“Kalau kau butuh sesuatu, kabari saja. Aku akan mampir ke sini jika senggang.”
Sambil memegangi bagian bawah perut hamilnya, Emma sedikit membungkuk di samping pintu mobil. Ia menatap wanita berambut cokelat yang ada di dalam mobil itu dan duduk di kursi kemudi. “Kau yakin? Aku ini ibu hamil. Aku mungkin butuh sesuatu hampir setiap saat. Aku bisa mengabarimu tiap jam, Jenna,” sahut Emma. Jenna—dokter baru di Cornell Hill yang belakangan akrab dengannya—tertawa di dalam sana. Dia mengangguk dan menjawab, “Silakan saja. Aku tidak keberatan.” Emma turut tertawa. Ia mengetuk pelan kaca belakang mobil Jenna beberapa kali seraya berkata, “Terima kasih karena sudah mengantarku pulang. Kau pulanglah sekarang. Kasihan anakmu menunggu di rumah.” Emma menunggu sampai Jenna memundurkan mobil, lalu mulai melaju menjauh dari area rumahnya di wilayah Washington Heights. Sampai mobil Jenna benar-benar sudah tidak terlihat, barulah Emma berbalik dan melangkah memasuki rumah. Dilihatnya mobil putih milik Chris, suaminya, terparkir rapi di garasi. Itu artinya Chris sudah pulang. Saat ini waktu menunjukkan pukul delapan malam. Sebagai dokter spesialis bedah ginekologi yang sedang hamil besar dan akan segera cuti kurang dari satu bulan lagi, Emma lembur lagi hari ini. Biasanya, ia selalu pulang tepat waktu. Dan tiap kali ia pulang tepat waktu, suaminya justru pulang terlambat, bahkan bisa sampai tengah malam sewaktu ia sudah tidur. Chris merupakan kepala keuangan di salah satu perusahaan multi-nasional yang gedung perkantoranya terletak di perbatasan Manhattan dan Brooklyn. Sepanjang empat minggu terakhir, baru hari ini Emma melihat suaminya itu pulang lebih cepat daripada dirinya. Chris memang sering sekali pulang terlambat, katanya karena banyak urusan di kantor, sehingga kerap kali mereka hanya bertemu saat sarapan di pagi hari. Emma berusaha memaklumi itu, meski dirinya yang sedang hamil sebenarnya sangat butuh kehadiran Chris dan didampingi oleh suaminya tersebut. Sejak tadi sore, Emma sudah mengabari Chris lewat pesan kalau hari ini ia pulang terlambat. Sudah pula mencoba menelepon Chris beberapa kali, tetapi teleponnya tak diangkat. Suaminya itu hanya membalas satu pesannya saja dengan balasan yang singkat berbunyi ‘Iya, Sayang’, lalu tidak mengabari balik kalau dia justru pulang cepat. Emma membuka pintu rumah. Ia melepas sepatunya untuk mengganti dengan sepasang sandal dalam ruangan seraya memanggil, “Chris? Aku pulang.” Tak ada sahutan, tetapi Emma mendengar ada suara-suara dari ruangan lain. Ia pun mulai melangkah masuk dengan kedua kakinya yang sudah berbalut sepasang sandal nyaman. “Apa kau sudah makan malam, Chris? Kalau belum, aku—” Kalimat yang Emma lontarkan terpotong. Pasalnya, dari arah berlawanan, ia berpapasan dengan Evelyn, kakak perempuannya, yang justru baru saja akan berjalan menuju pintu depan. Melihat keberadaan sang kakak di rumahnya, tentu saja Emma heran. Ia mengerutkan kening dan bertanya, “Evelyn? Apa yang kau lakukan di sini?” Emma tidak tahu ini hanya dugaannya saja atau memang benar, tetapi Evelyn kelihatan sedikit gugup saat menjawab, “A-aku ... tadi aku lewat di dekat sini, lalu aku memutuskan untuk mampir sebentar. Tapi ternyata kau belum pulang.” “Oh. Sejak kapan kau sampai di sini?” “Belum lama. Baru saja.” Emma menatap Evelyn dari atas ke bawah, agak heran karena tumben sekali wajah kakaknya itu tidak terlihat mengenakan makeup. Pasalnya, biasanya Evelyn selalu merias wajah jika keluar rumah. Dia tidak berias hanya jika baru selesai mandi, cuci muka, atau bangun tidur. “Kau sudah bertemu Chris? Kulihat mobilnya ada di depan. Berarti dia sudah pulang,” kata Emma kemudian. “Ya, sudah. Barusan aku bertemu dengannya dan dia memberitahuku kalau kau lembur. Jadi, aku bersiap untuk langsung pergi saja, karena ibu juga meneleponku dan menyuruhku segera ke rumah. Sekarang, kau malah baru pulang saat aku mau pergi.” “Jadi sekarang kau akan langsung pergi? Apakah tidak ingin duduk dulu? Biar kuambilkan minum.” “Tidak usah. Kalau ibu tidak menyuruhku pulang, aku pasti akan berlama-lama di sini. Aku pamit dulu, ya? Sampai jumpa!” kata Evelyn seraya melanjutkan langkahnya melewati Emma dan langsung keluar dari rumah. Emma masih berdiri di tempat dan memerhatikan Evelyn sampai kakaknya tersebut keluar melewati pintu depan. Setelah itu, barulah ia berjalan masuk dan mencari keberadaan Chris. Emma mendapati Chris baru keluar dari kamar tidur mereka. Chris tersenyum padanya begitu mereka berpapasan di koridor depan pintu kamar. Kemunculan Chris dari dalam kamar membuat Emma merasa heran. Ia pikir, ketika tadi Evelyn berkata bahwa dia sudah bertemu dengan Chris, Chris menemui Evelyn yang bertamu di ruang tamu atau ruang keluarga. Kenapa Chris malah baru keluar dari kamar? *** Bersambung .....Mendengar Emma meneriakkan kata cerai, kepanikan menggerayangi Chris dan membuat wajahnya kaku. Dia menggeleng pelan dan mencoba membujuk Emma dengan berkata, “Emma, aku mohon jangan seperti ini, Sayang.” “Persetan. Mulai sekarang, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kuharap kau paham.” “Apa yang kau bicarakan? Jangan sembarangan bicara! Aku tidak mau cerai, Emma. Kau sedang hamil besar dan kau butuh didampingi oleh suamimu.” Chris menegaskan. “Aku bisa hamil, melahirkan, dan membesarkan anakku sendirian tanpamu.” Emma berupaya menepis tangan Chris dari bahunya seraya menghardik, “Lepas, Chris! Taksiku sudah datang.” Chris mendadak menyeret Emma masuk ke kamar dan menguncinya dari luar. Emma tentu makin mengamuk, tetapi Chris tak menghiraukan dan pergi menemui sopir taksi di depan rumah, memberikan sejumlah uang kepada sopir taksi tersebut sebagai kompensasi karena dia langsung membatalkan pesanan Emma. Setelahnya, barulah Chris pergi ke kamar dan menemui E
Seharian penuh Emma berusaha menutupi memar-memar di tangannya. Ketika rekannya tak sengaja melihat dan menanyakan apa yang terjadi, ia beralasan bahwa dirinya terjatuh. Beruntung, bekas tamparan Chris di pipinya tidak sampai meninggalkan bekas yang terlalu tebal, hanya memerah selama beberapa jam saja, tetapi gusinya sempat berdarah. Sementara memar di tangan kanannya, justru lumayan parah hingga berwarna merah keunguan. Emma pulang tepat waktu hari ini. Begitu sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan mengambil koper miliknya dari atas salah satu lemari di ruang pakaian. Tadi pagi setelah bertengkar hebat dengan Chris, karena ia harus berangkat bekerja, ia berusaha untuk bersabar dulu, menahan diri agar bisa tetap profesional dengan pekerjaannya dan tidak terlambat ke rumah sakit. Sekarang, karena ia sudah pulang dan untungnya tidak lembur, ia bergegas mengemasi pakaiannya sekaligus barang-barang penting yang akan ia bawa. Tidak semua pakaian ia bawa,
Selain karena pertanyaan intens Emma tentang siapa yang datang kemarin, kening Chris makin mengerut begitu melihat ponselnya ada di tangan oleh Emma. Sudah dua tahun menikah, selama ini Emma dan Chris tidak pernah memeriksa ponsel satu sama lain tanpa izin. Emma sangat percaya pada Chris, sehingga ia tidak pernah berpikiran negatif kalau Chris akan menyembunyikan sesuatu darinya. Pagi ini adalah pertama kalinya ia membuka ponsel Chris tanpa diketahui oleh Chris, itu pun hanya melihat notifikasi pesan saja, tidak lebih. Namun tampaknya, hal itu membuat Chris sangat tidak suka. Pria berambut pompadour itu menjawab, “Itu temanku.” “Temanmu yang mana? Wanita atau pria? Apakah kemarin dia datang ke sini? Kenapa dia membawa-bawa namaku?” Chris menghela napas. “Temanku dari kantor, Emma. Dan tentu saja dia pria. Dia pernah datang ke sini pekan lalu saat kau sedang lembur, lalu kami minum-minum bersama. Dia tahu kau melarangku minum alkohol, makanya aku baru bisa memp
“Kau sudah pulang, Sayang?” sapa Chris. Emma hanya mengangguk pelan pada suaminya yang baru muncul dari kamar itu. Karena entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak dan sedikit curiga, ia mendorong Chris ke samping supaya Chris menyingkir dari depan pintu kamar tidur mereka, sehingga ia bisa membuka pintu kamar tersebut. Ia melempar pandangan ke seluruh penjuru kamar, melihat-lihat apakah ada sesuatu yang aneh dan tak biasa di sana. Tapi tidak ada apa-apa. Kamar tidur mereka sangat rapi. Kasur pun juga rapi sekali seperti tadi pagi. Membuat Emma berspekulasi kalau Chris baru pulang juga dan belum menyentuh kasur sama sekali. Chris kemudian menyusul masuk ke kamar. Pria yang sudah menikah selama sekitar dua tahun dengan Emma itu bertanya, “Ada apa? Kenapa kau buru-buru masuk ke kamar?” Beberapa minggu belakangan, Emma merasa kalau sikap Chris memang berbeda. Termasuk soal jadwal pulang kerja Chris yang sangat tak biasa, hampir tiap hari selalu terlambat s
“Kalau kau butuh sesuatu, kabari saja. Aku akan mampir ke sini jika senggang.” Sambil memegangi bagian bawah perut hamilnya, Emma sedikit membungkuk di samping pintu mobil. Ia menatap wanita berambut cokelat yang ada di dalam mobil itu dan duduk di kursi kemudi. “Kau yakin? Aku ini ibu hamil. Aku mungkin butuh sesuatu hampir setiap saat. Aku bisa mengabarimu tiap jam, Jenna,” sahut Emma. Jenna—dokter baru di Cornell Hill yang belakangan akrab dengannya—tertawa di dalam sana. Dia mengangguk dan menjawab, “Silakan saja. Aku tidak keberatan.” Emma turut tertawa. Ia mengetuk pelan kaca belakang mobil Jenna beberapa kali seraya berkata, “Terima kasih karena sudah mengantarku pulang. Kau pulanglah sekarang. Kasihan anakmu menunggu di rumah.” Emma menunggu sampai Jenna memundurkan mobil, lalu mulai melaju menjauh dari area rumahnya di wilayah Washington Heights. Sampai mobil Jenna benar-benar sudah tidak terlihat, barulah Emma berbalik dan melangkah memasuki rumah.
Memanfaatkan waktu sebaik mungkin selagi Emma belum pulang, mereka masih terus berpacu pada gairah di dalam kamar yang dingin itu. Tangan kanan Chris berada di dada kiri Evelyn, sementara tangan kirinya berada di punggung Evelyn, meraba punggung mulus tersebut dengan penuh kesensualan. Bersamaan dengan itu, bibir Chris tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati leher Evelyn ketika Evelyn mendongak di tengah desahan yang tak karuan. Sengaja ia tidak mencium bibir Evelyn, sebab ingin membiarkan mulut wanita itu terus menggaungkan desah yang semakin membangkitkan gairahnya. “Kau ... sudah berapa lama kau tidak bercinta dengan Emma, huh? Apakah ... semenjak rutin bercinta denganku ... kau tidak pernah lagi menyentuh Emma?” tanya Evelyn di sela napasnya yang menggebu-gebu dan beradu dengan desahan. Chris melirik wajah Evelyn sekilas, melihat bagaimana ekspresi wajah wanita itu menunjukkan kenikmatan yang luar biasa karena ia tak sedikitpun menjeda segala sentuh