Share

Chapter 9 : This is Love?

"Mamah pulang..."

Seseorang membuka pintu depan.

"Ah, mamah... selamat datang"

Aku menyambutnya.

"Eh... banyak temen Erika ya, kerja kelompok? udah pada makan belum?"

"Udah kok tante, gapapa"

Jawab mereka serempak.

Ibuku baru pulang dari toko tempat dia bekerja, jam empat sore tepatnya. Dia membawa kantong belanjaan yang sangat banyak, tak seperti biasanya. Apa mungkin dia akan membuat sesuatu yang spesial hari ini setelah tadi pagi kami berbaikan?.

"Oh... yaudah, nanti pulangnya jangan kemalaman, nanti dicariin"

sambung ibuku.

Aku ragu ibu senang dengan kehadiran teman temanku. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya dia ingin mereka segera pulang.

"Ah iya Dek Hana... Tante Anna gimana kabarnya? baik-baik aja?"

"Baik kok Tante, sekarang ibu lagi ada tamu temen kerjanya ayah, jadi kita numpang disini"

Jawab Hana.

Karna aku mengerti keadaan ibu, jadi aku memutuskan untuk menyelesaikan diskusi untuk hari ini. Mungkin memang aku harus menyisihkan sebagian waktu untuk keluargaku malam ini.

"Karna kita masih bingung tentang hasil diskusi ini, jadi kita udahan dulu aja ya? besok kita lanjut"

"Ah iya iya, Icha juga kan pasti capek udah kerja tadi siang..."

Jawab Erin.

"Kerja?..."

Sialan! Malam kemarin dirumah Hana aku sudah Bilang ke bos kalau hari ini aku bakal ambil waktu full time di perpustakaan, dan bodohnya aku malah ketiduran sampai sore, kalo ambil jam malam aku bakal gak ada waktu lagi buat ibu, secara dia sudah membeli bahan makanan sebanyak itu untuk malam ini.

"Tante, kita pulang duluan ya"

Hana berpamitan.

"Iya hati-hati ya"

"Eh ngomong-ngomong kalo rumah Hana deket, berarti kita pulang nya jalan kaki dong?"

Tanya Ze.

"Bukan nya si Dadang bawa sepeda juga tadi?"

Tanya Erin kembali.

"Yakali satu sepeda muat sama tiga orang, apalagi badan si Ze tinggi banget, tiang listrik juga minder liat dia"

"Lu nya aja yang kependekan".

"Kalo gitu tadi kalian berangkat kesini gimana?"

"Aku boncengan sama si Ze, Jajang boncengan sama Dadang, Alika sama Zahra, Erin sendiri"

Jawab Hana.

"Yaudah kalo gitu kenapa kalian gak boncengan lagi aja kayak tadi?"

Tanyaku.

"Zahra sama Alika kan pulangnya ke komplek, beda arah. Aku juga ke arah sana, sedangkan mereka ke arah stasiun" Jawab Erin.

"Yaudah kak, kita pulang duluan ya"

Zahra berpamitan.

"Iya hati hati..."

Jawabku.

"Yaudah aku anterin kalian sampai stasiun"

"Kalo gitu Cha, aku duluan ya. Emak juga pasti udah nungguin"

Erin berpamitan.

"Hana mau ikut juga?"

"Enggak lah, aku juga mau bantu Ibu masak buat nanti malem"

Jawabnya.

Sekarang hanya tinggal ada aku dan mereka bertiga. Meski jarak rumah ke stasiun agak jauh, tetapi sepertinya cukup waktu untuk pulang sebelum malam.

"Mah... Aku nganterin temenku pulang dulu ya... Sebentar kok"

Aku berteriak dari luar.

"Iya... jangan pulang terlalu malem"

"Jadi sekarang aku boncengan sama siapa?"

"Sama Ze aja, aku sama si Jajang"

Jawab Dadang.

"Yaudah..."

*Kami pun berangkat...

Selama diperjalanan, melewati sawah-sawah dibawah matahari sore dengan angin yang berhembus, kami hanya saling diam dan menutup mulut masing masing. Walau bagaimanapun aku ini juga manusia biasa, sekuat apapun aku berusaha bersikap dingin, tetap saja rasa canggung akan terus menghantui. Dengan duduk di belakang badan yang tinggi ini... malah semakin menambah kecanggunganku.

Tak pernah sedekat ini dengan seorang cowok yang bahkan sudah pernah memukulku. Aku harap jantungku yang berdegup kencang ini tak terdengar oleh nya.

"Cha, Adikmu kelas berapa ngomong-ngomong"

Dia memulai topik.

"Dia kelas lima SD. Kenapa emang?"

Jawabku

"Enggak, aku heran aja dia bisa secerdas itu. Bahkan kita aja gak kepikiran sama sekali. Apa karna faktor keturunan?"

"Enggak tau juga, yang kulihat dia biasa aja. Di sekolahnya juga jarang masuk rangking, sikapnya hampir sama kayak ibuku. Tapi kecerdasan nya aku gak tau dia dapet dari mana"

Aku menjelaskan.

"Mungkin dari ayahmu?"

"Yah mungkin..."

Obrolan pun kembali terhenti, kecanggungan kembali menghantui. Kita sudah tertinggal jauh dengan Jajang dan Dadang yang sudah berada jauh di depan sana.

"Kenapa pake kupluk mulu ke sekolah?"

"Enggak kenapa-kenapa, pengen aja. Lagian daerah sekolah kita selalu dingin karna berdekatan sama gunung. Kenapa emang?"

"Enggak, cuman kayaknya bakal lebih cocok kalau dilepas"

Jawabnya.

Hampir saja aku tersipu malu, terlalu berlebihan memang. Tetapi mau bagaimana lagi? ini pertama kalinya ada seseorang yang mengomentari penampilanku, ditambah dia adalah seorang cowok.

Aku tak terlalu berharap ada adegan dengan alur yang sama seperti di novel novel atau film yang kulihat di Internet. Membuatku merasa geli jika melihatnya, aku lebih suka film yang menceritakan tentang organisasi pembunuh bayaran seperti Jhon wick ataupun film martial arts seperti Ip man yang dengan bodohnya aku tiru untuk mengalahkan si Ze ini.

******

Kami sudah sampai di stasiun, ada sedikit yang membuatku bingung...

"Eh kan kalian pake sepeda, terus naik kereta nya gimana?”

Aku bertanya pada Jajang dan Dadang.

"Rumah kami disini, deker stasiun. Yang naik kereta ya Ze doang"

"Yaudah bro, aku berangkat duluan. Cha duluan ya"

Dia masuk ke kereta dan melambaikan tangannya pada kami. Kami pun balik melambaikan tangan.

Tak kusangka sifat dia berbeda dengan saat dia berada di sekolah. Yang awalnya kukira cowok berandalan yang tak punya rasa empati sama sekali, sekarang malah melihat senyum diwajahnya.

Sekali lagi mau bagaimanapun aku ini adalah manusia, punya kekeliruan dalam menilai seseorang.

Kereta pun berangkat, dia masih tersenyum dan melambaikan tangannya pada kami.

"Yaudah ya, aku juga mau pul-"

"Eh? mereka kemana?"

Kedua anak buah Ze ini ternyata sudah pulang duluan.

"Kalo gitu berarti Ze senyum ke... Arghhhh!"

Deg deg...

Jantungku berdetak, terkejut dengan hal yang baru saja terjadi padaku. Aku duduk melamun di kursi stasiun, bertanya tanya.

Apakah jantung yang berdetak kencang ini hanya sebatas shock atau ada maksud lain?

TO BE CONTINUED...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status