Akan kemana aku pergi membawa kedua anakku malam ini. Sesaat aku memejamkan mata. Aku akan mencari hotel terdekat selepas ini. Baru besok aku akan mencari tempat tinggal untukku. Semua ini diluar rencana, meski tidak sepenuhnya. Hari ini aku dan anak - anak yang pergi. Sebentar lagi mereka yang akan terusir dari rumah itu. Hanya menunggu waktu saja.Ponselku bergetar, aku meraih tanpa melihatnya. Nama Mas Andrian terpampang di layar. Aku mengabaikannya, semua sudah terlambat. Kesempatan yang telah aku berikan sudah berakhir, semua berakhir sia - sia. Terlalu banyak maaf dan kesempatan yang ternyata hanya percuma.Entah berapa kali panggilan dari Mas Andrian masuk. Aku memilih mematikan ponsel, dan memasukkan kembali ke dalam tas. •☆•Sebuah penginapan yang tak jauh dari taman kota, menjadi pilihan untuk menginap malam ini. Wajah bingung tergambar jelas di wajah kedua anakku. Malam ini mungkin masih aman, karena kantuk mendera keduanya. Tapi esok … entah bagaimana aku menjawabnya.Air
Beberapa hari ini aku meliburkan Al dan Luna. Mas Andrian mencari anak - anak di sekolahnya. Yola yang memberitahu semuanya karena Mas Andrian menemuinya. Yola mengatakan tidak tau akan keberadaanku.Sementara aku tinggal di rumah milik saudara Yola yang kosong. Rumah itu memang disewakan. Untuk sementara sebelum ada penyewa, aku dan anak -anak tinggal disana. Surat permohonan cerai juga sudah aku layangkan ke Mas Andrian dengan alamat kantornya. Rumah yang sekarang ditempati juga sudah aku iklankan, aku menjualnya. Semua berkas pengalihan sudah Mas Andrian tanda tangani waktu itu, meski tak sadar.••Hari ini, aku ada janji dengan seseorang yang memberikan penawaran untuk membeli rumah yang aku jual. Luna dan Al sengaja aku titipkan ke Yola, aku tak bisa membawa mereka. Sebuah kafe tak jauh dari rumah menjadi pilihan kami untuk bertemu siang ini. Orang itu terlihat cukup antusias kalau aku melihat dari saling balas pesan semalam.Aku datang lebih dulu, dan langsung masuk. Sebuah mej
Aku bisa membaca keinginan perempuan jalang itu. Selain mendapatkan Mas Andrian seutuhnya, dia juga gila harta ingin menjadui ratu di rumah ini"Mbak itu kenapa mukanya merah - merah seperti itu?" Bu Yanti bertanya sambil memepetku. Seperti berbisik tapi dengan suara lantang."Kudisan mungkin, Bu." Au menjawab asql kemudian. Bu Yanti tertawa kecil me dengarku."Azab pelakor sepertinya, Mbak," ucapnya kemudian. Aku hanya tertawa kecil, menimpalinya. "Tetanggaku juga gitu, kena karma karena gitu juga. Seperti mbak itu juga."Bu …." Terdengar suara Pak Rusdi memanggil istrinya."Iya … iya. Cuma ingin tau saja." Bu Yanti beralasan.Aku memang sudah membulatkan tekad, untuk menjual rumah ini. Segala kenangan akan ku kubur dalam. Aku dan Mas Adrian memulai semua dari 0. Apa yang kami dapatkan adalah hasil dari buah kerja kami. Rumah ini kami dapatkan secara mengangsur, dengan DP patungan. Setelah tiga tahun, rumah ini sudah sah menjadi milik kami. Kami memang membelinya sebelum menikah, dan
Hatiku tak setegar mulutku, hatiku hancur saat mengucapkan itu semua. Kami dulu bersama berlandaskan cinta, dan sekarang? Apakah kebersamaan lebih dari enam tahun ini sama sekali tak ada artinya. Hanya karena godaan syahwat, semua kebahagian yang tergenggam kini terbang dan hilang.Mas Andrian lebih memilih mengurus perempuan itu daripada mengejarku, atau kembali mencoba meluluhkan hatiku. Kini, apalagi yang aku harapkan? Hanya menunggu rasaku padanya benar - benar mati. Hanya menunggu waktu akan mengobati luka ini."Nanti, secepatnya saya kasih kabar." Suara Bu Yanti mengagetkanku. "I … iya Bu. Saya tunggu kabar baiknya." Aku menjawab kemudian. "Kami permisi dulu, Mbak Hana. Em … yang sabar ya. Semoga permasalahan Mbak Hana mendapatkan jalan keluar yang baik." Bu Yanti terdengar bijak, tidak ceplas ceplos seperti tadi. Aku mengangguk dan mencoba tersenyum meski cukup berat."Terima kasih, atas supportnya, Bu." Aku mengucapkan terima kasih atas perhatian yang Bu Yanti berikan. Paling
•▪•"Semoga ini menjadi awal yang baik." Yola mengusap punggungku pelan."Semoga," balasku. Kami baru saja membereskan rumah yang akan aku tinggali untuk beberapa waktu kedepan.Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikan Yola, tanpanya aku mungkin bisa benar - benar gila. Ini sebuah pukulan terberat yang pernah aku dapatkan. Yolalah yang selalu ada disampingku, dan menguatkanku."Anak - anak sudah terlalu lama libur. Sebaiknya segera kembali bersekolah, apalagi Abang Al." Yola mengingatkan aku tentang sekolah anak - anakku. Dan, dia benar. Mereka harus bisa hidup dengan normal seperti sedia kala. "Iya, kamu benar. Semua harus dijalani, bukan untuk dihindari. Mereka harus bisa hidup normal lagi. Entah sampai kapan, aku harus membohongi mereka tentang Papanya. Tak adil rasanya, memisahkan mereka. Tapi, untuk saat ini hanya itu satu - satunya pilihan yang bisa aku ambil." Sesak kembali mendera, dibalik semua hal yang terjadi. Sikap Mas Andrian ke anak - anak memang tidak berubah. Dia te
••••Penyesalan memang selalu datang belakangan. Demikian halnya dengan yang aku rasakan sekarang. Bagaimana bisa aku membuang berlian demi batu kali. Yah, mau tidak mau aku harus setuju dengan istilah itu. Bersama Hana aku memulai semuanya dari nol, dia rela menemaniku dalam semua kondisi. Dan semuanya tak terlihat dimataku, hatiku buta oleh syahwatku.Akulah manusia bodo* itu, yang tak bisa menghargai dan menjaga sebuah ikatan perkawinan. Dengan mudahnya aku membawa wanita lain hanya demi memuaskan nafsu. Dan, saat Hana dan anak - anak meninggalkanku, baru aku rasa betapa mereka sangat berarti bagiku."Bro …." Tepukan di pundak menarik kembali sadarku. Aku sedang ada janji dengan temanku sedari kuliah dulu Reza. "Suntuk amat."Aku meraup kasar wajah, melampiaskan rasa kesal dan kecewa. Bukan pada orang lain tapi pada diriku sendiri. Diriku yang tak bersyukur memiliki keluarga yang baik. Diriku yang begitu bodoh menyia - nyiakan permata demi pecahan kaca."Ada masalah besar kayaknya?!
Telunjuk Mas Bima mengarah padaku, aku sedikit kaget sebenarnya saat mengetahui kalau ternyata dia tinggal disini juga. Bersamaan kami berjalan saling mendekat dengan senyum terkembang. "Mas disini?" tanyaku kemudian terlebih dahulu menyapa pria itu."Kamu sendiri ngapain disini?" tanya Mas Bima sambil menggiring anak-anak yang tadi menyambut kepulangannya."Hana, barusan pindah ke rumah yang di depan." Aku menunjuk rumah saudara Yola yang sekarang aku tempati dengan daguku."Oh, yah." Mas Bima manggut-manggut dengan raut wajah yang terlihat senang."Anak-anak ayok semua salim dulu sama Om," titahku pada Al, Luna, dan Kezia yang tadi ikut mengerumuni Mas Bima. Al, Luna dan juga Kezia bergantian salim pada Mas Bima sesuai dengan titahku."Kalau El, sudah kenalan sama teman-temannya belum?" Mas Bima menoleh dan bertanya pada anak laki - laki itu. El yang ditanya menjawab dengan mengangguk cepat, "Sudah salim belum sama Tante?" tanya Mas Bima lagi, kali ini El menggeleng, kemudian berjal
"Aku, ikut bersedih," ucap Mas Bima kemudian terdengar penuh rasa iba. Aku hanya tersenyum miris, dan kembali menyeka air mata yang tak mau juga berhenti."Ada yang bisa mas bantu?" tanya Mas Bima kemudian. Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mas Bima. "Mas, jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Keluarga Hana belum Hana beritahu." Sebuah permintaan aku sampaikan pada Mas Bima."Kamu memendamnya sendiri?" tanya Mas Bima kemudian. Aku menggeleng pelan."Hana punya sahabat baik, dia yang membantu Hana selama ini, tanpanya mungkin Hana nggak bisa melewati ini semua." Aku sedang menceritakan sosok Yola yang selalu ada untukku. Tanpa dia aku tidak akan pernah sekuat ini. Aku juga tidak tau bagaimana keadaanku seandainya tidak ada dukungan dan bantuan dari Yola."Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan. Sebisa mungkin mas pasti akan bantu," ucap Mas Bima kemudian."Makasih, Mas. Pasti akan Hana reportin suatu saat nanti. Tunggu saja, ya." Aku mencoba tertawa kecil untuk sedikit meredakan