Share

OTW 4

Pacarku itu cuma satu, Dewi!

Teganya Bagastya mengucapkan kalimat penghinaan itu padanya. Apa dia tidak sadar telah menyakiti hati istrinya, bagai menyayat dengan sembilu?

"Renata! Jawab!" desak Bagastya.

"Jawab dulu, kamu ada hubungan apa sama Ines? Kamu pacaran juga dengan dia?"

"Enggak, dong! Ines belum terbukti bisa punya anak. Ngapain aku coba-coba sama dia?"

Ooo, jadi semua ini masih tentang anak? batin Renata. 

Dewi memang memiliki satu anak. Ia telah berpisah dari suaminya dua tahun yang lalu. Entah bagaimana status pernikahan mereka. Apakah telah bercerai secara resmi atau masih menggantung, Renata tidak mau menelisik lebih lanjut. 

Dari mana Renata tahu perihal Dewi? Oh, Renata punya banyak kenalan dan hobi stalking. Menggali informasi adalah salah satu keunggulan yang ia miliki yang mengantarkannya mendapatkan klien - klien kelas kakap sebagai nasabah perusahaan sekuritas tempatnya bekerja.

"Kalau udah tahu dari Ines, kenapa tadi nggak sekalian tanya apa alasanku pindah?" balas Renata dengan nada sinis.

"Dia enggak sempat nanya kamu karena keburu kebelet beol!"

Luar biasa sekali suami dan tetangganya ini. Sampai hal sekecil itu pun Bagastya mengetahuinya dari Ines. Renata semakin curiga kedua orang itu pernah menjalin hubungan. 

"Dengar, ya, Bagastya. Kamu bilang aku juga harus keluar dari rumah itu kalau kamu pindah. Jadi, rumah bakal kosong, kan? Makanya aku mikir lebih baik disewakan. Lumayan, ada yang menjaga dan mengurus, sekalian dapat tambahan uang."

Bagastya tidak menjawab untuk beberapa saat. Akhirnya ia membuka mulut juga. "Berapa harga sewanya?"

Renata menyebutkan sejumlah nilai yang cukup besar.

"Hmmm, aku dapat berapa?" Nada suaranya dingin, membuat Renata yang semula ingin berbagi uang sewa berubah pikiran.

"Enak aja! Kamu nggak modal buat beli rumah dan tanahnya, nggak malu minta bagian uang sewa? Aku tuh, sebagai istri yang harus kamu santuni, bukan sebaliknya! Mana yang katanya kodrat lelaki menghidupi istri? Mana, manaaaa?!" Renata memekik tanpa rem lagi. 

"Iya, iya! Aku enggak minta. Tapi kamu urus barang-barangku!" balas suaminya.

Sudut bibir Renata langsung melengkung ke atas. Yes! Apa susahnya mengurus barang? Asal uang sewanya utuh tanpa harus berbagi dengan Bagastya, ia senang-senang saja.

"Beres. Nanti aku kirim pakai pick up ke rumah Dewi."

"Kok ke sana? Enggak dong! Kamu bener-bener udah keterlaluan! Kamu pikir aku kumpul kebo, ya? Aku cuma pegang tangan dan cium bibir aja!"

"Seneng banget mengulang-ulang bagian cium bibir itu," sindir Renata. "Siapa yang ngomong kalau istri kedua itu untuk 'ehm-ehm' tempo hari, hah?"

"Otakmu itu udah keracunan apa? Kamu pikir 'ehm-ehm' itu apa?"

Renata mati kutu. "Terserah, kalian cuma cium bibir, cium dada, atau cium pantat sekalipun, aku enggak peduli. Itu urusanmu sama dia dan Tuhan. Sekarang mau dikirim ke mana barang-barangmu?"

"Ke Karawaci."

"Kamu mau menumpang di rumah orangtua?"

"Pikirmu ke mana? Ooo, apa aku pindah yang dekat aja, ya? Rumah Ines kayaknya terbuka buat satu penghuni lagi ...."

Renata kontan membentak, "%@#$&&&$#@%!!!!!"

***

Dengan penawaran menarik bahwa Bagastya tidak meminta uang sewa, dengan suka cita Renata mengemasi barang lelaki itu. Ia juga menyiapkan makanan kesukaannya, capcay dan cumi goreng tepung. Hitung-hitung sebagai santap malam terakhir sebelum mereka berpisah. Bukankah lebih baik memberikan kenangan manis daripada ingatan buruk yang membuat hati masam?

Matahari telah condong ke barat dan memberikan rona kemerahan pada langit. Renata hilir mudik dari dapur yang dirancang terbuka di teras belakang dan ruang makan yang memiliki pemandangan taman. Dulu, saat masih mesra dengan sang suami, duduk berdua di meja makan sambil minum kopi dan mengunyah camilan adalah kegiatan mereka saat senja dan hari libur. Bagastya senang dengan tanaman. Di teras belakang itu, berbagai koleksi tanaman sukulen[1] miliknya berjejer dan sangat terawat, bahkan hingga sekarang. Sebuah pohon mangga harum manis tumbuh subur di sudut taman, mendampingi pohon pepaya dan jeruk nipis. Pria itu suka minuman yang dibuat dari perasan jeruk. 

Mengingat semua kenangan itu, sebongkah es seperti dilemparkan ke dada. Menyesakkan, nyeri, serta dingin. Kaki Renata mendadak lemas. Ia terduduk di kursi makan dan menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya berguncang keras. Isakannya jebol mengisi sudut-sudut rumah yang lengang.

Saat Bagastya tiba di rumah, hari masih terang. Jarak tempuh rumah-kantor hanya sekitar 30 menit bila tanpa macet. Mendengar isak tangis sang istri, mau tak mau hatinya melorot dan mengerut. Ia sadar penuh bahwa hari ini adalah titik balik perjalanan biduk rumah tangganya bersama Renata.

Dengan hati-hati, diletakkannya tas di dekat tangga, lalu dilepasnya sepatu dan melanjutkan langkah tanpa membuat suara. Ia tidak ingin mengganggu Renata. 

Barang - barang mereka sebagian besar telah dipindahkan, menyisakan ruang - ruang serta sudut-sudut kosong yang terasa asing. Akan sekosong itu jugakah hatinya setelah berpisah dengan Renata? Ia memang ingin memiliki istri satu lagi, akan tetapi tak pernah membayangkan akan kehilangan seperti sekarang ini. 

Ruang tengah mereka menyatu dengan ruang makan sehingga saat memasuki rumah dari pintu di dekat garasi, ia langsung bisa melihat Renata yang duduk di ruang makan. Wanita itu sesenggukan tanpa melihat ke arahnya. Bagastya mendekat dengan perlahan. Perih juga hatinya mendengar ratapan lirih yang keluar dari bibir mungil sang istri. 

"Renata?" panggilnya.

Wanita itu mendongak. Mata sembabnya segera dikeringkan dengan kedua telapak tangan. "Kamu sudah pulang?" sapanya dengan suara serak.

Bagastya mengangguk lalu duduk di kursi terdekat. Ia tidak percaya, esok sudah tidak ada lagi makan berdua seperti ini. Pasti itu pula yang dirasakan Renata hingga sesenggukan. Sudah berapa lama istrinya menangis? Sungguh, ia merasa iba. Tanpa sadar, tangannya terulur meraih tangan Renata dan menggenggam dengan erat. Bukan untuk menyatakan perasaan sayang. Tidak tepat seperti itu. Lebih cocok bila disebut sebagai upaya mencari kekuatan untuk melangkah ke masa depan, yang di dalamnya tidak ada Renata.

Renata menoleh. Matanya langsung berhadapan dengan wajah Bagastya yang tengah memandang ke jendela. Bila dipandang dari samping, pria itu sangat menarik. Walau tingginya rata-rata, Bagastya memiliki hidung mancung, mata lebar dengan bulu mata lebat, serta rambut ikal, yang dulu membuatnya jatuh cinta hingga setengah hidup.

Bagastya tidak memandang ke arahnya. Raut wajah itu tercenung seolah yang di hadapannya adalah ruang hampa yang gelap. Hanya ibu jarinya terus bergerak, mengelus tangan Renata dengan lembut. 

Renata sebenarnya heran dengan sikap itu. Bukankah Bagastya sudah memiliki Dewi yang lebih seksi dan ahli bercinta? Begitu yang selalu dikatakan pria itu secara tidak langsung, walau sesudahnya selalu mengatakan bahwa masih mengharap Renata mendampingi sebagai istri pertama dan satu-satunya istri resmi menurut hukum negara. Lantas, apa arti wajah terluka itu?

"Aku kangen kita yang begini," bisik lelaki itu. Matanya benar-benar menyorotkan duka. Renata tidak yakin Bagastya hanya berakting.

Aku juga, Bagastya. Kangen banget! Andai saja tidak ada orang ketiga ....

Renata segera menarik tangan. Ia tidak boleh lemah. Prinsip tidak mau dimadu tidak boleh ditawar!

Wanita itu berdiri untuk membuka tudung saji dan meletakkannya di atas kulkas. Kemudian ia mengambil air dari dispenser untuk suaminya. Saat hendak membalikkan badan, Bagastya telah mendekat dari belakang. Kedua lengan yang kokoh melingkar di pinggang Renata. Dagu lelaki itu disandarkan ke lekuk leher sehingga membuat napas Bagastya mengembus ke pipi. 

"Aku kangen, Renata," bisiknya. Tangan Bagastya meraih gelas dari genggaman sang istri, kemudian meletakkannya di atas dispenser. Sesudah itu, tangan kokohnya menjelajah tubuh lembut yang memancarkan aroma harum.

Aku juga! jerit hati Renata. Ia tidak menampik, bahwa tubuhnya menikmati sentuhan itu. Bukankah ia perempuan muda yang sehat dan penuh hormon? Sudah berapa bulan mereka tidak melakukannya? Sejak mereka pisah kamar, berarti lebih dari tiga bulan. 

Astaga!

Sejenak, Renata memejamkan mata. Sentuhan itu membuat otot-otot mengendur. Ketegangan yang mencengkeram hati lenyap, berganti rasa hangat yang sangat nyaman.

Oh .... Bagastya! 

Jemari suaminya kini menyusup ke balik baju, menjumpai miliknya yang telah lama tidak dijamah. Renata semakin lemas. Tanpa dikomando, ia membalikkan badan. Bibirnya segera mencari keberadaan bibir tebal nan ranum milik Bagastya. Ia menurut saja ketika pria itu mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan, lalu menderap menuju kamar.

***

[1] tumbuhan sukulen adalah tumbuhan yang batang atau daunnya berdaging tebal sebagai tempat menyimpan air, misalnya kaktus dan lidah buaya.

-------------------------------------------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status