Share

OTW 3

Kotak berbagai ukuran masih terus keluar dari rumah Renata menuju rumah sebelah. Beruntung jalan di depan kediaman mereka itu adalah pembatas kompleks yang langsung berhadapan dengan sungai dan hutan kota sehingga aktivitas pindahan itu tidak perlu disaksikan oleh penghuni lain. Renata malas saja menjawab pertanyaan orang mengapa ia pindah.

Oh, kami akan bercerai, sehingga memutuskan berpisah rumah. Renata meringis membayangkan reaksi orang-orang atas kabar tak sedap itu. Akan tetapi, itulah yang harus ia hadapi di hari - hari mendatang.

Peluh membasahi wajah dan baju Renata. Napasnya terengah saat mengangkat kardus terakhir keluar rumah. Baru melangkah beberapa tapak dari pintu gerbang, sebuah mobil kecil berwarna putih menepi lalu berhenti di depannya.

“Renata? Angkut - angkut apa?” Wajah manis berhidung mancung dan berambut ikal muncul dari balik kaca jendela yang diturunkan.

Renata mengeluh dalam hati. Ia kenal wanita ini, janda penghuni rumah di ujung jalan. Jaraknya hanya selisih tiga petak dari miliknya.

“Enggak apa - apa. Cuma mau pindah ke rumah Mama. Dari mana, Nes, jam segini kok udah pulang?”

Wanita yang sehari - hari dipanggil Ines itu meringis. “Aku diare. Tadi makan rujak. Nggak lama kok mules - mules. Ngomong - ngomong kenapa pindah ke rumah orangtua?”

“Rumah ini mau aku sewakan,” jawab Renata dengan singkat. sebenarnya ia enggan menanggapi wanita itu. Ines, kalau sudah bicara, tidak tahu titik. 

“Loh, kenapa?” Naluri penggosip Ines langsung bereaksi.

“Enggak ada apa-apa. Kami butuh uang.”

Mata janda tanpa anak itu langsung melebar. Bila menyangkut segala hal yang berbau uang, Ines cepat tanggap. 

“Oh, ya? Berapa? Aku bantu cari penyewa, boleh? Kamu kasih aku komisi berapa?”

Renata menggigit bibir seraya berpikir sejenak. Ines memiliki toko komputer di BSD Junction. Pasti kenalan dan pelanggannya banyak. Buktinya ia bisa menjual apa saja. Mulai komputer, mobil, perhiasan, hingga tanah dan rumah. Daripada keluar uang untuk memasang iklan, lebih baik menyetujui tawaran Ines. 

“Boleh,” sahut Renata pada akhirnya.

Ines tersenyum lebar. “Komisinya 10%!”

“Sebanyak itu?” Renata langsung mendelik. “Enggak sekalian minta leherku, Nes? Kebangetan kamu. Tega benar sama tetangga sendiri.”

Ines tergelak. “Kalau kamu memakai jasa agen properti, segitu juga potongannya.”

“Satu persen aja!”

“Tujuh setengah.”

“Ogah! Dua persen.”

“Lima!”

“Dua setengah! Kalau enggak mau, ya, udah!” 

Wajah Ines berkerut seperti menahan sesuatu. 

“Deal, dua setengah! Udah, ya, nggak tahan mulesnya nih.” Sesudah itu ia melajukan mobil kembali.

Renata tergelak. “Deal, dua setengah, ya! Enggak pakai lama lakunya,” serunya. Dalam hati sebuah doa dilambungkan agar Ines segera mendapatkan calon penyewa.

Ibunda Renata telah menunggu di ruang tengah saat Renata masuk membawa kardus terakhir. 

Diletakkannya benda itu di lantai dekat dengan tangga.

“Barang - barang Bagastya sudah dikemas juga?” tanya ibunya.

“Belum. Malas, ah. Biar dia mengurusnya sendiri.”

“Uang sewanya dibagi dua?”

“Keenakan dia kalau dibagi dua. 70 - 30, Ma. Kalau dia mau, dia dapat segitu. Kalau enggak mau, malah enggak dibagi. Rumah dan tanah itu aku yang keluar uang, loh.”

“Mama setuju! Menjadi perempuan itu harus tegas. Untung kamu tidak menurut waktu dia minta buat berhenti kerja. Kalau kondisinya begini, mau jadi apa kamu?”

Renata mengangguk. Ia masih teringat perdebatan mereka panjang soal pekerjaan. Bagastya kesal karena Renata tidak mau tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga.

“Kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga!” tukas suaminya waktu itu. 

Tentu saja Renata menolak keras. “Lah, kodrat laki - laki apa? Menikahi banyak perempuan?”

“Loh, kok selalu lari ke topik itu? Tugas lelaki itu menghidupi istri dan anak!”

“Ooo, enggak salah itu. Yang salah adalah, kamu timpakan semua urusan rumah tangga ke aku. Kamu enggak paham, kalau mengurus rumah tangga itu harus bersama - sama antara suami dan istri?”

Renata masih ingat, setelah bersilat lidah panjang, Bagastya menatapnya tajam.

“Kamu menuntut hak? Sekarang aku juga mau menuntut hakku sebagai suami! Mana hakku untuk punya anak? Kamu udah bisa kasih anak ke aku? Kalau udah, silakan tuntut hakmu, akan aku berikan dengan senang hati.”

Renata menatap suaminya dengan nanar. Ia bahkan tidak percaya telah mencintai lelaki aneh ini. Apa yang dilihatnya selama pacaran dulu? Jangan - jangan Bagastya menggunakan jasa ‘orang pintar’ untuk mengikat hatinya.

“Jadi anak itu kamu anggap hakmu, hah?!” pekik Renata dengan emosi memuncak. “Anak itu titipan Tuhan! Dikasih bagus, enggak dikasih pun enggak mengapa!”

Sekarang Renata paham, mengapa sampai sekarang mereka tidak mendapat karunia itu. Barangkali Sang Pencipta tidak berkenan menitipkan seorang jiwa pada mereka karena tidak yakin bisa dibesarkan dengan baik. 

“Renata?” Suara ibunya membuyarkan lamunan. 

“Ya, Ma?”

“Ingat tidak, Mama pernah bilang, kalau suami yang mengotot meminta istrinya berhenti bekerja itu seringkali selingkuh?”

Renata meringis. “Itu teori dari mana, Mama?”

“Nah, itu Bagastya buktinya. Tahu enggak, kenapa mereka begitu?”

Renata melengos. Tentu saja ia tahu. Sudah puluhan kali topik ini mereka bicarakan. Oh, bukan hanya puluhan, melainkan ratusan kali. 

“Mereka melarang istri bekerja, supaya si istri tidak punya penghasilan dan pergaulan. Kamu tahu, istri yang tidak punya penghasilan dan pergaulan itu bakal mudah untuk tunduk pada suami. Beda kalau sebaliknya. Mereka punya daya lawan dan daya tawar yang tinggi. Lihat, kamu contohnya. Kebayang tidak, seandainya kamu tidak punya pekerjaan?”

Renata berkedip-kedip saja. Dalam hati, ia mengakui kebenaran kata-kata sang ibu. Di sisi lain, banyak juga temannya yang berhenti bekerja setelah menikah, namun rumah tangga mereka baik - baik saja.

“Nah, kan? Mau jadi keset kaki lelaki? Mending kalau suamimu baik, setia, bertanggung jawab, mencukupi segala kebutuhan dan kesenanganmu. Kalau seperti Bagastya? Baru mendapat cobaan sedikit sudah ingin mencari perempuan lain. Lagipula, anak itu hasil berdua. Jangan kamu saja yang dikambinghitamkan!”

“Aku emang bukan kambing, dan aku enggak hitam, Mama!”

“Nah, kan? Benar teori Mama!”

“Itu baru satu kasus. Mana bisa disamaratakan ke semua lelaki?”

Sang ibu mencibir. “Kan Mama bilang tadi ‘biasanya’. Ya enggak semua. Mama bisa ngomong begitu karena pengalaman. Itu hasil pengamatan Mama selama 33 tahun berumah tangga.”

“Iya, Mama,” sahut Renata untuk mengakhiri perdebatan.

“Renata, karena kamu tinggal di sini, mulai sekarang semua biaya rumah kamu yang tanggung, ya?”

Kening Renata berkerut. “Apa aja itu?”

“Belanja sehari - hari, listrik, telepon, pembantu.”

“Oooke, Mama!”

“Setiap bulan Mama ke salon lalu jalan - jalan sama teman. Kamu kasih uang saku, ya?”

“Hah?”

Ibunya sontak berdecak. Mulutnya terbuka hendak menyampaikan protes. Renata sudah tahu apa yang akan dikatakan.

“Iya, iya!” Renata pasrah. Daripada uang dipakai untuk membiayai suami yang tidak setia, lebih baik untuk menyenangkan ibunya.

“Tas Mama juga sudah kumal ….”

Untuk hal satu ini, ibunya sudah keterlaluan. “Mama! Pakai aja tasku, tuh. Anakmu ini hampir janda, Mamaaaaa! Jangan dirampok, dong?” rengek Renata.

“Cuma begitu saja kok tidak mau. Kalau bukan minta ke kamu, Mama harus minta pada siapa?”

“Minta Mas Dodi, dong. Manajer kan gajinya buesar!”

“Mama takut sama istrinya!” Wajah wanita itu seketika berkerut.

Renata langsung terbahak. Ia tahu iparnya itu sangat perhitungan. Belum sempat memperhatikan reaksi ibunya lebih lanjut, teleponnya berdering. Ternyata Bagastya.

“Renata!” Nada suara pria itu langsung tinggi.

“Apa?!” Renata tidak mau kalah. Ia bingung, dari mana Bagastya tahu bahwa ia pindahan.

“Kamu apakan rumah kita, hah?” semprot suaminya.

“Rumah kita? Apa-apaan? Rumahku!” Renata balas menyemprot.

“Kenapa barang-barangnya dikeluarkan?”

“Kamu tahu dari siapa?”

“Ines barusan telepon!”

Jiwa paranoid Renata langsung terpicu. “Oooo, kamu sekarang teleponan sama Ines juga? Udah sampai mana hubungan kalian?” tanya Renata dengan nada sinis.

“Renata! Apaan, sih? Aku enggak selingkuh sama Ines. Jangan asal tuduh, ya! Pacarku itu cuma satu, Dewi!”

Segala binatang bertaring segera melintas di dalam benak Renata. Ingin ia perintahkan semua makhluk ganas yang ada di muka bumi untuk meremukkan pria yang tidak punya perasaan itu. 

"Bagas. Kamu bisa enggak munduran lagi?" 

"Mundur?" 

"Iya mundur."

"Udah."

"Terus mundur." 

"Udah." 

"Kurang. Mundur lagi."

"Udah mentok tembok, Renata!" 

"Enggak apa-apa mentok, mundur aja terus kalau bisa sampai jatuh ke jurang."

"Hah? Buat apa sih, nyuruh-nyuruh aku mundur?" 

"Soalnya, bangsat kamu kelewatan." 

***

Lanjut? Komen yang banyak ya, biar sy semangat lanjut

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status