Latar belakang Adri memang beda dan tidak ada yang istimewa dari dirinya. Latar belakang ekonominya biasa saja. Miskin sekali jelas tidak, namun ia sangat jauh untuk bisa disebut kaya. Si Bopung, alias bocah kampung adalah julukan yang diberikan Arjun cs. Si bopung yang sudah tak berayah ini di beberapa hari pertama sudah lazim dipanggil ‘Tarzan’ karena ucapan dan ulahnya yang memang ‘katro'' alias kampungan sekali.
Tentu tidak semua masalah yang Adri alami adalah karena ulah Arjun. Terlepas dari itu Adri memiliki kebiasaan-kebiasaan yang terbawa-bawa dari kampung halaman yang tak lagi lazim ketika diterapkan di kota besar seperti Jakarta. Dan kebiasaan-kebiasaan yang terasa aneh itu jelas saja menjadi jalan untuk dirinya mengalami perundungan.
Butuh penyesuaian cukup lama sebelum kebiasaan kampungannya menghilang. Memasuki bulan ketiga, tak ada lagi kejadian Adri mengangkat satu kaki di bangku ketika menikmati santap siang di kantin. Atau menyanyi keras-keras lagu-lagu daerah ketika mengerjakan sesuatu. Pun tak lagi terdengar kabar kejadian aneh seperti meninggalkan sepatu di depan pintu sebelum memasuki kelas. Atau menabrak dinding kaca transparan. Atau memaksa diri membuka pintu dengan cara mendorong padahal pintu dirancang untuk ditarik.
Hhhh, itulah Adri. Butuh waktu beberapa lama untuk ia terbiasa dengan kebiasaan di kota. Kendati demikian, setelah sekian bulan bersekolah masih ada beberapa kebiasaan-kebiasaan lain yang dianggap janggal. Termasuk juga dalam hal kelemahannya berbahasa.
Adri dengan cepat jadi korban bullying alias pelecehan baik secara fisik maupun verbal. Mencoba berbahasa sehari-hari alias gaul yang dikombinasi dengan kemampuan berbahasa Indonesianya yang parah membuat Adri malah semakin menjadi bahan olok-olokan.
Adalah Arjun dengan gang-nya yang banyak memanfaatkan kelemahan Adri untuk melakukan bullying bahkan sejak hari pertama Adrianus bersekolah. Jika yang lain memanggilnya dengan sebutan 'Adri', Arjun malah lebih suka memanggilnya 'Anus.' Anak sultan karena bapaknya crazy rich di kampungnya itu memang terkenal bengal.
Dan itu belum semua. Adri juga dinilai memiliki prinsip-prinsip hidup yang tak sejalan dengan era 2010 saat itu. Tak suka mencontek atau dicontek, tak pernah mau diajak ke café atau pesta, tak pernah suka pula menonton klip-klip berformat 3GP yang aneh-aneh dari handphone kendati itu adalah keisengan yang makin dianggap jamak bagi siswa-siswa di sana.
Dengan semua keanehan yang bertubi-tubi itu, sempat muncul teori mengapa Adri bisa menjadi berbeda dibandingkan yang lain. Teori itu kejam luar biasa karena menyimpulkan bahwa sikapnya yang serba aneh, ndeso, kampungan, janggal, dan lain-lain adalah karena ia pernah setahun dirawat di kerajaan kera gara-gara terpisah dari orangtuanya saat masih bocah!
Gila memang.
Berpikir bahwa pergaulan dengan Adri alias Si Tarzan tidak akan ‘nyambung’, tidak mendapatkan manfaat, dan bahkan merugikan, Adri dengan cepat menjadi anak yang populer dengan ketidakpopulerannya. Dengan cepat pula Adri terkucil – kalau tidak mau dikatakan dijauhi. Nyaris tak ada siswa sekelas yang mengajaknya bergaul, mengobrol, apalagi berdiskusi soal pelajaran. Bullying secara verbal maupun kecil-kecilan – seperti menghilangkan, mencuri, atau menyembunyikan kepunyaannya – segera menjadi santapannya tiap hari.
Adri tentu saja tak suka dengan apa yang ia alami. Arjun adalah orang yang kerap mengerjai dirinya. Tapi ia tak tahu bagaimana cara terbaik untuk membalasanya.
Well…. Setidaknya sampai hari itu.
*
Hari ini ada sebuah kejadian penting. Sekolah bikin ajang Creative Event, sebuah ajang unjuk gigi buat siswa-siswi di sana khususnya di bidang seni. Arjun jadi panitia penting di event itu. Dia merasa bisa main gitar, menyanyi, dan cukup pede bisa memainkan sebuah lagu. Vokalnya sebetulnya tergolong standar, pas-pasan – kalau tidak bisa dikatakan ‘hancur’. Tapi yah bagaimana lagi. Orangtuanya adalah salah satu donator di sekolah dan izin pentas dengan mudah ia dapatkan. Saat tampil di panggung dengan lagu yang seolah dirancang untuk penyanyi newbie semacam dirinya, yah itu tadi, vokal standar yang dilantunkan. Hanya saja dia memang tampil dengan gitar keren yang dia pakai yang membuat vokalnya jadi sedikit terdongkrak naik. Aplaus dari para pengunjung membuat dirinya jumawa.
Begitu tiba di bawah panggung dan sudah berbaur dengan orang banyak, entah bagaimana ceritanya, gitar itu sempat berpindah tangan ke seorang rekannya. Sementara pertunjukan di panggung masih berlangsung, tak lama kemudian mendadak ia melihat Adri sedang menggendong gitar akustik miliknya yang rupanya berpindah tangan beberapa kali dan terakhir Adri dapatkan dari salah seorang panitia yang bertugas.
“Nus, Anus woi…. lu ngapain pegang-pegang gitar gue?” tanya Arjun. Suaranya pelan tapi terdengar ‘sengak’
“Gitarmu bagus sekali.” Adri yang lugu menjawab jujur. “Aku belum pernah lihat gitar akustik sebagus ini.”
Arjun menyeringai. Senang dengan pujian itu, tapi tetap tidak suka benda itu ada di tangannya. Dengan disaksikan orang-orang di sekitar, ia mendekat ke Adri sampai hanya berjarak sejengkal saja dari orang itu. Dan Adri yang tahu maksudnya buru-buru melepas selempang gitar yang sempat dikalungkan ke lehernya dan memberikan gitar itu pada Arjun.
Arjun memberi isyarat dan seorang temannya – bisa jadi bodyguard tidak resminya – mengambil gitar itu dari tangan Adri.
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang