Dua bulan sudah Gibran tidak pulang ke rumahnya. Selama Audrey dirawat di rumah sakit, Gibran memang hanya mengenal kantor dan rumah sakit sebagai tempat kesehariannya menghabiskan waktu. Kini Audrey sudah semakin membaik. Perdarahan dan cidera di dalam tubuhnya sudah berangsur sembuh, tangan kirinya sudah bisa berfungsi dengan baik. Bahkan gips di kakinya sudah dilepas, hanya saja kekuatan kakinya masih belum bisa kembali seperti sebelumnya. Dokter orthopedi yang merawatnya berpesan, Audrey harus sering latihan di rumah maupun di fisioterapi yang sudah ditunjuk orang tua Shabina untuk membantu mempercepat pemulihannya. Jika itu semua Audrey kerjakan, kemungkinan hanya butuh dua minggu lagi kekuatan kakinya sudah akan kembali normal. Melihat semua kemajuan yang ditunjukkan Audrey, tentu kelegaan dirasakan oleh semua orang yang menyayangi Audrey, terutama sang kekasih. Hanya saja, masih ada yang mengganjal di hati Gibran. Dia masih belum menemui otak di balik
Genap tiga bulan, Aku di rumah sakit. Sebenarnya sejak tiga minggu lalu, Aku sudah diizinkan pulang, namun Mas Gibran menolaknya. Kekasih tercintaku itu meminta agar aku tetap dirawat sampai kakiku benar-benar bisa kembali berfungsi normal."Akhirnya gue bisa keluar dari asrama ini," ujarku pada Mentari yang baru saja datang bersama Revan, kekasih barunya.Ah ... ternyata oh ternyata, mereka berdua sudah saling mengakui perasaan tepat satu bulan setelah kecelakaanku!Tatapan Revan yang tidak putus-putus padaku selama ulang tahun Luna ternyata bukan karena dia naksir Aku seperti yang dipikirkan Mas Gibran, melainkan dia ingin mendekatiku untuk membantunya mendapatkan hati Mentari."Terima kasih, Revan.""Terima kasih untuk apa?""Terima kasih untuk dua hal. Yang pertama terima kasih sudah menolong gue. Kalau saja saat itu Lo dan Mentari gak ada, pasti sekarang gue hanya tinggal nama.""Lalu yang kedua?""Yang kedua ... terima kasih sudah menutup sesi galau sahabat gue," ujar Audrey ser
Dengan diiringi lantunan irama saxophone yang begitu indah, Mas Gibran berjalan ke arahku. Pria yang saat ini menggunakan kemeja berwarna navy lengan panjang yang dia lipat hingga ke siku itu tampak sangat tampan. Apalagi dengan senyumnya yang terlihat begitu meneduhkan.Rasanya tiba-tiba duniaku berhenti. Hanya ada aku, Mas Gibran, dan tatapan kami yang saling bertaut. "Audrey ... " lirih Mas Gibran. Kemudian dia menggandeng tanganku dan menuntunku ke podium kecil di tengah taman belakang rumahku. Podium yang sangat cantik dengan banyak bunga berwarna pastel."Mas, Kita mau ngapain?" tanyaku gugup. Bagaimana tidak gugup. Kini semua mata tertuju pada kami berdua. "Mas ... " lirihku sambil terus mengikuti langkah Mas Gibran.Tak lama, terdengar alunan biola yang dipadukan saxophone yang begitu indah.Lah? Kenapa sekarang tiba-tiba juga muncul violinis (pemain biola)? Jangan bilang nanti juga tiba-tiba muncul pemain harpa?Seketika muncul cuplikan yang berisi foto-foto candidku di laya
"Yes!" jawabku sambil tersenyum secantik mungkin padanya."Yes?" Mas Gibran mencoba meyakinkan."Yes!" I give you a “Y,” give you an “E,” give you an “S", I give you YES."Seketika senyum terbit di wajah tampan Mas Gibran. Dia segera memasangkan cincin yang begitu indah itu di jari manisku. Kemudian CEO Adinata Group itu mencium keningku cukup lama."Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, My Audrey," ujar Mas Gibran seraya memelukku dengan sangat lembut.Rasanya masih seperti mimpi aku dilamar seorang Gibran Maharsa Adinata di depan orang-orang tersayang kami dengan cara yang begitu manis, ya ... walau ada bagian video memalukan yang dia putar. Tapi tetap saja aku sangat terharu dengan semua yang sudah dia persipakan.Mulai dari kebohongannya yang mengatakan sedang ada pekerjaan di luar kota eh ... ternyata dia sudah menyiapkan semuanya. Kemudian keberadaan pemain saxophone dan biola, dekorasi yang indah, dan seg
Kini sudah 1 bulan aku resmi menjadi tunangan Mas Gibran. Aku juga sudah diperkenalkan di hadapan keluarga besar bahkan kolega bisnisnya sebagai calon istri Gibran Maharsa Adinata. Tak jarang aku menemani CEO Adinata Group itu di acara-acara resmi. Setelah resmi OTW jadi Ny. Boss, ada beberapa hal yang berubah dalam kehidupanku. Salah satunya adalah keberadaan Jay dalam keseharianku.Semenjak kejadian kecelakaanku beberapa bulan lalu, Mas Gibran memang tidak mengizinkan aku kembali mengendarai sepeda motor. Dia menugaskan Jay untuk mengantar dan menjemputku kemanapun dan kapanpun jika Mas Gibran tidak sedang bersamaku.Awalnya aku menolak, aku rasa aku bisa menggunakan taxi online jika memang tidak lagi diizinkan mengendari sepeda motor, namun Mas Gibran tetap bersikeras menugaskan Jay untuk menemaniku menjalani aktivitas. Kalau hanya mengantarku ke tempat tujuan sih aku tidak keberatan, ini masalahnya Jay ditugaskan juga menemaniku selama di tempat tujuan. Seperti halnya hari ini d
Sesaat setelah Mas Gibran mengakhiri panggilan telepon dari Clara, dia memintaku untuk segera merapikan diri. "Rapakan dirimu. Setelah ini Kita makan siang, kemudian Kamu ikut Aku menemui Clara." What? Kenapa aku harus menemui mantan kekasih Mas Gibran itu. "Apa dia sedang sakit?" tanyaku hati-hati. Mas Gibran hanya tersenyum seraya mengusap puncak kepalaku. Dia kemudian membantuku merapikan diri. Mulai dari memakaikan kembali penutup dadaku, menggunakan kembali kemejaku, bahkan sampai membantuku merapikan rambutku. "Tidak usah, Mas. Aku bisa sendiri." "Gak apa, sesekali biar Aku yang menyisir rambut calon istriku." Ehem, calon istri? Haduh ... adem banget hati ini mendengar kata calon istri dari calon imamku, hehehe. Tak lama, kami sudah berada di meja makan ruang kerja Mas Gibran. Menikmati nasi padang kesukaanku yang sudah disediakan Diana. "Audrey ... " "Ya ... " "Duduk sini!" titah Mas Gibran sambil menepuk paha kirinya. Dih, mau ngapain sih? 'Kan Kita mau makan siang.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Walau rasanya hati ini tiba-tiba remuk mendengar kata 'anak kita, darah daging kita' keluar berkali-kali dari mulut Clara. Mas Gibran yang berhasil mengurai pelukan Clara tampaknya paham apa yang aku rasakan. Dia segera menggenggam tanganku dengan lembut seraya menatap kedua benih mataku, seakan mengatakan bahwa dia akan menjelaskan semuanya nanti. "Gibran, mengapa Kau terus saja menolak pelukanku?" gerutu Clara. "Clara, Aku mohon jangan seperti ini," timpal Mas Gibran yang masih terus menggenggam tanganku. "Kenapa? Karena Dia?" Clara mengarahkan telunjuknya ke wajahku. "Clara!" tegur Mas Gibran seraya menatap tajam ke arah Clara. "Bersikaplah baik pada Audrey! Dia calon istriku!" WAHAHAHAHA. Tawa Clara tiba-tiba menggelegar. "OK! Aku harus bersikap baik yang seperti bagaimana kepada CALON ISTRIMU?" Dengusan nafas dihembuskan secara kasar oleh Mas Gibran. "Clara, Aku sudah peringatkan berkali-kali padamu. Berdamailah dengan keberad
"Audrey, Kamu sudah bangun?" terdengar suara Mas Gibran yang tampak khawatir. Kini aku sedang berbaring di salah satu bed IGD rumah sakit milik keluarga Shabina.Sesaat setelah kejadian jambakan maut Clara, mendadak kepalaku terasa sangat nyeri. Dan tiba-tiba saja Aku kehilangan kesadaranku. Mas Gibranpun segera membawaku ke Rumah Sakit milik keluarga Shabina.Bagaimanapun aku baru saja pulih dari koma yang aku alamai beberapa bulan lalu. Wajar Mas Gibran begitu khawatir dengan kondisiku."Jambakannya pasti sangat kuat. Buktinya kulit kepalanya sampai luka seperti ini," ujar dokter jaga IGD yang menanganiku. "Bagaimanapun pasien baru saja mengalami koma beberapa bulan lalu. Diharapkan pasien tidak mengalami kelelahan secara fisik dan psikis. Saya sudah menghubungi tim dokter yang memang khusus menangani pasien selama koma beberapa bulan lalu."Lima belas menit lagi rencananya dokter Rio, cemceman Shabina sekaligus dokter bedah saraf yang menanganiku akan datang bersama timnya untuk me