Share

Harapan Sarah

Dian membawakan semangkuk bubur, niatnya langsung memberikannya kepada Sarah. Namun melihat kondisi Sarah, dia memutuskan untuk membersihkannya terlebih dahulu.

"Nah, mandi serta sarapan sudah selesai. Sekarang waktunya minum obat." Dian mengambil obat yang dia taruh di atas meja samping ranjang.

"Loh, dek Sarah nangis, kenapa?" tanya Dian melihat air mata Sarah mengalir deras.

Sarah hanya mampu menangis, dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya agar Dian mengerti. Semua badannya terasa kaku bahkan untuk menggeleng kepala saja dirinya tidak bisa.

"Dek Sarah tidak mau minum obat?" tanya Dian lagi.

Ingin sekali rasanya Sarah mengatakan. Iya, tetapi mulutnya sama sekali tidak bisa diajak bersahabat.

"Jangan malas minum obat Dek, biar cepat sembuh. Agar pak Fandi juga tidak marah sama saya." Dian berusaha membujuk Sarah.

"Ayo Dek, minum obat dulu ya." Dian hendak meletakkan pil ke dalam mulut Sarah. Tapi tangannya terhenti melihat Sarah memejamkan matanya pasrah.

"Dek, apa yang terjadi? Kenapa seperti kamu punya beban pikiran yang sangat berat."

'Iya Mbak, tolong saya. Karena cuma mbak satu-satunya harapan saya," batin Sarah dengan air mata yang tak pernah berhenti.

"Dek Sarah mau bercerita pada saya? Kedip-kedipkan mata jika iya."

Dian melihat jelas beberapa kali Sarah mengedipkan matanya dan air matanya pun berhenti mengalir.

Dia pun berpikir sejenak, bagaimana caranya agar dia bisa mengerti apa yang hendak disampaikan kepadanya.

Wanita yang berumur sekitar 35 itu membuka laci yang ada di sebelahnya. Mencari buku dan pena, kebetulan semua yang dia perlukan ada di dalam sana. Tapi dirinya kembali bingung, Sarah tidak mungkin bisa menulis untuk bergerak saja tangannya tidak bisa.

Setelah lama berpikir, Dian pun menulis huruf abjad dari A sampai Z.

"Mohon maaf sebelumnya, bukan maksud mbak untuk menghina kamu. Tapi ini satu-satunya cara yang mbak yakin bisa tahu apa maksudmu."

Sarah kembali mengedipkan matanya.

"Nah, begitulah caranya. Mbak akan menunjukkan satu persatu huruf-huruf ini. Jadi kamu kedip-kedip mata lagi jika itu huruf yang ingin kamu gunakan. Jika bukan cukup kedip satu kali saja. Nanti mbak akan coba susun hurufnya."

Dian mulai menunjukkan huruf-huruf itu hingga akhirnya berhenti di huruf T.

"Kamu memilih huruf T. Nah, selanjutnya diteruskan atau ulang? Intinya jika Iya kamu kedip mata beberapa kali jika tidak cukup satu kali ya," ucap Dia mengulangi kata-katanya. Takut dirinya salah menanggapi apa yang hendak Sarah sampaikan.

"Apakah kita ulang?" tanyanya terus melihat kode dari mata Sarah.

Sarah mengedipkan matanya satu kali, itu artinya tidak.

"Oke, berarti kita teruskan ya."

Dian meneruskan kembali menunjuk huruf kepada Sarah. Setelah hampir satu jam semua huruf yang terkumpul menjadi kata.

TOLONG HUBUNGI OM ANWAR, KATAKAN KEPADANYA KALAU AKU DALAM BAHAYA PERLU BANTUANNYA.

"Ini tidak salah kan, Dek?" tanya Dian lagi yang kedua kalinya. Dia merasa tidak yakin dengan susunan kata itu. Disisi lain ia juga takut akan kemarahan Fandi jika semua itu tidak benar adanya.

Melihat raut wajah Sarah yang serius, Dian langsung mencari ponsel Sarah di dalam lemari seperti yang diarahkan oleh Sarah.

Setelah menemukan ponselnya, Dian mencari kontak atas nama om Anwar dan langsung menghubunginya. Tak lupa Dian juga mengatakan tentang kondisi Sarah yang sangat prihatin.

"Dek, kata pak Anwar dia akan datang dua jam lagi dan langsung membawa dokter pribadinya." Dian pun memeluk erat tubuh Sarah.

Sarah kembali meneteskan air matanya, merasa bahagia jiwa yang sudah sangat terancam akan segera tertolong.

Tiba-tiba suara deru mobil di luar rumah mengagetkan keduanya. Apalagi suara mobil itu sangat familiar di telinga keduanya.

Dengan cepat Dian ke depan, mengintip dari celah jendela untuk memastikan dan benar saja itu adalah mobil milik Fandi.

Dian berlari kecil ke kamar untuk menyimpan buku yang mereka gunakan tadi.

"Dek, ternyata di depan benar pak Fandi. Tapi kamu tenang saja ya. Mungkin dia hanya mengambil barangnya yang ketinggalan."

Dengan terburu Dian membuka pintu karena teriakan serta suara gedoran pintu yang berulang kali dari Fandi.

"Ngapain sih, buka pintu aja lama banget?" tanya Fandi dengan wajah kesal.

"Maaf Pak, tadi aku baru saja beberes di kamar."

"Sarah sudah minum obat?" tanyanya lagi sembari duduk di sofa.

"Sudah Pak, Mmm, ngomong-ngomong kenapa bapak kembali lagi? Ada yang ketinggalan kah?"

"Bukan, Nesya tiba-tiba ada pekerjaan mendadak di kantor. Jadi kami tunda dulu sampai besok urusan pekerjaan luar kota-nya," jelas Fandi yang membuat Dian mengerutkan keningnya, bingung.

'Aduh, bagaimana ini? Dua jam lagi pak Anwar mau datang. Bagaimana kalau pak Anwar bertemu pak Fandi. Apa yang harus aku lakukan,' batin Dian mulai merasa takut.

Melihat Fandi yang sibuk dengan ponselnya, Dian cepat berlalu kebelakang. Walaupun belum mengerti apa-apa Dian merasa kalau Sarah sangat butuh bantuannya sekarang.

"Mumpung ponsel dek Sarah masih ada denganku, aku harus menghubungi pak Anwar lagi," gumamnya kembali menekan layar ponsel itu.

Sudah beberapa kali Dian mencobanya tetapi Anwar sudah tidak bisa lagi dihubungi.

"Kenapa jadi tidak aktif begini? Apa jangan-jangan pak Anwar sudah dalam perjalanan kesini ya. Aduh, mati aku." Dian menimpuk jidatnya.

Ditengah kekhawatiran Dian, satu pesan W******p masuk ponsel yang ada ditangannya.

[Dian, aku tidak bisa datang hari ini Karena di kantor sedang ada masalah serius yang mengharuskan aku turun tangan. Tolong kamu bawakan Sarah ke rumah sakit terlebih dahulu. Besok aku pasti akan datang.] Dian menghela napas panjang membaca pesan itu, beban di pikiran seakan lepas saat itu juga.

"Mana mungkin aku berani membawa Sarah ke rumah sakit, besok aja aku kasih penjelasan panjang pada pak Anwar," gumam Dian kembali menyimpan ponsel di saku celananya.

Agar tidak mencurigakan dia berniat untuk mengembalikan ponsel itu ketempat semula.

"Loh, kemana pak Fandi? Apa dia di kamar?" tanya Dian dalam hati saat melihat tidak ada Fandi di ruang keluarga.

Perlahan Dian melangkah ke kamar untuk memastikannya. Ternyata benar, Fandi ada di dalam kamar bersama Sarah. Dian mengintip dari celah pintu untuk melihat apa yang akan dilakukan laki-laki itu.

Terlihat jelas di sana Fandi merebahkan tubuhnya di sebelah Sarah kemudian mengelus-elus rambut istrinya.

"Tidak ada yang mencurigakan, apa jangan-jangan aku yang salah menanggapi maksud Sarah ya. Tapi tidak mungkin Sarah berulang kali memberi kode kalau apa yang dia maksud itu benar. Tapi apa yang dipermasalahkan? Bukankah dia sama pak Fandi biasa saja, normal seperti pasangan suami-istri pada umumnya."

***

Pagi ini Dian datang lebih awal, dia takut akan kemarahan Fandi lagi. Tetapi saat dirinya sampai di sana, terlihat mobil Fandi sudah menjauh.

"Pak Fandi pergi tanpa menungguku dulu. Bagaimana ke adaan Sarah?"

Buru-buru Dian berlari masuk ke dalam rumah besar itu, langkahnya menuju kamar semakin cepat.

"Dek Sarah," ucapnya melihat kondisi Sarah yang berantakan.

Matanya sembab seperti habis menangis lama, keringatnya bercucuran dan lebih parahnya lagi hanya selimut yang menutupi tubuhnya yang tanpa beralas sehelai benang.

Ingin sekali rasanya sarah mengatakan kalau sekarang dirinya sangat tersiksa.

'Manusia bej*t! Bagaimana bisa dia mempergauli istrinya dalam keadaan seperti ini,' batin Dian sambil mengambil pakaian dalam lemari Sarah.

"Apa pak Fandi melakukannya pada mu tadi malam?" tanya Dian membantu memakaikan baju untuk Sarah.

Dian melihat Sarah mengedipkan mata satu kali, itu artinya tidak. Lalu kenapa bisa Sarah dalam keadaan bert***ng. Dian merasa bingung melihat keadaan yang ada.

30 menit kemudian pak Anwar datang bersama seorang dokter yang terlihat masih sangat muda. Untungnya Sarah sudah kembali rapi dan wangi.

Anwar menggelengkan kepalanya tak percaya melihat kondisi keponakannya sekarang.

"Dian kenapa Sarah belum di bawa ke rumah sakit? Aku sudah menghubungi tiga rumah sakit di dekat sini, pantas saja mereka bilang tidak ada pasien atas nama Sarah. Ternyata kalian masih di rumah."

"Maaf Pak Anwar, akan saya jelaskan semuanya."

Tanpa menghiraukan Dian lagi, Pak Anwar langsung menghampiri Sarah.

"Sarah, apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya Anwar duduk, kemudian langsung meminta dokter Zain untuk memeriksanya.

Ada percikan kebahagiaan di hati Sarah melihat kedatangan Anwar.

Beberapa menit kemudian pemeriksaan dokter Zain pun selesai.

"Pak, boleh kita bicara di luar," ucap dokter Zain yang langsung di iya kan oleh Anwar.

"Ada apa sebenarnya dengan keponakan saya, dokter Zain? Kenapa tiba-tiba dia bisa menjadi lumpuh seperti itu?" tanya Anwar khawatir.

"Cukup berat Pak, sebenarnya kelumpuhan yang ada pada Sarah bukan lah karena sebuah penyakit melainkan dikarenakan obat pelemah saraf."

"Mungkin itu adalah obat yang selama ini dikonsumsi oleh Sarah, Pak," ucap Dian yang sedari tadi sengaja menguping.

"Apa maksudmu, Dian?" tanya Anwar menatap serius ke arah Dian.

Dian langsung menceritakan semuanya yang apa yang terjadi pada Sarah. Awalnya dia merasa takut, tapi setelah melihat kondisi Sarah tadi pagi. Itu membuatnya yakin dengan apa yang di maksud oleh Sarah kemarin.

"Dan Menurut pemeriksaan saya, saat ini mbak Sarah masih merasa gelisah karena dirinya masih dalam pengaruh obat perangsang yang dikonsumsi tadi malam," kata dokter Zain setelah mendengar penuturan Dian.

"Apa! Sarah mengonsumsi obat perangsang dalam keadaan seperti itu." Amarah Anwar tidak lagi mampu ia pendam.

"Fandi benar-benar sudah tidak waras, dia tega melakukan hubungan saat istrinya seperti ini," umpat Anwar marah.

"Sepertinya mereka tidak melakukan apa-apa tadi malam, karena sudah kutanyakan pada Sarah."

"Tapi sebenarnya itu lebih menyiksa dirinya Pak, mengonsumsi obat perangsang tetapi ia tidak dapat mendapatkan kepuasan," jelas dokter Zain.

"Sebaiknya Sarah kita bawa ke rumah sakit sekarang," ucap Anwar tegas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status