Share

bab 3. Mencari Pengacara

Penulis: ananda zhia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-14 06:28:39

"Astaga, Mbak Dita! Kok bisa jatuh? Tangannya licin? Atau masih ada sabunnya?" tanya pura-pura berempati.

Dita segera menggelengkan kepalanya.

"Ma-maaf, Bu Dinda. Saya tadi melamun sebentar karena teringat suami saya saat ada main dengan perempuan lain. Oh ya, Bu Dinda belum menjawab pertanyaan saya," ujar Dita. Nada suara nya terdengar gugup tapi dia berusaha untuk tetap tenang.

"Pertanyaan kamu yang mana, Mbak?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku berbalik dan mengambil sapu serta pengki lalu menyerahkannya ke arah Dita.

"Mbak, karena mbak Dita yang sudah menjatuhkan dan memecahkan piring serta mengotori rumah saya, jadi mbak yang harus membersihkan nya. Tolong buang ke tempat sampah di luar sana, Mbak." Aku menunjuk tempat sampah dari bambu di luar rumah samping dapur.

Dita tampak tercengang. "Saya yang harus membersihkan ini?"

"Iya. Karena mbak Dita yang mengotori rumah saya."

Dita terlihat bersungut-sungut mengambil sapu dan pengki dari tanganku.

"Jadi kenapa Bu Dinda tega menjebloskan suami dan selingkuhannnya ke penjara? Apa tidak kasihan dengan Windi kalau papanya ditahan?" tanya Dita. Dia tampak belum puas jika pertanyaan nya belum kujawab.

Aku menghela nafas. "Kalau dibilang tega, bukankah lebih tega lagi adalah seorang suami yang mengkhianati kepercayaan isteri nya dengan berselingkuh? Mbak Dita kan masih ingat rasa sakit karena diselingkuhi kan? Saya rasa penjara saja tidak cukup, saya akan memiskinkan suami saya dan selingkuhannnya dengan cara saya. Saya pastikan suami saya tidak mendapatkan harta gono-gini," ujarku tegas. Kulihat tangan Dita yang sedang menyapu pecahan beling gemetaran.

"Baiklah, saya sudah setelah membersihkan pecahan mangkuk ini. Saya harus pulang dulu karena harus bekerja hari ini," ujar Dita lalu segera meninggalkan rumahku dengan tergesa.

Aku tersenyum puas dan menatap masakan Dita yang ada di meja makan. Ah, aku punya suatu rencana pada masakan ini.

"Sayang, apa masakannya sudah siap?" tanya mas Herman yang baru saja keluar dari kamar.

Aroma maskulin dan menguar dari tubuhnya. Dia tampak tegap dan tampan di balik kemejanya. Pantas saja Dita jatuh cinta padanya padahal masih banyak lajang dan duda di luar sana. Mas Herman lalu menarik kursi dan menduduki nya.

"Wah, sepertinya enak! Cumi pedas dan udang krispi ya? Sangat menggugah selera!" seru mas Herman mengambil nasi ke piring nya.

"Nggak kok. Semua lauk pauk itu diberi, Mas."

Aku tersenyum dan meletakkan setangkup roti bakar di atas piring kosong untuk Windi.

"Mama!" seru Windi keluar dari kamarnya. Puteri ku tampak sangat cantik dalam balutan seragam Pramuka nya.

"Wah, roti bakar coklat keju ini enak sekali!" seru Windi seraya mengunyah sarapan nya.

"Cumi dan udang krispi ini juga enak. Siapa yang memberikannya, Yang? Rasanya seperti familiar dan tidak asing?" tanya mas Herman seraya mengambil kembali lauk yang diberikan oleh Dita.

"Oh lauk itu? Dita tadi yang memberikan nya padaku, Mas."

"Uhukkk!! Uhukk!"

Mas Herman seketika tersedak. Tangannya meraih air putih di samping nya. Pandangan nya melotot dan menatap lauk di hadapannya dengan tegang.

"Ja-jadi makanan ini pemberian ...."

Tadi kamu bilang rasanya familiar? Apa kamu pernah makan di rumah Dita, Mas?" tanyaku tersenyum kecil dengan menatap ke arah Mas Herman yang tampak salah tingkah.

"E-enggaklah! Masa sih aku pernah makan masakan Dita? Yang benar aja kamu, Ma!" ujar mas Herman tertawa gugup. "Oh, pernah sih. Dia kan asisten koki di warung samping perusahaan, Ma. Kemungkinan dia masak di warung dan aku pernah beberapa kali makan siang di sana dengan teman-teman kantor," sambung mas Herman lagi.

Aku hendak merespon kata-kata dari mas Herman saat mendadak Windi berdiri dan menatap ke arah kami.

"Aku sudah sarapannya, Ma, Pa. Ayo berangkat!" ujar Windi. Mas Herman mengangguk dan tersenyum lega. Dia menjauhkan piring berisi makanan di hadapannya.

"Lho makanannya tidak dihabiskan, Mas? Katanya enak?"

"Enggak, Yang. Aku sudah kenyang. Ya sudah, aku berangkat dulu ya," sahut Mas Herman. Aku mengangguk lalu mencium punggung tangan nya. Windi pun berpamitan padaku.

Windi lantas mengenakan tas nya dan menuju ke teras rumah mengikuti langkah mas Herman yang berjalan lebih dulu.

Baru saja mas Herman dan Windi masuk ke dalam mobil, Rina dan Dita datang tergopoh-gopoh.

"Hm, pak Herman! Pak Herman! Tunggu sebentar!"

Mas Herman yang sudah menghidupkan mesin mobil menoleh ke arah Dita. Wajahnya tampak terkejut.

"Ada apa, Dita? Kenapa kemari?" tanyaku mendahului mas Herman yang baru saja membuka kaca jendela.

Dita menatap ke arah mobil mas Herman dengan ragu.

"Ban motor saya pecah. Apa saya boleh menebeng? Rina dan Windi kan satu sekolah. Sedangkan tempat kerja saya dan tempat kerja Pak Herman berdekatan. Saya bingung sekali berangkat kerja," ujar Dita dengan wajah memelas.

'Wah, sudah putus urat malu pelakor ini! Berani-beraninya dia semakin menunjukkan eksistensi nya setelah pembicaraan kami tadi,' batinku.

Mas Herman mendadak mematikan mesin dan keluar dari pintu mobil, berjalan menghampiri kami.

Kami bertiga berdiri berhadapan. Rasanya aku ingin mempermalukan mereka berdua saat ini. Tapi kutahan dulu karena tujuan ku belum tercapai.

"Wah, mbak Dita. Tentu saja kalau saya ingin menolong mbak Dita dan Rina, tapi saya harus meminta ijin pada istri saya." Mas Herman tersenyum dan menatapku.

Aku balas memandangnya. "Hm, mbak Dita ini kan janda, menurut saya harus jaga pergaulan. Apa kata orang kalau melihat mbak Dita semobil dengan mas Herman tanpa saya? Meskipun ada anak-anak, tapi rasanya tidak etis kalau ada janda yang menebeng mobil atau motor suami orang. Apa jadi mending mbak Dita pake gojek atau gocar. Ya kan?"

"I-iya. Mbak Dinda memang benar."

Dengan bersungut-sungut dan tersenyum kecut, Dita mengangguk dan berpamitan pulang.

Aku kembali ke dalam rumah lalu segera meraih ponsel yang ada di dalam saku daster. Menghubungi Fifi, salah seorang teman SMAku yang berprofesi sebagai pengacara, terutama masalah perceraian, hak asuh, dan gono gini yang sudah mempunyai jam terbang cukup tinggi di kotaku.

"Assalamualaikum, Fifi. Apa bisa kita bertemu hari ini? Aku harus berkonsultasi padamu dan hal ini penting sekali!"

"Waalaikumsalam, Dinda! Tentu saja bisa. Kebetulan aku ada kosong sebelum sidang jam sepuluh. Aku tunggu di kafe Mawar jam delapan ya?!"

"Oke, Fi. Terimakasih banyak."

Aku mengakhiri panggilan telepon setelah mengucap salam.

'Mas Herman dan Dita, kalian sudah salah bermain-main denganku yang merupakan Raja Tega. Tunggulah hukuman kalian!'

Next?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • OM SERING KE RUMAH KALAU MALAM    bab 51 (tamat)

    Beberapa saat sebelumnya, Herman yang gagal mencari informasi tentang keberadaan anaknya, tidak putus asa. Lelaki yang telah membaca pesan ancaman dari Dita ke nomor handphone Dinda bergegas ke alun-alun kota kendati masih belum jam tujuh malam. Akhirnya Herman menemukan sosok yang mencurigakan sedang mondar mandir di sekitar bak sampah alun-alun kota. Herman memilih bersembunyi di sekitar tempat sampah itu dengan menyamar memakai topeng dan masker warna hitam. Beberapa saat berlalu, dan setelah Herman melihat Dinda memasukkan tas ransel ke dalam tempat sampah itu, Herman memergoki sesosok tubuh yang mengambil tas itu dan langsung pergi. Herman pun langsung mengikutinya dengan hati-hati.Setelah sampai di vila dan melihat sosok itu masuk ke dalam vila, Herman segera mengitari hutan yang ada di belakang vila. Beberapa saat kemudian dia berpikir untuk menyelamatkan Windi lebih dahulu daripada polisi, karena dia ingin merebut hak asuh anak dari Dinda. "Lebih baik, aku membuat jebakan

  • OM SERING KE RUMAH KALAU MALAM    bab 50

    Beberapa saat sebelumnya,"Kita jadi membawa anak ini ke bekas vila yang kemarin bapak tunjukkan padaku?" tanya Dita saat mereka dalam perjalanan setelah membawa Windi. "Jadi! Bapak sudah membuat kunci duplikat nya. Kebetulan vila itu adalah bangunan rusak yang tidak pernah dijenguk lagi oleh Sulis. Yah, mungkin karena dia lelah mengurus terlalu banyak aset, sehingga salah satu vilaya ya yang terburuk dan dan terpencil tidak tersentuh.""Baiklah, aku nurut saja. Yang penting nanti dapat duit dan aman," sahut Dita seraya memegangi badan Windi. Sementara itu di depannya, Santosa sedang fokus mengemudi. Mereka tiba di vila yang dimaksud Santosa dan segera menggendong tubuh Windi ke salah satu kamar lalu memotret nya dan mengirim fotonya melalui nomor baru ke nomor Dinda lalu membuang nomor itu. "Nanti kalau kamu menghubungi nomor Dinda, kamu bisa menggunakan nomor lama yang diprivat, Dit. Kalau untuk mengirim foto dan pesan, pakai nomor baru itu kemudian buang ya," pesan Santosa, Dita

  • OM SERING KE RUMAH KALAU MALAM    bab 49

    [Sediakan uang tiga ratus juta dan letakkan di tempat sampah alun - alun kota kalau ingin anakmu selamat!]Dinda tercengang membaca pesan whatsapp dari nomor yang belum tersimpan di ponsel nya itu. Belum sempat Dinda berpikir untuk mengambil keputusan, pesan terbaru masuk lagi ke ponsel nya. [Jangan coba-coba lapor polisi, atau anak kamu akan kami habisi!][Kamu harus meletakkan uang senilai tiga ratus juta dalam sebuah tas, malam ini jam tujuh di tempat sampah warna hijau yang ada di ujung taman alun-alun.][Tempat sampah itu bertuliskan nomor tiga. Anak kamu akan dikembalikan selamat setelah uang itu kamu letakkan di sana!]Dengan cepat dia menelepon bi Inah. Namun sayang sekali, nada dering tidak kunjung berubah menjadi suara bi Inah. Dinda semakin bingung. Dia menarik napas panjang dan berusaha untuk tetap tenang. Akhir nya dia teringat dengan Adinata. Dengan cepat, Dinda menekan nomor telepon Adinata. Tak perlu menunggu lama, suara nada tunggu di hp langsung berubah menjadi s

  • OM SERING KE RUMAH KALAU MALAM    bab 48

    Adinata berlalu dari rumahnya menuju ke rumah Dinda. Dan tidak seperti biasanya, dia yang selalu langsung menekan bel pintu sekarang duduk terpekur sendirian di kursi teras rumah Dinda. "Hah, hatiku berantakan sekali gara-gara pertemuan dengan papa dan anak simpanan nya. Sebenarnya nggak tega melihat papa yang meminta modal usaha, tapi melihat papa yang telah mengkhianati mama dan ternyata sampai mempunyai anak segede aku, membuatku sakit hati," ujar Adinata. Lelaki itu menangkupkan kedua belah tangannya di muka seraya membuang napas berat. "Ya Allah ternyata melihat orang tua bercerai sangat menyakitkan. Apalagi melihat papa selingkuh dari mama. Hatiku sakit banget. Jadi seperti ini rasa nya. Pasti sakit hati yang dirasakan oleh Dinda lebih parah dari yang kurasakan," gumam Adinata. Mendadak pintu terbuka dari dalam. "Mama, aku mau beli buku tulis dulu. Eh, ada papa baru! Kok disini saja, Pa? Biasanya kan masuk ke rumah?" tanya Windi terkejut melihat Adinata yang terbengong-bengo

  • OM SERING KE RUMAH KALAU MALAM    bab 47

    "Bu Sulis! Bu Sulis! Bagaimana denganku? Angkat aku sebagai karyawan Ibu! Bukankah saya sudah memberikan informasi yang berharga?" tanya Herman dengan penuh harap.Sulis menatap ke arah Herman lalu menghela napas panjang. "Baiklah. Kamu bisa bekerja denganku. Tapi sebagai satpam di perusahaan. Bagaimana? Apa kamu bisa menerima hal itu?" tanya Sulis menatap ke arah Herman. Herman tercengang. "Hah? Saya kan seorang sarjana. Saya tidak mungkin bekerja sebagai satpam, Bu! Tolong lah yang masuk akal jika memberikan pekerjaan."Sulis mengangkat sebelah alisnya. "Saya sudah memeriksa penyebab kamu dipecat dari perusahaan, dan kesalahan kamu adalah telah melakukan korupsi kan?" tanya Sulis dengan mendelik. Herman tertunduk. Matanya tampak menatap ke arah bawah. Menekuri kakinya."Saya minta maaf. Waktu itu saya khilaf. Saya melakukan korupsi karena saya gelap mata dan saya dipaksa oleh Dita. Saya sangat menyesalinya, Bu," ujar Herman lirih. "Hm, kalau begitu kamu harus bisa membuktikan pa

  • OM SERING KE RUMAH KALAU MALAM    bab 46

    Beberapa saat sebelumnya, "Mang Udin, kamu harus menjaga rahasia tentang hari ini. Tentang apapun perkataan Herman, pokoknya kamu harus menyimpan rahasia jika kita bertemu dengan Herman. Jangan membicarakan tentang Istri simpanan bapak maupun anaknya pada bapak, maupun pada Adinata dan Adista. Apa kamu paham, mang Udin?" tanya Sulis saat mereka baru saja masuk melalui pintu gerbang rumah. Mang Udin dengan wajah bingung menatap Sulis dari kaca spion tengah mobil nya. Tapi akhirnya Mang Udin hanya bisa menurut dan mengangguk kan kepalanya. "Baik, Bu. Bu Sulis yang semangat ya. Sebaiknya ibu lebih bijak dalam menghadapi hal ini, jangan terburu mengambil kepuasan agar Bu Sulis tidak menyesal pada akhirnya," ujar Mang Udin. Sulis melirik ke arah Mang Udin yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu. "Mang, mang! Kamu tidak tahu rasa nya dikhianati. Andai kan saja istri kamu yang berkhianat setelah kalian menikah sekian tahun bahkan sampai mempunyai anak dengan lelaki lain, apa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status