“Kau sudah pulang, Sayang?” sapa Chris.
Emma hanya mengangguk pelan pada suaminya yang baru muncul dari kamar itu. Karena entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak dan sedikit curiga, ia mendorong Chris ke samping supaya Chris menyingkir dari depan pintu kamar tidur mereka, sehingga ia bisa membuka pintu kamar tersebut. Ia melempar pandangan ke seluruh penjuru kamar, melihat-lihat apakah ada sesuatu yang aneh dan tak biasa di sana. Tapi tidak ada apa-apa. Kamar tidur mereka sangat rapi. Kasur pun juga rapi sekali seperti tadi pagi. Membuat Emma berspekulasi kalau Chris baru pulang juga dan belum menyentuh kasur sama sekali. Chris kemudian menyusul masuk ke kamar. Pria yang sudah menikah selama sekitar dua tahun dengan Emma itu bertanya, “Ada apa? Kenapa kau buru-buru masuk ke kamar?” Beberapa minggu belakangan, Emma merasa kalau sikap Chris memang berbeda. Termasuk soal jadwal pulang kerja Chris yang sangat tak biasa, hampir tiap hari selalu terlambat sampai tengah malam, hingga ia sempat berpikir kalau jangan-jangan Chris pulang terlambat karena mampir ke rumah wanita lain, bukan karena mengurus pekerjaan di kantor. Namun sampai saat ini, itu masih spekulasi dan kekhawatiran saja. Emma berusaha berpikiran positif kalau ia hanya terlalu sensitif karena sedang hamil, sehingga berpikiran macam-macam. Lagi pula, kalaupun memang ada sesuatu yang Chris lakukan di belakangnya, ia tidak sempat mencari tahu karena dirinya juga tak kalah sibuk di rumah sakit. Meski perasaannya tetap diselimuti kecurigaan yang berdasar pada kedatangan Evelyn, Emma memilih untuk menyimpan kecurigaannya dan tersenyum simpul pada Chris. “Tidak,” jawab Emma. “Aku buru-buru karena ingin buang air. Tolong pegang.” Emma beralasan seraya menyodorkan tasnya kepada Chris. Setelah itu, ia langsung bergegas ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur mereka. Emma mencoba menganggap kecurigaan yang ia rasakan malam ini sebagai angin lalu saja. Ia sedang hamil hampir tujuh bulan. Ia tidak ingin membebani pikirannya dengan hal-hal berat yang dapat membuatnya stres dan tertekan. Hanya saja, keesokan harinya, ia malah seperti disodorkan oleh bahan untuk curiga lagi. Di pagi hari ketika ia sudah selesai mandi sekaligus bersiap-siap dan ingin menemui Chris yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, ia mendengar ada bunyi getar dari ponsel Chris yang tergeletak di atas nakas. Emma mengambil ponsel Chris, dengan maksud ingin sekalian membawakan benda itu ke dapur dan memberikannya pada sang suami. Barangkali ada pesan atau telepon masuk yang penting terkait urusan pekerjaan, sehingga menjadi sesuatu yang sangat baik dan penuh perhatian jika ia segera memberitahu Chris bahwa terdapat notifikasi di ponselnya. Namun, ketika ada satu lagi notifikasi pesan masuk dan Emma tak sengaja melihat notifikasi tersebut ketika sedang melirik layar ponsel Chris, langkah Emma langsung terhenti di dekat pintu kamar yang setengah terbuka. Pesan itu berasal dari kontak yang hanya dinamai dengan satu huruf saja oleh Chris. Huruf E. Tapi tak peduli soal nama kontak yang agak aneh itu, Emma hanya fokus pada isi pesannya. E : ‘Kalau Emma lembur lagi hari ini, kabari aku.’ E : ‘Aku akan ke sana.’ Emma terdiam selama beberapa saat usai membaca pesan yang menurut pandangannya terasa agak ambigu dan aneh. Pesan itulah yang kemudian menggerakkannya untuk membuka informasi detail tentang kontak bernama ‘E’ itu, bermaksud melihat nomor kontak tersebut, karena barangkali ia familier dengan nomornya. Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka informasi kontak tersebut, ia mendengar suara Chris yang memanggilnya dari dapur. “Emma? Apa kau sudah selesai? Cepat kemari dan mari sarapan!” Emma mematikan ponsel Chris dan segera beranjak keluar dari kamar, menyusul suaminya itu di dapur. Saat ia sampai, Chris sedang meletakkan piring makanan di atas meja makan. Pria itu tersenyum pada Emma seraya berkata, “Aku membuat jagung rebus dan panekuk. Tempo hari kau bilang kau ingin jagung rebus, ‘kan?” Sudah berlalu hampir satu minggu sejak Emma mengatakan pada Chris bahwa ia mengidam jagung rebus. Saking besarnya keinginan untuk makan jagung rebus, tetapi karena sudah berhari-hari menunggu Chris yang tak kunjung menuruti keinginannya, akhirnya ia membeli banyak jagung rebus sendiri dan memakannya bersama rekan-rekannya di rumah sakit dua hari yang lalu. Namun, meski sebenarnya sudah tak bernafsu lagi makan jagung rebus, tentunya ia tetap menghargai Chris. Ia membalas senyuman Chris dengan tersenyum manis ketika suaminya itu menunjukkan beberapa potong jagung rebus yang tersaji di meja makan. “Ayo, makan,” ajak Chris. Emma mengangguk dan mengambil posisi duduk di salah satu kursi meja makan. Chris sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Emma, tetapi tak lama kemudian, dia berdiri lagi karena katanya dia ingin membuat kopi. Emma masih memegang ponsel Chris di tangannya. Setelah Chris pergi, ia memandangi benda itu selama beberapa saat, sebelum memutuskan untuk bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri Chris yang sedang berdiri di meja keramik dapur tempat mesin kopi berada. “Chris?” “Ya? Apa kau ingin kopi juga? Kau sedang hamil, Sayang. Tidak boleh minum kopi.” “Tidak.” Emma menggeleng. “Aku ingin bertanya padamu. Selain Evelyn, apakah kemarin ada orang lain yang datang ke rumah kita? Mungkin teman atau rekan kerjamu?” Chris memasukkan biji kopi yang sudah dia takar ke dalam mesin, lalu menoleh ke arah Emma yang berdiri di sebelahnya selepas menutup bagian atas mesin itu. Dengan kening yang mengerut, dia justru balik bertanya, “Memangnya kenapa?” “Hanya bertanya saja,” jawab Emma sambil tersenyum simpul. “Kemarin Evelyn tidak bilang apa-apa padaku kalau dia akan datang. Untungnya kau pulang lebih cepat kemarin, sehingga bisa bertemu dengan Evelyn.” Chris masih mengerutkan kening. Emma sadar kalau ekspresi Chris menunjukkan bahwa Chris tidak suka mendengar pertanyaan yang ia lontarkan. Akan tetapi, pandangan Emma terhadap Chris jadi tak pasti dan abu-abu, sebab di tengah ekspresinya yang menyuratkan ketidaksukaan, Chris justru bicara dengan cara yang tetap santai dan tenang saat dia menjawab, “Evelyn hanya mampir. Kakakmu itu katanya sedang lewat di dekat sini.” “Ya, Evelyn juga bilang begitu padaku kemarin.” “Ya sudah, lantas untuk apa kau tanyakan lagi padaku?” ketus Chris. “Tidak penting.” “Aku hanya penasaran, Chris.” Emma mengangkat tangan kanannya dan menyodorkan ponsel Chris, lalu melanjutkan, “Aku melihat ada seseorang bernama ‘E’ di ponselmu yang mengirim pesan dan minta dikabari kalau aku lembur lagi hari ini. Makanya aku ingin memastikan, apakah kemarin hanya Evelyn yang datang, atau ada orang lain?” *** Bersambung .....Mendengar Emma meneriakkan kata cerai, kepanikan menggerayangi Chris dan membuat wajahnya kaku. Dia menggeleng pelan dan mencoba membujuk Emma dengan berkata, “Emma, aku mohon jangan seperti ini, Sayang.” “Persetan. Mulai sekarang, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kuharap kau paham.” “Apa yang kau bicarakan? Jangan sembarangan bicara! Aku tidak mau cerai, Emma. Kau sedang hamil besar dan kau butuh didampingi oleh suamimu.” Chris menegaskan. “Aku bisa hamil, melahirkan, dan membesarkan anakku sendirian tanpamu.” Emma berupaya menepis tangan Chris dari bahunya seraya menghardik, “Lepas, Chris! Taksiku sudah datang.” Chris mendadak menyeret Emma masuk ke kamar dan menguncinya dari luar. Emma tentu makin mengamuk, tetapi Chris tak menghiraukan dan pergi menemui sopir taksi di depan rumah, memberikan sejumlah uang kepada sopir taksi tersebut sebagai kompensasi karena dia langsung membatalkan pesanan Emma. Setelahnya, barulah Chris pergi ke kamar dan menemui E
Seharian penuh Emma berusaha menutupi memar-memar di tangannya. Ketika rekannya tak sengaja melihat dan menanyakan apa yang terjadi, ia beralasan bahwa dirinya terjatuh. Beruntung, bekas tamparan Chris di pipinya tidak sampai meninggalkan bekas yang terlalu tebal, hanya memerah selama beberapa jam saja, tetapi gusinya sempat berdarah. Sementara memar di tangan kanannya, justru lumayan parah hingga berwarna merah keunguan. Emma pulang tepat waktu hari ini. Begitu sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan mengambil koper miliknya dari atas salah satu lemari di ruang pakaian. Tadi pagi setelah bertengkar hebat dengan Chris, karena ia harus berangkat bekerja, ia berusaha untuk bersabar dulu, menahan diri agar bisa tetap profesional dengan pekerjaannya dan tidak terlambat ke rumah sakit. Sekarang, karena ia sudah pulang dan untungnya tidak lembur, ia bergegas mengemasi pakaiannya sekaligus barang-barang penting yang akan ia bawa. Tidak semua pakaian ia bawa,
Selain karena pertanyaan intens Emma tentang siapa yang datang kemarin, kening Chris makin mengerut begitu melihat ponselnya ada di tangan oleh Emma. Sudah dua tahun menikah, selama ini Emma dan Chris tidak pernah memeriksa ponsel satu sama lain tanpa izin. Emma sangat percaya pada Chris, sehingga ia tidak pernah berpikiran negatif kalau Chris akan menyembunyikan sesuatu darinya. Pagi ini adalah pertama kalinya ia membuka ponsel Chris tanpa diketahui oleh Chris, itu pun hanya melihat notifikasi pesan saja, tidak lebih. Namun tampaknya, hal itu membuat Chris sangat tidak suka. Pria berambut pompadour itu menjawab, “Itu temanku.” “Temanmu yang mana? Wanita atau pria? Apakah kemarin dia datang ke sini? Kenapa dia membawa-bawa namaku?” Chris menghela napas. “Temanku dari kantor, Emma. Dan tentu saja dia pria. Dia pernah datang ke sini pekan lalu saat kau sedang lembur, lalu kami minum-minum bersama. Dia tahu kau melarangku minum alkohol, makanya aku baru bisa memp
“Kau sudah pulang, Sayang?” sapa Chris. Emma hanya mengangguk pelan pada suaminya yang baru muncul dari kamar itu. Karena entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak dan sedikit curiga, ia mendorong Chris ke samping supaya Chris menyingkir dari depan pintu kamar tidur mereka, sehingga ia bisa membuka pintu kamar tersebut. Ia melempar pandangan ke seluruh penjuru kamar, melihat-lihat apakah ada sesuatu yang aneh dan tak biasa di sana. Tapi tidak ada apa-apa. Kamar tidur mereka sangat rapi. Kasur pun juga rapi sekali seperti tadi pagi. Membuat Emma berspekulasi kalau Chris baru pulang juga dan belum menyentuh kasur sama sekali. Chris kemudian menyusul masuk ke kamar. Pria yang sudah menikah selama sekitar dua tahun dengan Emma itu bertanya, “Ada apa? Kenapa kau buru-buru masuk ke kamar?” Beberapa minggu belakangan, Emma merasa kalau sikap Chris memang berbeda. Termasuk soal jadwal pulang kerja Chris yang sangat tak biasa, hampir tiap hari selalu terlambat s
“Kalau kau butuh sesuatu, kabari saja. Aku akan mampir ke sini jika senggang.” Sambil memegangi bagian bawah perut hamilnya, Emma sedikit membungkuk di samping pintu mobil. Ia menatap wanita berambut cokelat yang ada di dalam mobil itu dan duduk di kursi kemudi. “Kau yakin? Aku ini ibu hamil. Aku mungkin butuh sesuatu hampir setiap saat. Aku bisa mengabarimu tiap jam, Jenna,” sahut Emma. Jenna—dokter baru di Cornell Hill yang belakangan akrab dengannya—tertawa di dalam sana. Dia mengangguk dan menjawab, “Silakan saja. Aku tidak keberatan.” Emma turut tertawa. Ia mengetuk pelan kaca belakang mobil Jenna beberapa kali seraya berkata, “Terima kasih karena sudah mengantarku pulang. Kau pulanglah sekarang. Kasihan anakmu menunggu di rumah.” Emma menunggu sampai Jenna memundurkan mobil, lalu mulai melaju menjauh dari area rumahnya di wilayah Washington Heights. Sampai mobil Jenna benar-benar sudah tidak terlihat, barulah Emma berbalik dan melangkah memasuki rumah.
Memanfaatkan waktu sebaik mungkin selagi Emma belum pulang, mereka masih terus berpacu pada gairah di dalam kamar yang dingin itu. Tangan kanan Chris berada di dada kiri Evelyn, sementara tangan kirinya berada di punggung Evelyn, meraba punggung mulus tersebut dengan penuh kesensualan. Bersamaan dengan itu, bibir Chris tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati leher Evelyn ketika Evelyn mendongak di tengah desahan yang tak karuan. Sengaja ia tidak mencium bibir Evelyn, sebab ingin membiarkan mulut wanita itu terus menggaungkan desah yang semakin membangkitkan gairahnya. “Kau ... sudah berapa lama kau tidak bercinta dengan Emma, huh? Apakah ... semenjak rutin bercinta denganku ... kau tidak pernah lagi menyentuh Emma?” tanya Evelyn di sela napasnya yang menggebu-gebu dan beradu dengan desahan. Chris melirik wajah Evelyn sekilas, melihat bagaimana ekspresi wajah wanita itu menunjukkan kenikmatan yang luar biasa karena ia tak sedikitpun menjeda segala sentuh