Memanfaatkan waktu sebaik mungkin selagi Emma belum pulang, mereka masih terus berpacu pada gairah di dalam kamar yang dingin itu.
Tangan kanan Chris berada di dada kiri Evelyn, sementara tangan kirinya berada di punggung Evelyn, meraba punggung mulus tersebut dengan penuh kesensualan. Bersamaan dengan itu, bibir Chris tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati leher Evelyn ketika Evelyn mendongak di tengah desahan yang tak karuan. Sengaja ia tidak mencium bibir Evelyn, sebab ingin membiarkan mulut wanita itu terus menggaungkan desah yang semakin membangkitkan gairahnya. “Kau ... sudah berapa lama kau tidak bercinta dengan Emma, huh? Apakah ... semenjak rutin bercinta denganku ... kau tidak pernah lagi menyentuh Emma?” tanya Evelyn di sela napasnya yang menggebu-gebu dan beradu dengan desahan. Chris melirik wajah Evelyn sekilas, melihat bagaimana ekspresi wajah wanita itu menunjukkan kenikmatan yang luar biasa karena ia tak sedikitpun menjeda segala sentuhan dan cumbuannya. “Itu bukan urusanmu, Evelyn,” jawab Chris kemudian. Evelyn sadar adanya perubahan intonasi dari cara bicara Chris ketika menjawab pertanyaannya. Itu membuatnya sedikit tersinggung dan geram. “Kau tidak akan bisa mendapatkan kenikmatan ini dari Emma, ‘kan? Ah ... aku tahu ... kau pasti lebih suka bermain di ranjang bersamaku,” ujar Evelyn seraya menggigit bibir bawahnya sendiri kala Chris sengaja menggigit putik salah satu gundukan dadanya. Setelah ia selesai berujar seperti barusan, ia merasakan bibir Chris yang menempel di kulitnya, mengulas senyum lebar, disusul oleh tawa singkat yang memikat. Hal itu membuat Evelyn makin kelimpungan dalam nafsu, yakin kalau senyum dan tawa itu adalah respons dari Chris bahwa yang ia katakan tadi memang benar, bahwa Chris lebih suka bermain di ranjang bersamanya dan lebih puas mendapatkan kenikmatan dari dirinya daripada Emma. Beberapa saat kemudian, Evelyn menumpukan kedua telapak tangannya di kedua bahu berotot Chris. Ia beradu tatap dengan pria itu sewaktu ia lebih intens menggerakkan tubuhnya naik dan turun. Tangan Chris yang ada di pinggulnya, membantu pinggulnya untuk bergerak makin cepat. Di sela deruan napasnya yang memburu, ia tersenyum nakal pada Chris seraya bertanya, “Apa kau menyesal? Kau pasti menyesal karena mengenal Emma lebih dulu daripada mengenalku, sehingga kau terlanjur menikahi Emma. Ya, kan? Kau ... kalau kau bisa memutar waktu ... kau pasti akan lebih tertarik padaku.” Chris tak menjawab. Dia menegakkan posisi duduknya dan mendekap tubuh Evelyn di atas pangkuannya. Kepalanya menunduk untuk meraup dada Evelyn yang sejak tadi bergoyang-goyang di depan wajahnya dan sangat menantang. Tak mendapatkan respons apa pun dari Chris atas pertanyaan menggodanya tadi, Evelyn yang butuh validasi, tetap mengharapkan jawaban. Alhasil, dia sengaja melambatkan gerakan pinggulnya sampai akhirnya berhenti total, lantas ia menatap Chris dengan mata kelabunya yang membulat lugu saat dia kembali berujar, “Kau lebih puas bercinta denganku. Kau sendiri yang selalu mengatakannya tiap kali kita bercinta, bahwa aku lebih membuatmu puas di ranjang daripada Emma. Bagaimana jika akhirnya Emma tahu tentang kita? Kau tetap akan memilihku, ‘kan?” Evelyn tak berekspektasi kalau keputusannya untuk berhenti bergerak dan mengatakan hal seperti itu, ternyata membuat Chris emosi. Padahal, itu hanya pancingan saja agar Chris memujinya, memberinya validasi, dan menyetubuhinya lebih liar lagi agar mereka bisa kembali mendapatkan kepuasan bersama-sama dalam kegiatan mereka ini. Sesaat saja setelah Evelyn selesai bicara, Chris mendorong kedua bahu Evelyn dan menjatuhkan Evelyn hingga wanita itu telentang di kasur. Membalik posisi mereka, Chris merangkak menaiki tubuh Evelyn, lantas mencengkeram kedua pergelangan tangan Evelyn di atas sprei yang sudah berantakan, mencengkeram tangan Evelyn dengan sangat keras untuk membatasi ruang gerak kakak iparnya itu yang usianya lebih muda satu tahun dari dirinya. Evelyn merasa kesakitan sebenarnya. Namun, ketika Chris berusaha menyatukan kelamin mereka lagi selagi mencengkeram tangannya seperti itu, Evelyn berpikir bahwa Chris hanya semakin membara dalam nafsu, sehingga ia tak keberatan sekalipun Chris akan menyetubuhinya dengan kasar dan penuh emosi. Karena agaknya ia juga menyukai pola bercinta seperti itu. Beberapa saat kemudian, dengan tubuh mereka yang sudah menyatu lagi dalam posisi tersebut, Chris mencumbui leher dan dada Evelyn dengan sangat kasar, mungkin akan meninggalkan bekas yang samar. Sampai akhirnya mendekati telinga kiri Evelyn, setelah melumat singkat daun telinga itu, Chris berbisik penuh ketajaman, “Jangan berani-berani memberitahu Emma tentang semua ini. Kalau kau menutup mulutmu, dia tidak akan pernah tahu. Aku sungguh akan membuatmu menyesal jika Emma sampai tahu, Eve.” Evelyn terdiam. Ia segera sadar bahwa Chris tidak sekadar sedang diburu nafsu dan ingin menyetubuhinya dengan cara yang kasar. Pria itu benar-benar terbawa emosi. “Apa kau baru saja mengancamku?” tanya Evelyn kemudian. Chris mulai bergerak mendorong tubuhnya kepada Evelyn. Dia tidak menjawab dan hanya menatap Evelyn yang mulai mendesah lagi di bawahnya. “Kau mengancamku demi Emma, huh? Akuilah, Chris ... kau lebih menyukaiku daripada Emma.” Evelyn bersuara di sela desahan seksinya yang makin keras, menjambak rambut Chris selagi kedua lengannya memeluk leher pia itu. “Sekalipun aku mengakui hal itu, apakah itu bisa mengubah keadaan? Emma tetap istriku.” “Ya ... tapi kalau akhirnya kau harus memilih, kau pasti lebih memilih aku daripada Emma, ‘kan? Kau harus rela meninggalkan Emma untukku.” “Gunakan logikamu, Sialan,” desis Chris tajam. Evelyn terdiam lagi. Lumayan syok. ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya demi menahan desah dan napas yang memburu karena Chris menyetubuhinya dengan kasar sekali. Ia menyukai cara itu, tetapi tetap saja ia syok dan itu membuatnya memilih menahan sekejap desahannya. “Ini demi kebaikan kita,” kata Chris lagi, suaranya melembut dan tidak seperti tadi. “Emma tidak boleh tahu soal semua yang telah kita lakukan. Dia sedang mengandung darah dagingku. Rumah tanggaku bisa hancur dan aku bisa kehilangan hak asuh terhadap anakku jika Emma minta cerai.” Evelyn tetap diam. Chris menyusupkan jemari tangan kanannya ke sela rambut hitam Evelyn yang tergerai, mencengkeram rambut itu dan menjambaknya sembari bertanya serius, “Kau mengerti apa yang aku katakan, Eve?” Evelyn sangat tersinggung bahkan meski ia tidak punya hak untuk tersinggung. Namun, gerakan dan permainan Chris terlalu nikmat dan membuatnya menggila, hingga ia tidak bisa marah atau menghentikan semua ini. Alhasil, setelah tak bisa lagi menahan desahannya karena terlampau menikmati cara kasar Chris menyetubuhinya, bak anjing penurut, dia mengangguk patuh dan menjawab, “A-aku mengerti.” *** Bersambung .....Mendengar Emma meneriakkan kata cerai, kepanikan menggerayangi Chris dan membuat wajahnya kaku. Dia menggeleng pelan dan mencoba membujuk Emma dengan berkata, “Emma, aku mohon jangan seperti ini, Sayang.” “Persetan. Mulai sekarang, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kuharap kau paham.” “Apa yang kau bicarakan? Jangan sembarangan bicara! Aku tidak mau cerai, Emma. Kau sedang hamil besar dan kau butuh didampingi oleh suamimu.” Chris menegaskan. “Aku bisa hamil, melahirkan, dan membesarkan anakku sendirian tanpamu.” Emma berupaya menepis tangan Chris dari bahunya seraya menghardik, “Lepas, Chris! Taksiku sudah datang.” Chris mendadak menyeret Emma masuk ke kamar dan menguncinya dari luar. Emma tentu makin mengamuk, tetapi Chris tak menghiraukan dan pergi menemui sopir taksi di depan rumah, memberikan sejumlah uang kepada sopir taksi tersebut sebagai kompensasi karena dia langsung membatalkan pesanan Emma. Setelahnya, barulah Chris pergi ke kamar dan menemui E
Seharian penuh Emma berusaha menutupi memar-memar di tangannya. Ketika rekannya tak sengaja melihat dan menanyakan apa yang terjadi, ia beralasan bahwa dirinya terjatuh. Beruntung, bekas tamparan Chris di pipinya tidak sampai meninggalkan bekas yang terlalu tebal, hanya memerah selama beberapa jam saja, tetapi gusinya sempat berdarah. Sementara memar di tangan kanannya, justru lumayan parah hingga berwarna merah keunguan. Emma pulang tepat waktu hari ini. Begitu sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan mengambil koper miliknya dari atas salah satu lemari di ruang pakaian. Tadi pagi setelah bertengkar hebat dengan Chris, karena ia harus berangkat bekerja, ia berusaha untuk bersabar dulu, menahan diri agar bisa tetap profesional dengan pekerjaannya dan tidak terlambat ke rumah sakit. Sekarang, karena ia sudah pulang dan untungnya tidak lembur, ia bergegas mengemasi pakaiannya sekaligus barang-barang penting yang akan ia bawa. Tidak semua pakaian ia bawa,
Selain karena pertanyaan intens Emma tentang siapa yang datang kemarin, kening Chris makin mengerut begitu melihat ponselnya ada di tangan oleh Emma. Sudah dua tahun menikah, selama ini Emma dan Chris tidak pernah memeriksa ponsel satu sama lain tanpa izin. Emma sangat percaya pada Chris, sehingga ia tidak pernah berpikiran negatif kalau Chris akan menyembunyikan sesuatu darinya. Pagi ini adalah pertama kalinya ia membuka ponsel Chris tanpa diketahui oleh Chris, itu pun hanya melihat notifikasi pesan saja, tidak lebih. Namun tampaknya, hal itu membuat Chris sangat tidak suka. Pria berambut pompadour itu menjawab, “Itu temanku.” “Temanmu yang mana? Wanita atau pria? Apakah kemarin dia datang ke sini? Kenapa dia membawa-bawa namaku?” Chris menghela napas. “Temanku dari kantor, Emma. Dan tentu saja dia pria. Dia pernah datang ke sini pekan lalu saat kau sedang lembur, lalu kami minum-minum bersama. Dia tahu kau melarangku minum alkohol, makanya aku baru bisa memp
“Kau sudah pulang, Sayang?” sapa Chris. Emma hanya mengangguk pelan pada suaminya yang baru muncul dari kamar itu. Karena entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak dan sedikit curiga, ia mendorong Chris ke samping supaya Chris menyingkir dari depan pintu kamar tidur mereka, sehingga ia bisa membuka pintu kamar tersebut. Ia melempar pandangan ke seluruh penjuru kamar, melihat-lihat apakah ada sesuatu yang aneh dan tak biasa di sana. Tapi tidak ada apa-apa. Kamar tidur mereka sangat rapi. Kasur pun juga rapi sekali seperti tadi pagi. Membuat Emma berspekulasi kalau Chris baru pulang juga dan belum menyentuh kasur sama sekali. Chris kemudian menyusul masuk ke kamar. Pria yang sudah menikah selama sekitar dua tahun dengan Emma itu bertanya, “Ada apa? Kenapa kau buru-buru masuk ke kamar?” Beberapa minggu belakangan, Emma merasa kalau sikap Chris memang berbeda. Termasuk soal jadwal pulang kerja Chris yang sangat tak biasa, hampir tiap hari selalu terlambat s
“Kalau kau butuh sesuatu, kabari saja. Aku akan mampir ke sini jika senggang.” Sambil memegangi bagian bawah perut hamilnya, Emma sedikit membungkuk di samping pintu mobil. Ia menatap wanita berambut cokelat yang ada di dalam mobil itu dan duduk di kursi kemudi. “Kau yakin? Aku ini ibu hamil. Aku mungkin butuh sesuatu hampir setiap saat. Aku bisa mengabarimu tiap jam, Jenna,” sahut Emma. Jenna—dokter baru di Cornell Hill yang belakangan akrab dengannya—tertawa di dalam sana. Dia mengangguk dan menjawab, “Silakan saja. Aku tidak keberatan.” Emma turut tertawa. Ia mengetuk pelan kaca belakang mobil Jenna beberapa kali seraya berkata, “Terima kasih karena sudah mengantarku pulang. Kau pulanglah sekarang. Kasihan anakmu menunggu di rumah.” Emma menunggu sampai Jenna memundurkan mobil, lalu mulai melaju menjauh dari area rumahnya di wilayah Washington Heights. Sampai mobil Jenna benar-benar sudah tidak terlihat, barulah Emma berbalik dan melangkah memasuki rumah.
Memanfaatkan waktu sebaik mungkin selagi Emma belum pulang, mereka masih terus berpacu pada gairah di dalam kamar yang dingin itu. Tangan kanan Chris berada di dada kiri Evelyn, sementara tangan kirinya berada di punggung Evelyn, meraba punggung mulus tersebut dengan penuh kesensualan. Bersamaan dengan itu, bibir Chris tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati leher Evelyn ketika Evelyn mendongak di tengah desahan yang tak karuan. Sengaja ia tidak mencium bibir Evelyn, sebab ingin membiarkan mulut wanita itu terus menggaungkan desah yang semakin membangkitkan gairahnya. “Kau ... sudah berapa lama kau tidak bercinta dengan Emma, huh? Apakah ... semenjak rutin bercinta denganku ... kau tidak pernah lagi menyentuh Emma?” tanya Evelyn di sela napasnya yang menggebu-gebu dan beradu dengan desahan. Chris melirik wajah Evelyn sekilas, melihat bagaimana ekspresi wajah wanita itu menunjukkan kenikmatan yang luar biasa karena ia tak sedikitpun menjeda segala sentuh