Share

OTW 5

Renata pasrah dalam gendongan Bagastya. Beruntung kasur mereka belum dibereskan sehingga masih bisa digunakan. Sebenarnya Renata tadi sudah melipat bed cover dan hendak melepaskan seprei.

Entah mengapa, tangannya berhenti melepas karet-karet dari sudut kasur dan justru merapikannya kembali. Ia bahkan membentangkan bed cover lalu merebahkan diri di atasnya seraya mengelus permukaan kain yang lembut dan harum itu dengan penuh perasaan, seolah tengah membelai seseorang yang biasa berbaring di sana. Seiring dengan itu, hatinya retak dan kepingannya rontok satu demi satu. Ia merindukan sosok yang selalu ditemui saat membuka mata di pagi hari. Sosok yang kini membaringkannya di sini dan merapatkan tubuh hingga napasnya terasa membelai kulit.

“Renata ….” Bagastya mengerang lirih seraya menyibakkan rambut Renata yang menutupi wajah. Panggilan itu terasa dipenuhi luka.

“Bagas ….” Renata membalas dengan dengan lirih, lebih mirip desahan. Ia merindukan pria ini sampai ke sumsum tulang. Setiap lekuk tubuhnya ingin disentuh dan dimiliki olehnya. Akan tetapi, mengapa harus ada penghalang? Begitu teringat Dewi, rasa geram mencengkeram hati Renata. Kerinduan yang dalam itu seketika berubah menjadi luka menganga. 

Hhh! Kamu harus tahu siapa pemilikmu, Bagastya! Renata memburu bibir Bagastya bukan hanya karena rindu, namun lebih untuk menegaskan dengan siapa seharusnya benda kenyal kemerahan itu berada. Napasnya menderu saat meraup hak milik itu dan memainkannya.

Bagastya membalas. Lidahnya menjelajah mengiringi milik Renata, seolah menegaskan, Kamu tidak boleh ke mana–mana! Kamu hanya untukku! 

Renata tak mau kalah. Tangannya kini bergerak membuka kancing kemeja suaminya dengan secepat mungkin, kemudian melepasnya. Detik berikutnya kaus dalam, ikat pinggang dan seterusnya hingga tanpa sisa. Geramnya berubah menjadi nafsu penguasaan. 

Aku habisi kamu tanpa sisa sebelum kabur ke perempuan lain! Sesudah itu ia mencengkeram milik Bagastya hingga pria itu mengerang keras seraya menggelepar ringan. Entah kesakitan, entah keenakan, Renata tak peduli. Organ itu pun miliknya!

Bagastya merasakan hal yang serupa. Ditariknya rok terusan Renata ke atas hingga terlepas. Kemudian ia mengurai segala yang tersisa hingga tak ada selembar benang pun. Matanya nanar menyadari betapa indah tubuh yang menggeliat di depannya. 

Kamu pikir bisa semudah itu pergi lalu memberikan tubuhmu ke orang lain? Langkahi dulu mayatku!  

Bagastya membenamkan mulut di dada Renata yang membusung. Kelembutan yang hangat itu diserapnya sebanyak mungkin hingga menimbulkan cupang merah di berbagai tempat. 

Terima, tuh, cap dari aku!

Sekarang keduanya bagai dua ekor anak anjing. Bergulat, saling garuk dengan bernafsu. Menggigit segala tempat yang memuaskan hasrat. Bergulung ke berbagai arah untuk menyalurkan kegemasan. Hingga di satu titik, Renata menghempaskan Bagastya ke kasur, menahan dadanya agar tetap berbaring. 

Bagastya berontak. Demi apa pun, ia tidak mau di bawah! Tangannya bergerak merengkuh bahu Renata hendak merebahkannya untuk menempatkan dirinya di atas. Malang nian, pinggul Renata sudah menindih pinggulnya. Kedua paha wanita itu menjepit keras hingga ia tak dapat berkutik. 

Apalagi miliknya telah dibenamkan dalam tubuh Renata. Bagastya tak punya pilihan selain menuruti kemauan sang istri dengan mengimbangi gerakannya hingga menggelapar tak karuan.

Bagastya akhirnya melewati puncak dengan getaran dan erangan keras. Saat napas pelepasan terembus, ia ingin membebaskan diri, namun Renata belum selesai. Dengan segenap kekuatan ia menahan pria itu di tempatnya.

Enak saja kamu! Mau main kabur begitu aja, heh? Siapa yang kasih izin? Renata mengulang gerakan dan meminta haknya sampai habis tuntas dengan segala cara. Ia meraih tangan Bagastya.

Heh, masih mau lagi? Nih, rasain! Dasar perempuan serakah! Bagastya mengaduk dengan keras disertai rasa geram. Tak peduli Renata memekik karena sakit atau enak. Dalam benaknya hanya ada keinginan untuk memberi bekas di sana yang tak akan dilupakan Renata bahkan setelah bersama orang lain. 

Renata melenguh dan mengerang beberapa kali. Dadanya naik turun seiring napas yang memburu. Sesuatu di bawah sana terus mendesak minta di puaskan. Lagi, dan lagi, semakin lama semakin keras. Hingga saat semuanya mencapai akhir, ia memekik tertahan.

Bagastya menyeringai penuh kemenangan. Puas, kamu? Puas?! Sana pergi, cari yang lain! Paling - paling balik lagi ke aku!

Malang bagi pria itu. Renata ambruk ke dadanya sambil masih merasa gemas. Bahu kokoh itu menjadi sasaran. Sederet bekas gigi membentuk dua lengkung kemerahan di kulit yang kuning bersih itu.

“Duh, duh, Renataaaa!” erang Bagastya, kali ini benar-benar karena kesakitan.

Renata terhenyak kaget, baru sadar telah meninggalkan markah di bahu kanan suaminya. Untung hanya lekukan kemerahan saja, tidak sampai merobek kulit. 

“Sakit, Renata!” protes Bagastya. Wajahnya berkerut seraya memegangi bahu.

“Salahmu sendiri. Siapa suruh mengaduk enggak karuan!” Renata balas menyalahkan. Namun begitu, diusapnya bekas gigitan dengan perasaan bersalah serta wajah memerah karena malu. Harus diakui, yang baru saja terjadi itu adalah pengalaman terbaik mereka dalam empat tahun berumah tangga. 

Empat tahun …. Tiba-tiba ia menyadari bahwa inilah pengalaman terakhir sebelum berpisah. Seketika rasa ngilu memenuhi ulu hati, sesak sekali. Sambil masih terengah dan mata mengabur, Renata merayap ke kepala ranjang, lalu duduk bersandar. Ia diam tercenung menatap jendela yang menampakkan langit yang mulai gelap.

Bagastya pun merasakan hal yang sama. Dadanya masih naik turun dengan kencang saat menyejajari Renata. Wajah sang istri terlihat penuh beban. Ia tahu, dirinya adalah sumber beban itu. Rasa iba pun muncul. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuh polos mereka. Direngkuhnya tubuh Renata ke dalam pelukan. Wanita itu membenamkan wajah. Tangisnya pecah. 

“Aku selalu sayang kamu, Renata,” bisik Bagastya.

“Bohong!” tangis Renata. Dipukulnya dada Bagastya beberapa kali. “Kalau sayang, kenapa menyakiti aku seperti ini?”

Bagastya sejenak terdiam. Mereka sudah membicarakan ini ratusan kali dan tidak menemukan titik temu. Tangis Renata sesungguhnya melukai hatinya.

“Bisa enggak kamu tetap sama aku? Please, aku mohon, Renata,” bisik Bagastya. Suaranya telah bergetar karena luapan perasaan.

“Dimadu itu sama saja membunuhku pelan-pelan. Kapan kamu bisa memahaminya?” ratap Renata, mulai sengit. Akan tetapi, ia meringkuk semakin rapat ke pelukan suaminya.

Dengan penuh sayang, Bagastya mengecup puncak kepala Renata dan menyusupkan jemari di antara helai rambut panjang yang selalu digemarinya. 

“Kita akan tetap seperti ini walau nanti sudah ada Dewi.”

Renata merintih. “Kamu laki-laki, kamu enggak akan bisa memahami. Gimana akan sama kalau hatimu terbagi dua? Mana bisa sama, Bagastya?”

“Aku janji nggak akan muncul bersama Dewi di depanmu. Kamu bahkan enggak akan melihat dia di mana pun. Gimana?”

“Tapi aku tahu kamu menjadi miliknya. Tahu saja sudah menusukku!” Bahu Renata berguncang keras, semakin membuat hati Bagastya diiris-iris. 

“Sssst! Jangan nangis. Aku paling sedih lihat kamu begini.”

“Kalau kamu enggak mau lihat aku begini, jangan menikah lagi!” 

Angan Bagastya melayang ke Dewi. Entah mengapa, sejak pertama melihat janda satu anak itu, ia melihat masa depan. Wanita itu pintar mencari rezeki dan saat ini memiliki usaha pemotongan ayam yang cukup sukses. Ia tidak akan merepotkan Bagastya dalam hal keuangan. Dewi juga ramah dan mudah bergaul, tak kalah dari Renata. Tubuhnya pun, walau seumur dengan Bagastya, ia tak kalah menarik dari Renata. 

Kekurangannya satu, tanpa riasan, wajah Dewi sesungguhnya biasa, persis seperti penilaian Bu Dian. Sedangkan Renata cantik dengan atau tanpa polesan. 

Kelebihan Dewi adalah rahimnya bisa membuahkan anak. Sedangkan Renata, entah apa yang terjadi di dalam sana, bagai menanam di lahan tandus, tak kunjung bertunas, apalagi berbuah. Padahal dirinya telah lama mendambakan keturunan.

“Kita bisa mencoba lagi berobat, kan, Bagas? Ayo kita mencari klinik kesuburan. Aku punya uang, kok. Buat apa kalau tidak dipakai?”

“Kamu sudah tahu bagaimana sikap orang tuaku tentang bayi tabung. Kamu tahu sendiri, mereka menolak karena melanggar aturan agama,” sanggah Bagastya.

“Kita bisa melakukannya diam-diam.”

“Apa ada kebaikan yang dilakukan dengan membohongi orang tua?”

Renata terdiam. Bila sudah sampai di situ, hanya jalan buntu yang terlihat. Kadang, saat setan sedang bersanding, Renata bahkan berpikir sampai kapan ibunda Bagastya ini akan hidup? Bagaimana kalau ia berdoa semoga beliau cepat dipanggil saja sehingga tidak merecoki rumah tangga anaknya sedemikian rupa?

“Mama nggak punya banyak waktu. Kalau kemoterapinya gagal, berarti harapan hidupnya semakin pendek.”

Mama lagi, Mama lagi! Renata menarik diri dari pelukan lalu membelakangi Bagastya.

Bagastya tahu, pembicaraan tentang ibunya selalu memicu kemarahan Renata. Akan tetapi, ia tidak bisa menghindari. Bukankah kewajiban anak untuk membahagiakan sang ibu, terutama di saat-saat terakhirnya?

“Aku anak tunggal, Renata. Seharusnya sebelum menikah, kamu sudah tahu risikonya akan seperti ini. Kamu dituntut memberikan keturunan.”

Darah Renata memanas. Ia berbalik, duduk menghadap Bagastya dengan mata membelalak. “Ini lagi! Kenapa aku saja yang selalu dituntut? Memangnya anak bisa kubuat sendiri?”

 ***

Jika suka cerita ini, jangan lupa vote, tinggalkan komen, dan share ke teman kamu ya. Supaya penulis semangat melanjutkan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nietha
ini mrk udh kedokter, jdi udh jelas renata yg gk bisa ap gimna sih?? tpi kok renata jwbnya gitu, seakan2 mrk gk tau sp yg gk bisa....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status