang dulu tampak berisi kini terlihat ringkih dan berurat.Suri terkejut melihat kondisi tantenya yang begitu rapuh. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Walau masih ada bekas luka atas apa yang terjadi di masa lalu, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita di depannya ini adalah keluarga.Axel mendekati ranjang terlebih dahulu, membangunkan sang ibu dengan suara lembut. "Mama, aku membawa Suri ke sini. Dia ingin menjenguk Mama."Mata wanita itu terbuka perlahan, tampak terkejut dan tidak percaya. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia mencoba bangun dari posisinya. Suri segera melangkah maju, tangannya menopang tubuh sang tante. "Jangan,
Hati Suri terasa lebih ringan usai melihat kondisi sang tante, yang akhirnya bersedia menjalani pengobatan. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, menghapus penat yang melekat setelah seharian bekerja. Selesai mandi, Suri mengenakan piyama berbahan katun lembut dan berjalan menuju ruang makan. Di atas meja, terdapat semangkuk sup ayam dengan potongan wortel dan kentang, sepiring nasi putih, serta sari buah segar yang disiapkan pelayan. Suri duduk dan mulai menyantap makanan dengan tenangDi tengah suapan makan malamnya, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Suri mengambilnya dan melihat nama Raysa terpampang di layar. Ia segera menjawab panggilan itu dengan senyum."Halo, Raysa.""Suri, aku mau berbagi sesuatu!" suara Raysa terdengar penuh kebahagiaan di seberang sana.Suri menaruh sendoknya, penasaran dengan kabar yang akan disampaikan sahabatnya itu. "Apa itu? Suaramu terdengar sangat bahagia."Raysa tertawa kecil sebel
Aira membuka amplop besar itu dengan rasa penasaran. Begitu matanya menangkap isi di dalamnya, tubuhnya langsung membeku. Deretan foto-foto yang terjatuh ke pangkuannya menampilkan sosok Suri bersama seorang pria yang terlihat mesra. Di dalam foto pertama, Suri dan pria itu tampak sedang makan siang bersama di sebuah kafe. Senyum mereka begitu akrab, seolah tidak ada jarak. Dalam foto lain, pria itu merangkul Suri, memegang tangannya bahkan memeluknya di halaman rumah tanpa rasa malu.Aira merasa napasnya tersendat. “Tidak mungkin… Suri?” bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tangannya gemetar saat menggenggam foto-foto itu. Selama ini, ia memang tidak menyukai Suri, tetapi ia tidak pernah menyangka sang kakak ipar akan melakukan perselingkuhan. Nyonya Miranda yang sejak tadi memperhatikan cucunya, melangkah perlahan. Ia mendekat sambil mencengkeram tongkatnya dengan erat. Garis wajahnya yang mulai menua memancarkan ketegasan.“Ada apa, Aira?”Aira tersen
Dengan langkah perlahan namun pasti, Serin menaiki mobil pengantin yang menunggu di pelataran salon. Suri dan Raysa mendampinginya dengan penuh kesabaran dan ketenangan, memastikan gaun pengantin rancangan Jeandra itu tidak tersangkut. Sementara itu, veil halus yang masih menutupi wajah Serin berkibar tipis karena hembusan angin pagi. Di dalam mobil, atmosfer terasa sunyi dan penuh harap. Serin duduk di kursi tengah, menggenggam buket bunga pernikahannya dengan kedua tangan. Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian dari rasa gelisah yang terasa kian menekannya.Suri duduk di samping kiri, sedangkan Raysa di sisi kanan, keduanya menjaga Serin dalam keheningan yang menyelimuti. Membiarkan momen sekali seumur hidup ini meresap perlahan ke dalam batin mereka.Tak berselang lama, pintu mobil terbuka lagi dan Jeandra masuk dengan langkah cepat. Napasnya masih terdengar sedikit memburu.Kali ini, Jeandra telah berganti penampilan sepenuhnya. Gaun panjang berwarna emerald green membalut tubuh
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep