"Hei, Aksa! Jangan sok jagoan Lo!" seru Ranti tak suka.
"Saya bukannya sok jagoan. Tapi melindungi Tuan Muda Edward adalah tugas saya!" sahut Aksa tegas. Namun Edward memberi isyarat kepada Aksa untuk tidak ikut campur. Sang asisten pribadi ingin membantah akan tetapi tatapan pria itu malah menajam kepadanya. Edward masih saja mencoba mendekati Ranti dan mulai meraih tangannya. Kali ini berhasil, gadis itu membiarkan tangannya digenggam oleh sang pria. Edward pun kembali berkata, "Ranti, please. Mari kita bicara. Aku akan menceritakan semua tentang Tari. Kamu salah sangka kepadaku," ucapnya memelas. "Sayang, ayo kita pergi! Ngapain kamu masih melayani pecundang itu?" seru Rian yang telah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Ranti lagi-lagi menghempaskan tangan Edward dengan kasar lalu berkata, "Aku tidak sudi lagi menjalin hubungan denganmu! Enyahlah dari hidupku!" Bahkan saking kesalnya kepada Edward, Ranti mendorong tubuh pria itu sampai terjatuh di tanah. "Tuan Muda!" Aksa segera berlari menuju ke arah Edward dan mencoba menolongnya. Sementara Ranti dengan cepat masuk ke dalam mobil Rian, seraya kembali menghina Edward, "Selamat tinggal pecundang! Semoga hidupmu menderita selamanya! Rasakan akibat balas dendam ku!" Lalu dengan sengaja gadis itu meludah ke luar mobil. Pertanda Edward memang tidak ada harganya lagi baginya. "Ranti! Anda jangan semakin kurang kurang ajar kepada Tuan Edward!" hardik Aksa. Namun keduanya malah tertawa terbahak-bahak. "Ha-ha-ha!" Lalu Rian segera tancap gas melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Di sebuah bar di kawasan Jakarta Selatan, Edward sedang duduk sambil menikmati wine yang begitu banyak di depannya. Sejak tadi pagi sampai malam tiba, sang pria berada di tempat ini. Aksa sang asisten pribadi tetap setia menunggu sang bos. "Aksa ... kenapa Ranti tega kepadaku? Apa yang sedang merasuki pikirannya? Kenapa dia meninggalkanku disaat aku sudah sangat mencintainya! Apa salahku Aksa?" sedihnya sangat menyayat. "Tuan Muda, Anda tidak memiliki salah apa pun kepada Nona Ranti bahkan Anda sudah sangat terlalu baik kepadanya." sahut Aksa. "Tapi kenapa dia malah meninggalkanku?" teriaknya. Untung saja, Aksa telah mem-booking tempat itu Apakah sedikit pun dia tidak pernah mencintaiku? Dua tahun kebersamaan kami hanya kesia-siaan belaka?" Kesedihan Edward semakin mendalam mengingat jelas bagaimana kisah percintaannya kepada Ranti selama ini. Sementara Aksa yang sedang menemani sang tuan muda. Terlihat mengepalkan tangannya dari tadi mendengar semua perkataan Edward. Sepertinya dia harus mengatakan apa yang ada di hatinya saat ini. "Maaf Tuan Muda, jika perkataan saya kali ini sangat lancang. Tapi saya harus mengatakannya kepada Anda. Jujur sejak awal saya tidak menyukai Nona Ranti," ucap Aksa. Mendengar omongan sang asisten, Edward pun angkat bicara, "Apa maksud mu berkata seperti itu, Aksa?" "Sekarang terbukti, Tuan Muda! Nona Ranti meninggalkan Anda begitu saja dengan alasan tak masuk akal. Bahkan dia dengan sengaja berselingkuh dengan Tuan Rian," seru Aksa menusuk. "Kamu jangan menghinanya seperti itu! Mungkin saja pikirannya sedang kalut saat ini! Makanya dirinya minta putus." Bahkan Edward pun masih membela kekasihnya. "Tapi Tuan Muda, Nona Ranti telah jelas-jelas berselingkuh dengan Tuan Rian dan Anda masih membelanya?" Aksa semakin tak percaya dengan tanggapan Edward saat ini tentang gadis itu. Edward diam dan tidak dapat menjawab perkataan asistennya. Dia malah memilih lebih banyak minum wine untuk menepis luka hatinya yang semakin menganga. Lalu tiba-tiba dari arah luar pintu bar, ketiga cowok tampan para sepupu Edward segera masuk ke dalam. Melihat para sepupunya datang, Edward segera menatap tajam ke arah Aksa. Karena dia tahu betul jika itu adalah ulah asistennya. "Sialan Lo, Aksa! Ngapain Lo mengajak mereka ke sini?" serunya tak senang. "Maaf, Tuan Muda. Tapi Tuan Muda Ronand telah memiliki bukti konkrit tentang perselingkuhan Nona Ranti dan Tuan Rian." ucap Aksa. Namun Edward seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sang asisten. Dia berpikir jika tak mungkin Ranti mengkhianati dirinya dengan sungguh-sungguh. "Ya ampun Edward! Demi gadis murahan itu Lo mabuk-mabukkan? Lo tarok di mana otak Lo?" seru Bobby, salah satu dari sepupu Edward. "Jaga bicara Lo, Bob! Jangan pernah hina Ranti!" sahut Edward lalu dengan berjalan sempoyongan, pria itu ingin menghajar Bobby. Namun dengan cepat Jemy yang juga sepupu Edward segera melerai keduanya. "Woi ... woi .... Ada apa dengan kalian berdua? Santai, Bro!" seru Jemy kepada keduanya. "Bobby yang memulai duluan, Jem. Dia menghina Ranti," bela Edward kepada kekasihnya. "Edward! Buka mata Lo lebar-lebar. Kenapa Lo masih membela Si jalang itu!" Ternyata Jemy malah lebih menusuk omongannya dibandingkan dengan Bobby. "Shitt! Lo juga ikutan menghinanya, Jem?" Edward tak menyangka dengan sikap sepupunya. "Sudah-sudah! Berisik banget Lo semua!" ketus Ronand, yang dari tadi sibuk di depan laptop. "Edward, simak video ini baik-baik!" ucap Ronand tegas lalu mengarahkan laptop itu di depan sepupunya yang sedang galau itu. Edward pun mencoba menajamkan penglihatannya dan melihat sajian video dari laptop sepupunya, Ronand. "Sial! Dari mana Lo mendapatkan video ini?" ucap Edward lalu menutup laptop itu dengan kasar lalu melemparnya begitu saja di bawah lantai bar itu. Seketika laptop itu hancur berkeping-keping dan tak berbentuk lagi. Edward sangat emosi melihat video panas Ranti dan Rian di sebuah hotel. Pria itu sungguh tak sanggup melihatnya. "Lo masih membelanya, Ed?" tantang Ronand kepada sepupunya. "Ranti!" teriaknya histeris. Lalu Bobby turut melemparkan beberapa lembar foto kebersamaan Ranti dan Rian di segala sudut disetiap pertemuannya dengan selingkuhannya itu, di hadapannya. "Lihat sendiri! Sudah sejak lama dia bermain hati dengan Lo!" ketus Boby. Edward lalu meraih foto-foto itu dan melihatnya. Seketika dia meremas semua foto-foto tersebut. Sungguh dia tak pernah menyangka jika Ranti bisa setega itu kepadanya. Ternyata selama ini, ketiga sepupunya diam-diam ikut membantu Aksa untuk membongkar permainan bejat dari Ranti. "Sialan Lo, Rian!" tukas Edward. Lalu dengan cepat dia meraih kunci mobil yang ada di meja bar, kemudian mulao ke luar dari bar itu. "Edward, Lo mau ke mana!" teriak Jemy. "Tuan Muda, Anda jangan pergi!" Aksa ikut menimpali. "Pakai akal sehat Lo, Ed!" tukas Ronand. "Woi ... Edward songong! Jangan gila Lo! Berhenti nggak Lo!" teriak Bobby. Lalu keempat pemuda gagah itu segera menyusul Edwar yang telah lebih dulu ke luar dari bar. Begitu cepatnya Edward melangkah sehingga ketiga sepupunya dan Aksa tidak bisa menahan kepergiannya. Dengan sigap Ronand yang jago ngebut segera berlari menuju mobilnya. Lalu dia pun berkata, "Ayo, kalian masuk semua! Kita kejar mobil Edward!"Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri dipenuhi kegembiraan. Liburan anak-anak telah tiba, dan janji Edward untuk membawa mereka keliling Kota London semakin mendekati kenyataan. Zuri tampak sibuk di kamar, mengemas barang-barang untuk perjalanan panjang mereka."Nasya, Sayang, jangan lari-lari! Kita akan berangkat sebentar lagi," ujar Zuri sambil tersenyum melihat putri bungsunya yang berlari-lari kecil di sekitar tempat tidur.Nasya, yang baru berusia tiga tahun dan duduk di playgroup, menghentikan langkahnya dan menatap Zuri dengan senyum lebar. "Mommy, Nasya boleh bawa boneka nggak?" tanyanya dengan mata berbinar-binar."Boleh, Sayang. Tapi cuma satu, ya? Jangan kebanyakan barang," sahut sang ibu.Sementara itu, di ruang tamu, Edward sedang membantu kedua anak laki-lakinya, Edzhar yang berusia tujuh tahun dan Ben yang berusia enam tahun, mengemasi mainan yang akan mereka bawa."Daddy, nanti di London kita naik bus tingkat, ya?" Edzhar bertanya sambil memasukkan mobil mai
Sore yang mendebarkan,Saat sore menjelang, langit Jakarta memancarkan semburat jingga yang indah, namun hati Edward, sang CEO EK Corp terasa tak tenang. Baru saja dia selesai menandatangani berkas terakhir di kantornya ketika ponselnya berdering. Dengan cepat pria sibuk itu menjawab panggilan tersebut.Edward :”Hallo, Maid. Ada apa?”Maid :"Tuan, Nonya Zuri sudah dibawa ke rumah sakit. Sepertinya sudah waktunya melahirkan!" suara maid-nya terdengar di ujung telepon.Edward langsung berdiri, rasa panik mulai menyeruak di dadanya. “Baik, saya segera ke sana,” jawabnya sebelum memutus panggilan dari sang asisten rumah tangga. Pria itu lalu meraih jasnya dengan cepat, berlari menuju lift, dan segera melangkah ke mobilnya yang ada di parkiran.Perjalanan dari kantor Edward di kawasan pusat Jakarta menuju rumah sakit keluarga langganan keluarganya, biasanya memakan waktu lama karena kemacetan yang tak terelakkan. Namun, sore itu, keajaiban seolah berpihak kepadanya. Jalanan tampak lebi
Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri sangat tenang dan damai. Sinar matahari di hari Sabtu pagi menyelinap di antara dedaunan pohon yang rimbun, menerangi halaman rumah yang luas, termasuk kolam renang pribadi mereka. Di sana, Edward tampak sedang berenang dengan putra-putranya, Edzhar dan Jacob Benedict yang biasa dipanggil Ben yang juga telah dikaruniai oleh Tuhan kepada mereka dan ikut meramaikan keluarga kecil Edward dan Zuri.Edward dengan sabar mengajarkan kedua putranya cara berenang gaya bebas saat ini.“Lihat, Daddy! Aku bisa melakukannya!” teriak Edzhar, anak sulung mereka yang baru berusia lima tahun, sambil mencoba menggerakkan tangannya dengan gaya bebas.“Bagus, Nak! Teruskan! Ben, kamu juga harus mencoba, ya,” seru Edward sambil mengawasi kedua putranya dengan penuh perhatian.Ben yang masih berusia empat tahun mencoba mengikuti, namun gerakannya masih kaku. “Daddy, aku agak susah berenang, airnya malah masuk ke dalam hidungku,” rengek Ben sambil mengusap wa
Beberapa bulan kemudian,Hari ini adalah hari istimewa bagi Zuri dan Edward. Tepat tujuh bulan sudah usia kandungan Zuri, dan mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah pemeriksaan USG yang menunjukkan bahwa mereka akan dikaruniai seorang anak laki-laki. Hasil pemeriksaan itu membuat mereka semakin antusias untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Edward, yang selalu memperhatikan setiap detailnya, sudah lama merencanakan acara tujuh bulanan untuk merayakan momen istimewa ini. Acara tersebut digelar di ballroom hotel Fairmont, Jakarta, dengan dekorasi elegan dan suasana yang penuh kehangatan.Ballroom yang luas itu dihiasi dengan bunga-bunga berwarna putih dan biru pastel, mencerminkan tema kebahagiaan menyambut putra mereka. Di tengah ballroom, tampak panggung kecil dengan meja panjang yang dihiasi kue tujuh bulanan dan berbagai hadiah untuk Zuri. Para tamu mulai berdatangan, dan suasana semakin meriah dengan kehadiran keluarga dan teman-teman dekat pasangan ini.Zuri mengena
Zuri terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat akan tetapi tampak lebih tenang setelah beberapa jam dirawat di UGD. Setelah dipastikan kondisinya stabil, tim dokter memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan yang berada di lantai atas. Keadaannya mungkin sudah lebih baik, namun kekhawatiran masih menggelayuti wajah setiap orang yang menunggunya di luar.Bunda Ayu, Opa Bram, Jemy, Mirah, dan Bobby sudah menanti dengan penuh harap di depan pintu ruang perawatan. Ketika perawat memberitahu bahwa mereka diperbolehkan masuk, Bunda Ayu segera melangkah masuk, diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah tergesa, Bunda Ayu menghampiri menantu kesayangannya yang masih terbaring di ranjang, sambil menggenggam erat tangan Zuri."Zuri, syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," ucap Bunda Ayu dengan suara penuh kelegaan. “Bunda sangat khawatir tadi.”Zuri tersenyum lemah, akan tetapi senyum itu cukup untuk menenangkan hati Bunda Ayu. "Terima kasih, Bunda. Saya juga ber
Jemy melangkah cepat di tepian Pantai Ancol, langkah-langkahnya teratur namun tegang. Dia memeluk tubuh Zuri yang pingsan dengan erat, tubuh perempuan itu terasa ringan di pelukannya, akan tetapi beban yang dirasakan Jemy di hatinya jauh lebih berat. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Untungnya Tadi, sebelum dia menggendong Zuri, dia sempat menelepon Bobby, yang juga merupakan sepupu Edward, yang baru saja selesai mengikuti rapat penting di gedung yang sama yang ada di area Pantai Ancol."Bobby, aku sudah menemukan keberadaan Zuri. Tapi dia sedang pingsan! Sekarang aku sedang menggendongnya, cepat siapkan mobil di parkiran. Kita harus segera ke rumah sakit!" Suara Jemy terdengar panik di telepon.Tanpa banyak bicara, Bobby langsung bergegas menuju parkiran dan menyiapkan mobilnya.Sesampai di parkiran, Bobby melihat Jemy datang dengan langkah cepat, Zuri berada dalam gendongannya. Bobby segera membuka pintu penumpang yang ada di belakang, memberikan ruang bagi Jemy untuk memasuk