Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.
“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.
“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.
Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”
“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Renata tertegun menatap Bagastya. Mereka kini duduk berseberangan dipisahkan meja makan. Lelaki berusia tiga puluh tahun yang telah empat warsa menjadi suaminya itu hanya memandangi map plastik berwarna putih susu yang berisi bukti gugatan serta daftar berkas yang harus disiapkan untuk mengurus perceraian. Disentuh pun tidak, apalagi dibaca. Ia bahkan memasang mimik wajah datar seolah tengah menanggapi kabar tidak penting. Mimik wajahnya saat membaca koran bahkan lebih ‘hidup’ dari saat ini.Renata mendorong map itu ke arah Bagastya hingga berada tepat di depan tubuh lelaki berperawakan sedang itu. “Nih, dibaca baik-baik, jangan sampai nggak paham.”Bagastya memandang istrinya sejenak. Sorot matanya jelas-jelas menunjukkan rasa tidak terima. Ia tidak pernah menduga bahwa Renata bersungguh-sungguh dengan ancaman untuk mengajukan gugatan cerai. Pernikahan mereka memang diwarnai pertikaian tiada ujung. Ia bahkan telah memiliki kekasih untuk menghib
Ternyata mengurus perceraian ASN itu tidak semudah membalikkan tangan. Setelah Renata mengajukan gugatan cerai, tidak serta merta kasus mereka diproses. Bagastya harus mendapatkan izin dari atasannya. Itu berarti, pria itu harus membuat surat permohonan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari atasannya. Tidak hanya selembar surat itu saja yang harus diurus Bagastya di kantor, melainkan beberapa berkas seperti berita acara pemeriksaan oleh unit kerjanya.“Bagas, mana surat rekomendasi dan berita acara pemeriksaan dari atasanmu?” pinta Renata di ruang tengah saat pria itu pulang kerja.Mereka tidak jadi pisah rumah karena Bagastya mengotot tidak mau pindah bila tidak dibereskan barang-barangnya. Renata menahan gengsi dengan tidak mau melakukan perintah suaminya. Ia sendiri malas bertengkar. Pernah terpikir untuk melempar benda-benda milik sang suami ke jalan. Setelah dipikirkan kembali, ia tidak tega merusak citra diri sebagai wanita terhormat. Masa iya, mengamuk seperti
Kotak berbagai ukuran masih terus keluar dari rumah Renata menuju rumah sebelah. Beruntung jalan di depan kediaman mereka itu adalah pembatas kompleks yang langsung berhadapan dengan sungai dan hutan kota sehingga aktivitas pindahan itu tidak perlu disaksikan oleh penghuni lain. Renata malas saja menjawab pertanyaan orang mengapa ia pindah.Oh, kami akan bercerai, sehingga memutuskan berpisah rumah. Renata meringis membayangkan reaksi orang-orang atas kabar tak sedap itu. Akan tetapi, itulah yang harus ia hadapi di hari - hari mendatang.Peluh membasahi wajah dan baju Renata. Napasnya terengah saat mengangkat kardus terakhir keluar rumah. Baru melangkah beberapa tapak dari pintu gerbang, sebuah mobil kecil berwarna putih menepi lalu berhenti di depannya.“Renata? Angkut - angkut apa?” Wajah manis berhidung mancung dan berambut ikal muncul dari balik kaca jendela yang diturunkan.Renata mengeluh dalam hati. Ia kenal wanita ini, janda penghuni rumah di ujung ja
Pacarku itu cuma satu, Dewi!Teganya Bagastya mengucapkan kalimat penghinaan itu padanya. Apa dia tidak sadar telah menyakiti hati istrinya, bagai menyayat dengan sembilu?"Renata! Jawab!" desak Bagastya."Jawab dulu, kamu ada hubungan apa sama Ines? Kamu pacaran juga dengan dia?""Enggak, dong! Ines belum terbukti bisa punya anak. Ngapain aku coba-coba sama dia?"Ooo, jadi semua ini masih tentang anak? batin Renata.Dewi memang memiliki satu anak. Ia telah berpisah dari suaminya dua tahun yang lalu. Entah bagaimana status pernikahan mereka. Apakah telah bercerai secara resmi atau masih menggantung, Renata tidak mau menelisik lebih lanjut.Dari mana Renata tahu perihal Dewi? Oh, Renata punya banyak kenalan dan hobi stalking. Menggali informasi adalah salah satu keunggulan yang ia miliki yang mengantarkannya mendapatkan klien - klien kelas kakap sebagai nasabah perusahaan sekuritas tempatnya bekerja."Kalau udah tahu dari In
Renata pasrah dalam gendongan Bagastya. Beruntung kasur mereka belum dibereskan sehingga masih bisa digunakan. Sebenarnya Renata tadi sudah melipat bed cover dan hendak melepaskan seprei.Entah mengapa, tangannya berhenti melepas karet-karet dari sudut kasur dan justru merapikannya kembali. Ia bahkan membentangkan bed cover lalu merebahkan diri di atasnya seraya mengelus permukaan kain yang lembut dan harum itu dengan penuh perasaan, seolah tengah membelai seseorang yang biasa berbaring di sana. Seiring dengan itu, hatinya retak dan kepingannya rontok satu demi satu. Ia merindukan sosok yang selalu ditemui saat membuka mata di pagi hari. Sosok yang kini membaringkannya di sini dan merapatkan tubuh hingga napasnya terasa membelai kulit.“Renata ….” Bagastya mengerang lirih seraya menyibakkan rambut Renata yang menutupi wajah. Panggilan itu terasa dipenuhi luka.“Bagas ….” Renata membalas dengan dengan lirih, lebih mirip desahan. Ia merindukan pria ini sampai ke sums