Malam ini kami saling mengakui perasaan kami satu sama lain. Perasaan kagum yang berkembang menjadi rasa sayang dan perlahan bermetamorfosa menjadi rasa cinta. Entah sejak kapan perasaan ini mulai bermetamorfosa, yang aku tau hanya sejak awal pertemuan kami, aku memang sudah mengagumi seorang Gibran Maharsa Adinata."I can remember when I first saw you," ungkapku.Ya, aku akan selalu mengingat hari itu. Hari dimana aku bertemu Mas Gibran untuk pertama kalinya. Tepat di hari pertama aku menjadi guru les privat Gea dan Luna dua tahun lalu. Di hari itulah aku mulai mengagumi sosok tampan yang kini menjadi kekasih pertamaku sekaligus cinta pertamaku dan ciuman pertamaku.Sejak saat itu hanya sosoknya yang menjadi visual pria idamanku. Wajah tampan, tubuh maskulin, suara bariton, dan sikap beton yang terkesan sulit terjamah khas Mas Gibran selalu berhasil menghipnotisku. Walau aku sadar, ada perbedaan status sosial yang terlalu jauh diantara kami berdua. Aku selalu beranggapan, orang kaya
Sudah satu minggu aku menjadi kekasih Gibran Maharsa Adinata. Beberapa kali kami sempat menghabiskan waktu bersama, mulai dari sekedar makan siang, makan malam, bahkan menemaniku berbelanja kebutuhan Alina Gump dan menemani Oma Elma ke butik langganannya.Hari ini kami harus menghadiri pesta ulang tahun si centil Luna. Tepat pukul 11.10 WIB, tampak seorang pria berwajah tampan dengan gagahnya sudah menungguku di teras rumah. Kehadiran sosoknya tentu membuat senyumku mengembang sempurna. Dengan menggunakan dress peach yang konon kata Gea adalah pilihan si sosok tampan tersebut, akupun melenggang sok cantik ke arahnya."Maaf sudah membuat Mas menunggu," ujarku semanis mungkin."Doesn't matter," balasnya. Dia mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung jempol kakiku. "Cantik sekali wanitaku," puji pria tampan yang pandangannya terpaku padaku itu.Cantik? Wanitaku? Haduh ... lumer lagi Audrey, Om!"Terima kasih, Mas Gibran Maharsa Gombal Adinata," balasku seraya tersenyum secerah cuaca har
Bagaimana bisa Mas Gibran membuat keputusan sepihak? Bisa-bisa dia terkena penalti karena pembatalan kerja samaku dengannya terkait skripsi si montok Clara! Eh, tapi 'kan kami gak ada perjanjian tertulis. Matilah aku! Uangnya harus aku kembalikan dong, huft!"Aku alihkan tugasmu," ujar Mas Gibran tiba-tiba."Dialihkan?""Jadilah asisten sekertarisku bulan depan! Kebetulan asistennya akan ditugaskan ke luar kota selama satu bulan," terang Mas Gibran. "Tentang skripsi Clara, sudah aku serahkan pada orang lain," tambahnya.Asisten Sekertaris? Akupun terdiam sejenak, mempertimbangkan peralihan tugas yang diberikan Mas Gibran. Setelah berpikir selama satu detik, sepuluh detik, lima puluh detik, dan ..."Em ... OK! Setelah ini aku akan transfer balik uang 100 juta yang sudah Mas kirim. Karena Aku rasa gaji seorang asiten sekertaris selama satu bulan tidak sebanyak itu.""Tidak perlu. Aku yang melanggar perjanjian Kita, jadi Kamu tidak perlu mengembalikan uang itu. Setelah ini bahkan Aku aka
"Suasananya nyaman sekali," pujiku seraya melihat sekeliling restoran mewah dengan interior bergaya Eropa ini."Setahun mejelang Papa meninggal, hampir setiap Sabtu, Almarhum Papa mengajak Kami sekeluarga makan siang di sini," ucap Mas Gibran. Pandangannya menyusuri sudut-sudut restoran ini. Mungkin dia teringat beberapa momen bersama papanya di tempat ini."Audrey ... " lirih Mas Gibran."Hem ... ""Terima kasih.""For what?" tanyaku kebingungan."For coming into my life."Uw ... manisnya Om Tampanku. Akupun membalas dengan senyum terbaikku seraya meremas lembut tangan Mas Gibran. Semoga gak hanya manis di awal ya, sampai nanti ngajak nikah, kawin, dan beranak-pinak tetap uwuuw ya Om Tampan, amin!Tak lama, makanan kami datang. Dengan ramah dan cekatan pelayan restoran ini menyajikan pesanan kami. Lebih tepatnya pesanan Mas Gibran. Karena setibanya di restoran ini aku sampaikan dengan jujur pada Mas Gibran bahwa ini pertama kalinya aku ke restoran mewah semacam ini. Nama-nama makana
Sesekali aku melirik ke arah Tante Ziya. Sepertinya memang betul yang dikatakan Kak Livy, salah satu sosialita hits ibukota itu memang beberapa kali tertangkap sedang menatap tajam ke arahku.Dari awal kedatanganku, sebenarnya memang banyak pasang mata mengarahkan pandangannya ke diriku yang berjalan di samping Mas Gibran. Ya ... wajar sih! Secara gadis yang bisa menaklukkan hati Tuan Muda Adinata, hehehe.Namun tatapan orang-orang itu tidak intens seperti tante Ziya. Dan juga ... tidak seintimidasi tante sosialita itu.Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku bertemu dengan Tante Ziya. Sebelumnya aku pernah bertemu dengannya di saat ulang tahun Gea dan Luna tahun lalu. Selain itu juga di acara ulang tahun Oma Elma dan Bu Livy selama dua tahun terakhir. Namun sebelumnya dia tidak pernah menatapku setajam ini.Kenapa sih dia? Apa karena aku menggeser posisi keponakan kesayangannya?"Wah ... cantik sekali Tante Bule," terdengar suara Kak Dina yang berjalan ke arahku. Sontak akupun menat
FYI! Tante Ziya ini adalah adik ipar Mama Elma. Dia menikah dengan Pak Zidan, adik kandung Mama Elma. Tante Ziya sendiri memiliki satu saudara kandung, seorang model terkenal era 90an, Zeliyana Pambudi, yang tidak lain dan tidak bukan, mama dari Clara Meilita Pambudi, mantan terindah Mas Gibran! Ya, Tante Ziya ini adalah tantenya Mas Gibran sekaligus tantenya Clara. Em ... apa Tante Ziya ini tim sukses hubungan mereka berdua ya? Maka dari itu dia tampak sewot melihat hubunganku dengan Mas Gibran? "Astaga! Lihat saja penampilannya," seloroh Tante Ziya sambil menatapku lekat. Wanita antagonis itu masih setia menatap jijik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kenapa memangnya penampilanku? Dih, katanya sosialita! Tapi kenapa dia menyangsikan penampilanku yang lumayan borju hari ini? Dress ini mahal loh, Tante! Merk di*r! Harganya aja belasan juta. Sampai-sampai otak dagangku dari tadi meronta-ronta. Rasanya ingin aku preloved saja baju mahal ini. Pasti lumayan harganya!
Selepas kepergian Tante Ziya, semua mata di sekitarku menatap iba padaku, termasuk Kak Livy dan Kak Dina yang saat itu berada tidak terlalu jauh dari posisiku. Pasti mereka juga mendengar celaan Tante Ziya padaku barusan.Begitupun Mas Gibran. Pria tampan itu semakin mengencangkan lengannya di pinggangku. Seakan menunjukkan posisinya akan selalu berada di sisiku, bukan di sisi tante sosialitanya itu."Dasar Nenek Lampir!" ketus Tante Mala."Gak usah diambil hati ya, Audrey!" timpal Tante Salsa. Akupun hanya membalasnya dengan senyuman cantikku. Senyum merekah khas Audrey Liliana White.Kalau dipikir-pikir Tante Ziya ini sepertinya memang kurang disukai di circle Mama Elma. Setiap mereka berkumpul di waktu senggang, hanya ada Mama Elma dan kedua saudara perempuannya, ditambah Tante Winda, sepupu mereka. Tante Ziya hanya muncul di acara keluarga semacam ini. Tidak pernah aku melihatnya bergabung di acara-acara santai seperti Tea Time keempat perempuan lainn
Beruntung kejadian drama kumbara yang diciptakan Tante Ziya tadi terjadi di salah satu sudut ruangan yang berisikan hanya segelintir orang. Itupun hanya keluarga Mama Elma. Jadi tidak menganggu berlangsungnya acara ulang tahun Luna, tidak juga mengurangi sedikitpun kemeriahan dan kehangatan acara ulang tahun anak cantik itu. Perlahan para tamu mulai berpamitan untuk pulang. Kini hanya ada para pekerja di rumah keluarga Adinata, anggota inti keluarga Adinata, dan aku, calon anggota inti keluarga Adinata, hehehe. "Tante Audrey ... " panggil Luna sambil berlari ke arahku yang sedang berbincang dengan Kak Livy dan Bang Nathan. Sekarang tidak hanya Gea, Luna juga mulai memanggilku tante. Tentu ini titah tak terbantah dari sang kakak, Gea Liberty Kiswoyo. "Terima kasih untuk hamsternya. Aku happy banget!" Gadis yang baru saja merayakan ulang tahunnya itu sejenak memelukku, setelah itu dengan senyum lebarnya dia berlari ke arah teras belakang rumah demi bertemu kedua hamsternya, Chika dan