"Berapa lama kamu akan pergi?" tanya Jevandro penuh kewaspadaan.Liora menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab, "Empat hari. Aku akan menempuh perjalanan melalui jalur darat, jadi aku butuh waktu lebih lama di perjalanan." Jevandro menghela napas panjang, menatap Liora dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari kehidupan sang tunangan, bagian dari impian dan perjuangannya. Namun, empat hari terasa begitu lama, terutama karena ia sudah terbiasa memiliki Liora. "Aku mengerti," jawab Jevandro, meskipun ada nada enggan yang terselip dalam suaranya. "Tapi, perjalanan darat cukup melelahkan, Baby. Kenapa tidak naik pesawat saja?" "Aku ingin menikmati perjalanan ini, Jevan,” balas Liora sembari mengusap punggung tangan Jevandro dengan penuh kasih sayang. “Ini adalah kesempatan bagiku untuk bertatap muka dengan orang-orang yang akan bekerja sama denganku. Aku ingin mendengar cerita mereka, memahami kesulitan yang mereka hadapi secara langsung." Je
Serin hanya bisa mengangguk kecil, walaupun di dalam hati ia merasa gentar. Bukan karena takut akan pekerjaan, melainkan karena satu hal lain yang membuat jantungnya berdebar tak nyaman. Zico. Putra Nadya dari pernikahan sebelumnya. Laki-laki itu memang bukan saudara kandungnya, tetapi mereka tinggal di bawah satu atap sejak Serin belum mengalami kebutaan. Tatapan Zico padanya selalu terasa berbeda. Ada sesuatu dalam sinar mata lelaki itu, yang membuat bulu kuduknya berdiri. Namun, seperti biasa, Serin memilih untuk diam. Menghindari konflik adalah satu-satunya cara agar kehidupannya tetap tenang. "Ma, aku mau ke kamar," pamit Serin, mencoba menutupi kegelisahan yang melanda hatinya. Nadya hanya mengibaskan tangan, tanda mengizinkan. Serin pun berbalik, menggenggam erat tongkat putihnya. Dengan setiap ketukan di lantai, ia memastikan langkahnya tetap lurus. Kegelapan tidak pernah mengizinkannya bergerak sembarangan. Ia harus mengandalkan setiap suara, setiap getaran di tanah
Sebelum ia sempat bertanya, wajah wanita itu mulai mengabur. Seperti kabut yang tertiup angin, sosoknya perlahan memudar hingga lenyap begitu saja. Dan saat Jevandro berkedip— Ia terbangun. Napasnya tersengal. Mata hazel Jevandro menatap langit-langit kamar yang gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di sudut ruangan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang belum stabil. Mimpi itu, kenapa ia bermimpi seperti itu? Apa artinya? Kenapa ia memeluk seorang wanita yang bukan Liora? Tidak. Itu hanya bunga tidur. Tidak ada makna apa pun di dalamnya. Liora adalah tunangannya. Wanita yang ia cintai, yang akan ia nikahi, yang telah mengisi hari-harinya selama bertahun-tahun. Sampai kapan pun, pengantinnya hanya Liora. Mustahil, ia menikahi gadis lain karena cinta dan kesetiaannya tidak akan pernah terbagi.Jevandro memijat pelipisnya, berusaha untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Anehnya, semakin ia berusaha melupakan wajah gadis dalam g
Perjalanan menuju mansion terasa lebih singkat bagi Jeandra. Ia bahkan tidak menyadari ketika mobilnya sudah melewati gerbang besar mansion, dan berhenti di halaman depan. Begitu masuk, Jeandra bergegas menuju ruang makan. Ia mendapati kedua orang tuanya, Suri dan Romeo, sedang duduk di meja makan sambil menikmati sarapan mereka dalam suasana hangat. Suri-lah yang pertama kali menyadari kehadiran putrinya. Wajahnya langsung berseri-seri. "Jeandra, kamu datang pagi-pagi sekali, Sayang," ujar Suri dengan nada penuh kehangatan. Jeandra tersenyum kecil. “Aku ingin sarapan bersama kalian,” katanya, lalu menarik kursi dan duduk di hadapan mereka. Suri dengan sigap mengambilkan sepiring nasi goreng untuk Jeandra, sementara Romeo menyodorkan sepotong roti panggang. Momen itu terasa begitu damai. Kehangatan yang diberikan kedua orang tuanya membuat Jeandra merasa bahagia. Setelah menghabiskan sarapan, Jeandra meletakkan sendok dan garpunya perlahan. Ia menatap kedua orang tuanya, se
Serin baru saja menyelesaikan tugas paginya—menyapu halaman, memastikan tak ada satu pun daun kering yang berserakan. Udara pagi begitu segar, tetapi ada sesuatu dalam rumah ini yang membuatnya tetap terasa pengap.Serin tidak peduli. Ia harus segera bersiap untuk mengantar Tristan ke sekolah. Sambil mengetukkan tongkat, Serin kembali ke kamar untuk mengganti baju dengan kemeja lengan panjang serta celana longgar. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai.Baru saja ia hendak meraih ponsel untuk memesan taksi, suara dingin menghentikan gerakannya. "Serin!"Suara itu berasal dari pintu kamarnya yang terbuka lebar. Berdiri di sana seorang wanita dengan wajah penuh keangkuhan, mengenakan daster sutra mahal. “Siapkan nasi goreng untuk Zico,” titah Nadya dengan nada melengking.Serin menoleh, wajahnya sedikit pucat. "Tapi, Ma … aku harus segera mengantar Tristan ke sekolah. Kalau terlambat, dia akan menangis." Nadya melipat tangan di depan dadanya, seolah tidak mau tahu. "Itu bukan urus
Perasaan haru langsung menggenangi dada Serin. Untuk sesaat, ia hampir tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Dengan kondisi fisiknya yang terbatas, ternyata sebuah perusahaan besar bersedia memberinya kesempatan wawancara. Mata Serin berkaca-kaca, tetapi ia segera menguatkan suaranya agar tetap terdengar profesional. "Tentu saja, Bu. Saya bisa hadir," jawab Serin penuh semangat. "Baik, Ibu Serin. Wawancara akan diadakan di kantor pusat kami, lantai dua, ruang HRD. Kami tunggu kehadirannya.""Terima kasih, Bu. Saya akan datang tepat waktu."Panggilan berakhir, tetapi debar jantung Serin masih terasa begitu kencang. Berulang kali ia mengusap layar ponselnya, seolah memastikan bahwa panggilan itu bukan mimpi. Peluang ini… Ini adalah kesempatan yang sudah lama ia nantikan. Setitik cahaya yang mungkin bisa membawanya keluar dari belenggu rumah itu, dari bayang-bayang Nadya dan Zico.Tiba-tiba, dunia tidak lagi terasa begitu suram. Serin mengangkat wajah, tersenyum untu
Jevandro menggelengkan kepalanya pelan. Pastilah ini hanya halusinasi semata. Mungkin karena ia kurang tidur semalam, pikirannya menjadi terlalu liar, menciptakan kesamaan yang seharusnya tidak ada. Gadis muda ini—dengan rambut panjang yang tergerai lembut dan wajah yang menyimpan keheningan mendalam—mungkin hanya sekadar orang asing. Tidak ada hubungannya dengan mimpinya. Jevandro menarik napas panjang, lalu dengan cepat melepaskan genggamannya dari lengan gadis itu. Ia harus kembali fokus. Urusan perusahaan jauh lebih penting daripada memikirkan hal yang tak masuk akal.Tanpa menoleh lagi, ia memanggil Mateo, asisten kepercayaannya. “Mateo, kemari!”Mateo segera melangkah mendekat dengan sigap, sedikit bingung dengan perubahan ekspresi bosnya. “Ya, Tuan Jevandro?”Jevandro mengarahkan dagunya ke arah gadis itu. “Tanyakan apa keperluannya di Verdant Group. Pastikan dia mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.”Mateo mengangguk, meski di dalam benaknya muncul berbagai pertanyaan. Men
"Silakan duduk," kata Bu Marisa, membimbing Serin dengan lembut ke kursi yang berhadapan dengannya."Apakah Anda membawa berkas lamaran?"Serin menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Saya langsung datang ke kantor tanpa sempat mampir ke rumah."Bu Marisa mengangguk mengerti. "Tidak masalah. Saya sudah membuka file lamaran Anda di laptop."Telinga Serin mendengar jari-jemari Bu Marisa yang mengetik di atas keyboard, disertai suara gesekan lembut mouse yang digerakkan. "Saya membaca di sini bahwa Anda adalah lulusan terbaik di SMA, dan menguasai tiga bahasa asing. Itu adalah pencapaian yang bagus.Serin menahan senyum. Ia jarang mendapatkan pujian, sebab sebagian besar orang lebih sering menyoroti keterbatasannya dibandingkan prestasinya.“Kenapa Anda tidak melanjutkan ke universitas?” tanya Bu Marisa ingin tahu.“Karena … saya mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatan, Bu. Saya sudah diterima di jurusan bisnis, tetapi saya mengundurkan diri,” ungkap Serin apa adanya. Bahu gadis itu s
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya
Dalam keheningan kamar VIP, perlahan-lahan kelopak mata Serin mulai bergetar, seakan berusaha menembus kabut kesadaran yang berat. Dengan napas yang masih lemah, ia membuka mata, beradu dengan cahaya menyilaukan yang menyambutnya.Dunia yang awalnya samar-samar menjadi kian jelas di hadapannya. Aroma antiseptik serta rasa berat pada tangan kirinya, segera memberi petunjuk pada Serin bahwa ia tidak lagi berada di kamar apartemen.Kesadarannya yang telah pulih, membawa Serin pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bagaimana tidak.Di sampingnya, dalam pelukan yang masih erat, seorang pria terlelap dengan napas teratur.Jevandro Albantara.Pria itu tampak berbeda dari sosok CEO dingin dan dominan yang biasa ia kenal di kantor. Kini wajahnya terlihat damai, tenang, bahkan hampir mengundang rasa kasihan, dengan jejak kelelahan yang membayang di garis rahangnya yang kokoh.Serin membeku beberapa detik, tubuhnya kaku antara rasa malu dan terkejut.Dengan gerakan seh
Di kamarnya yang sunyi, Jevandro masih menempelkan ponsel di telinga, memanggil-manggil nama Serin dengan suara cemas. Namun dari seberang, hanya hening yang ia dapatkan. Tak ada jawaban, tak ada suara, hanya desis samar napas yang akhirnya menghilang. Merasakan firasat buruk yang mencengkeram hatinya, Jevandro segera mengakhiri panggilan. Ia melirik sekilas ke jam di layar ponsel—pukul setengah sebelas malam. Tak ingin menunda sedetik pun, Jevandro menyambar jaket yang tergantung di sandaran kursi, lalu meraih kunci mobil. Dengan langkah lebar penuh kegelisahan, ia meninggalkan kamar.Suasana mansion telah sunyi, hanya sesekali terdengar derit angin malam menerpa pepohonan di taman. Semua penghuni telah terlelap dalam damai, kecuali Jevandro yang kini bergegas menuruni tangga. Ia membuka pintu depan, mengabaikan dinginnya udara yang menerpa kulit. Tanpa ragu, Jevandro menyalakan mesin mobil, suara raungannya memenuhi halaman mansion. Dalam sekejap, mobil itu melesat membelah malam