Aku membenarkan posisi dudukku. Melemparkan pandangan kemanapun selain ke mata Ben.“Ben, kamu sadar nggak sih lagi ngomongin siapa? Sepupu kamu loh itu. Yang mana kamu tahu persis dia punya tunangan. Sejak jauh sebelum dia kenal aku. Kalaupun ada yang Gugi menangin, it’s her. Not me.” Aku meneguk hampir setengah gelas kopi yang lumayan pahit itu. Lebih pahit lagi karena sambil ngebahas Gugi, bersama Ben. “Aku tahu Gugi masih gangguin kamu, dan dia berhasil bikin kamu makin susah buat berhenti mikirin dia,” tebaknya benar. Benar banget.“Ben, aku jelasin ya. Apapun hubungan yang pernah terjalin antara aku sama dia, itu nggak lebih dari komunikasi yang super nyaman sampai kebawa perasaan. Kita nggak punya status apapun. Komunikasi pun dia yang putusin karena sadar kalau itu bisa ngerusak hubungan dia sama tunangannya. Sampai situ Ben ngerti?” Dia mengangguk. Menatapku fokus. “Nah sekarang, kalau pun masih ada komunikasi terjalin antara aku sama tunangan orang itu, aku pribadi nyebut
Mendengar kalimat Ben barusan, walaupun sempat terkesiap, aku reflek menepak bahu kirinya yang dia balas dengan kekehan. Ngelunjak ni anak. Setelah makan malam, dia mengantarku kembali ke hotel. Aku nggak nanya dia bakal balik kapan atau mau tidur dimana. Belajar untuk nggak terlalu mau tahu banyak, semoga bisa ngurangin resiko dikecewain lagi pas udah nyaman-nyamannya. Mari berdoa. “Dari mana aja kamu?” Mas Rumi yang entah udah sejak kapan berada di kamarku, menodong dengan pertanyaan orang tuanya. “Ngopi. Makan.” “Sama siapa?” “Orang?” “Oh ayolah Nat!” “Ya lagian ngapain nanya sih kalau kamu udah tahu jawabannya apa?” “Kok dia bisa nyampe sini?” “Pesawat Mas.” Ucapku seadanya, yang kemudian kena jewer. Jadi aku nggak punya pilihan selain ceritain semuanya. Eh nggak deh. Secukupnya. Mereka mendengarku dengan ekspresif. Mas Ru dan Mbak Nana. Bingung juga kok rasanya masalah pribadiku sekarang udah jadi konsumsi tim gini. “Gue sih tim Ben ya di kasus ini.” Seru wanita yang n
“Ngapain sih Ben?” Bisikku pada Ben yang lagi-lagi nyengir. Dia doyan nyengir kalau ngerasa menang.“Nggak ngapa-ngapain. Pengen duduk sama kamu aja,” jawabnya padat sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Lalu menatapku.“Eh, berisik lu berdua!” Tegur Mas Ru dari samping tanpa mau repot ngebuka mata. Nggak tahu dia beneran tidur apa nggak dari tadi. “Hai Ru.” Sapa Ben mencondongkan tubuhnya untuk mengintip pria darah tinggi di kiriku. “Hai Ben. Bisa duduk tenang nggak lu tanpa gombalin temen gue?” tanya Mas Ru masih sambil merem.“Nggak bisa. Tapi gue coba ya,” tawaku hampir meledak mendengar jawaban Ben yang kurang ajar.“Oke. Thank you ya,” ucap Rumi pasrah. “You’re welcome, man.” Responnya sambil mengangguk paham, lalu menatapku. “Tuh denger Nat. Gombalnya nanti ya. Sabar,” sambungnya sambil mengelus ubun-ubunku. Emang cuma Ben kayaknya sejauh ini yang bisa buat aku kehabisan kata-kata, saat pria lain doyan banget mancing dan ladenin semua debat-debat juga nyolot-nyolotku.
Aku melihat keluarga itu reunian. Saling peluk. Aku dan Ben mundur selangkah memberi ruang untuk mereka.“Hay Ben. Loh Mbak Nata? Kok kalian bareng? Kenal?” Tanya wanita yang sedang rangkulan dengan Tante Sarah tadi. Mamanya Gugi ternyata.“Hey Tar. Loh kamu kenal Nata?”“Kenal dong. Pernah ketemu. Yakan Mbak?”Aku cuma tersenyum sambil mengangkat tangan kananku. Menyapa gadis mungil di sisi Gugi itu.“Hey, man.” Ben menyapa sepupunya itu tanpa maju sedikitpun.“Ben,” sambut Gugi menatap Ben, lalu menatapku, sebelum menatap pinggangku yang tengah dirangkul erat oleh Ben.Aku merasa seketika udara di sekitar kami nggak ada oksigennya. Karbondioksida semua.“Yaudah kalau gitu kita berdua pamit duluan ya Tant, Om. Aku harus nganter Jenata dulu soalnya.”“Loh naik apa? Nggak mau bareng aja? Cukup kok mobil Gugi. Cukupkan nak?” Gugi nggak bersuara. Hanya mengangguk.“Ben ada nyimpen mobil kok Tant di parkiran. Aman.”“Oh gitu. Yaudah kamu hati-hati nyetirnya. Jangan sampai anak orang kenapa
Kubaca chat Gugi yang berbaris-baris itu. Dengan tatapan nanar, mengingat gambaran di bandara tadi. Bagaimana dia dan gadis itu genggaman ketika datang, bagaimana hubungan mamanya dan tunangannya begitu dekat, dan pernikahan mereka yang sebentar lagi. Tanganku tremor dikit.Kututup pesan Gugi lalu mengabari orang tuaku. Setelahnya, kuhela nafasku sekali lagi. Yang panjang. Mengeluarkan semua kesal juga pening yang muncul. Aku mengambil obat sakit kepala yang selalu standby di atas kulkas. Kuminum satu, berharap itu menolong.Tapi hpku kembali bergetar. Panggilan masuk. Nama Gugi di sana.Aku sempat berdebat dengan kepalaku sendiri. Perihal harus apa tidak perlu telepon itu kuangkat. Tapi ini Gugi. Manusia yang ngototnya selalu berlebihan. Kuputuskan untuk mengangkat teleponnya. Kenapa harus takut lagian? Nggak ada yang perlu aku takutin dari ngobrol sama pria itu.“Ya?” Angkatku dengan suara yang lemas. Bukan dibuat-buat ya. Emang lagi lemes.“Bukain pintu Nat,” titahnya. Ternya dia s
Dari semua benda tajam yang pernah melukaiku, kurasa tatapan Gugi salah satu yang paling menyakitkan. Melihatnya menatapku seperti sekarang, aku bisa melihat jutaan emosi dan kecewa di sana. Sedang yang bisa kulakukan hanyalah menambah kekesalannya. Tidak mengurangi. Tidak pula menenangkan.“Nat,”“Hm?”Aku memperhatikan tiap geriknya saat mencoba meraih tangan kananku untuk kemudian dia genggam. “Kasih aku waktu ya,” bisiknya lirih nyaris nggak terdengar.“Gi, ini nggak sesulit itu kok. Kita pernah lakuin ini sebelumya kan? Saling menjauh untuk ngehindarin apapun yang bisa merusak. Dan berhasil. Kita cuma perlu ngelakuin itu sekali lagi.”“Ini yang kamu bilang berhasil?” tanyanya mengangkat tanganku yang entah sejak kapan sudah membalas genggamannya.“Ini namanya sisa-sisa ego Gi. Bakal habis nggak bersisa. Cuma masalah waktu.”Gugi melepaskan tanganku. Sedikit dengan kekuatan hingga terasa dilempar. Aku cuma bisa tersenyum kecut. Ada kecewa saat itu terjadi.“Aku pikir perasaan kamu
Aku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu?Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak.Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci.Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk.“JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!”Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah.“Utang lu banyak ya ke gue!” sempr
Mencoba menyembunyikan panikku, aku berdehem dengan susah payah, lalu tertawa. Sungguh sebuah tawa yang juga susah.“Hm? Kok bisa? Haha,” nggak tau harus tersinggung atau gimana.“Waktu aku awal-awal hamil dia nih, aura aku kaya kamu persis. Kelihatan capek banget, kaya kurang tidur. Bawaannya lemes.”“Oh hahahhha. This, is what work did to me Mbak,” ucapku menjelaskan sambil menujuk wajahku sendiri.Kami sempat ngobrol beberapa saat, sebelum Mbak-Mbak itu meminta maaf sekali lagi pada akhirnya. Mungkin dia bisa melihat kepanikan dari wajahku. Ia kemudian berlalu. Pamit untuk mencari suaminya.Aku melanjutkan kegiatan ini hingga rampung dan bersiap pulang. Vipa mengantarku sampai di unit. Memastikanku sampai di tempat tujuan dengan aman.Ku bereskan semua belanjaan. Menempatkannya di tempat yang seharusnya. Setelah semua rapi, entah kenapa, kalimat di supermarket tadi terlintas kembali di kepalaku.Gimana mungkin seseorang mengira aku sedang hamil. Kuraba perutku yang rata. Cepat-cepa
NATA’S POVMataku mondar mandir ngecek barang-barang yang ada di list dan yang ada di hadapanku. Kok banyak banget? Masa iya dua koper gede sama satu koper cabin nggak cukup? Perasaan bajuku nggak sebanyak itu deh. Perlengkapan bayi yang kubawa juga nggak banyak. Hanya beberapa yang sudah kupastikan akan susah kudapat di NZ. Tapi kok nggak masuk semua?Kamu tahu apa? packing bukan keahlianku. Aku nggak bakat soal beginian.Nggak bisa. Oleh karena itu, aku butuh bantuan.Kugapai Hpku, mencari satu nama di sana, dan langsung men-dial-nya tanpa ba bi bu.“Halo?” See? Orangnya langsung ngejawab. Nggak sia-sia kan dia langsung terlintas di benakku.“Sibuk nggak lu?”“Banget,”“Vip, gue serius.”“Nat, apapun itu, agak sorean bisa nggak? Ini minggu, coy. Gue menolak bangun dan nyamperin lu sepagi ini,”“Bantuin gue ngelipet baju doang Vip. Ini koper gue kepenuhan, tapi barang gue masih banyak yang belom masuk,”“Lu umur berapa sih Nat? Masa packing doang nyusahin orang?”“Emang lu orang? Kema
GUGI’S POVJika ada satu hal saja yang ingin kuhindari, itu adalah senyuman Jenata yang bukan milikku. Bagaimana mungkin dia bisa begitu lepasnya tertawa di atas penderitaanku? Sebutlah aku egois karena aku hanya ingin dia bahagia jika menjadi pasanganku. Tapi apa yang salah dari itu?“Pacar Gugi cantik ya Bang? Mama suka deh,” ucap Mama yang nggak menegerti apa-apa itu. Dan kalian tahu apa? Untuk pertanyaan itu saja aku harus setuju.“Semoga Ben kali ini langgeng deh sama Nata,” sambungnya sekali lagi. Berhasil memancing emosiku.“Bisa nggak Mama stop bahas Ben Ben Ben Ben terus?” tanpa sadar, kecepatan mobilku bertambah. Nafasku memburu. Seperti ada sesuatu yang ingin meledak keluar dari balik rusukku. Kakiku reflek menginjak pedal gas itu semakin dalam.“ASTAGFIRULLAH BANG KOK LAJU BANGET BANG? PELAN-PELAN NAK. HEY! GUGI KAMU KENAPA NAK?”“I L0VE HER FIRST, MA! GUGI YANG PERTAMA SAYANG SAMA NATA! GUGI YANG PERTAMA CINTA! KENAPA DIA HARUS SAMA BEN BUKAN GUGI?!” sekali lagi pedal gas
Usai melepaskan Ben, kini aku harus melepaskan satu lagi hal yang cukup kucintai demi kewarasanku.“Apa nih Nat?” tanya Pak Bari menerima selembaran yang baru saja kuserahkan.“Saya resign pak,”“Kurang gaji kamu?”“Iya Pak, sama emang saya mau pindah,” jawabku jujur yang entah kenapa nggak bisa dia percaya sedikitpun. Nggak tahu bagian mana yang dia pikir bohong dari kalimatku tadi. Semuanya jujur.“Jangan ngelucu deh Nat. Saya lagi mumet,”“Serius Pak,”Pak Bari menatapku dengan dahinya yang terkerut tiba-tiba. Bekerja di perusahaannya bertahun-tahun memang membuat hubungan kami cukup dekat. Tapi dia selalu tahu kapan aku bercanda atau serius. Kali ini salah satunya.“Kamu kenapa? Burnout? Ajuin cuti. Bukan surat resign gini,”“I’ll be moving abroad this couple days, Pak,”“Kemana?”“New Zealand,”“For what?”“A new life with my baby?”Pak Bari lagi-lagi terdiam. Ekspresi kagetnya terpancar banget. Aku bisa saja nggak memberitahunya tentang ini. Tapi untuk apa? Dunia harus tahu aku
Kepalaku penuh. Dari banyaknya wanita di dunia ini, kenapa harus aku yang berada di antara Gugi dan istrinya? Pertanyaan itu terus muncul setelah Mas Rumi dan Vipa balik.Mendengar Gugi hampir kabur dari venue akad nikahnya pagi tadi setelah tahu Vipa membawaku ke IGD, terlalu membawa banyak dan beragam perasaan ke hatiku. Dan semuanya nggak baik. Syukurnya Mas Rumi dan beberapa orang berhasil nahan dia.Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang ngebuat aku ngerasa perlu bertindak. Aku rasa, aku, kamu, kita berdua tahu betapa nekatnya Gugi. Aku nggak tahu perihal besok, tapi aku tahu betul bagaimana perasaanku. Aku goyah. Masih goyah.Oleh karena itu, hari ini aku udah janjian brunch dengan Ben. Di salah satu bakery baru dekat kantorku. Dia dateng persis saat pesananku, Puits d'Amour, baru aja dianterin. Sedangkan untuk dia, udah aku pesenin cheesecake kesukaannya. Tourteau Fromager.“Bonjour, Madame,” sapanya hangat mengelus kepalaku. Penuh senyuman.“Bonjour, Monsieur,” balasku.“Gimana t
“MAS RUMI!” pekikku lepas kontrol ketika mendapati sosok yang datang justru bukan yang kukhawatirkan.Nggak langsung menjawab atau menyapaku, yang dia lakukan justru maju dan memeriksa kepala hingga jari kakiku. “Kamu kenapa Jenata? Hah?”“Apanya?”“Ada yang sakit?” tanyanya lagi.Aku hanya menggeleng. Bingung. Aku mempersilahkannya masuk dan bergabung denganku juga Vipa di ruang TV.Seperti dua Babu yang lagi kena semprot Majikannya, aku dan Vipa duduk di sofa dan nunduk diem seribu bahasa. Entah yang kami takutin apa. Sementara Mas Rumi berdiri tegak di depan kami, melipat kedua lengannya di dada. Menatap seperti elang. Tajem seperti cutter Gramedia.“Vipa? Nata kenapa?” Mas Rumi pinter. Dia menyerang Vipa terlebih dahulu.“No komen dulu ya Mas. Tanya langsung ke anaknya aja. Punten banget ini mah,” elak Vipa yang nggak membantu posisiku sama sekali.“Nat?”“Nggak ada apa-apa Mas,”“Mau sampai kapan kalian bohongin Mas? Mau sampe malam? Oke, Mas bisa banget nih berdiri kaya gini sam
[ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad
Kalian pernah nggak sih suka tiba-tiba sibuk sama pikiran sendiri? Ngobrol sama diri sendiri? Aku sering. Seperti sekarang, saat pikiranku lagi penuh-penuhnya, lagi berisik-berisiknya.Udah banyak loh penelitian soal itu. Gimana ngobrol dengan diri sendiri, atau self talk itu bisa begitu berperan penting dengan kesehatan mental kita. Tentu saja tergantung dari yang kita obrolin itu apa. Positif kah, negatif kah.Dari banyaknya hal menyakitkan yang beterbangan di isi kepalaku belakangan, selama hamil, aku nyoba buat memilah-milah mana dan siapa yang perlu dan nggak perlu dipikirin.Dan ternyata sulit.Gugi selalu berhasil ngedobrak semua tembok pertahanan yang kubuat. Meski kini tembok itu berupa manusia sebaik Ben.Setelah kubalas chatnya malem itu dan ngeblok nomornya for good, kucoba ngejalanin hari-hariku sebagai wanita hamil tanpa suami dengan sangat percaya diri.Tapi entah kenapa, ada aja titik dimana aku tiba-tiba ngebutuhin Gugi brengsek itu. Dalam wujud apapun. Kehadirannya k
“Oh,” ucapku ngembaliin HP milik Mas Rumi sambil berbalik, ngatur nafas, berjalan kembali ke kursiku. “Kirain apaan.”“Kamu tahu?”“Tahu,” ucapku bersandar pada kursi kerjaku yang empuk. Menjawab setenang mungkin.Mas Rumi menatapku. Tanpa berkedip. Aku tahu dia kahawatir. Lebih dari itu, entah apa lagi yang dia pikirin.“Oh Im good, kok Mas. Mamanya bahkan ngundang aku buat hadir,” jelasku sekali lagi. Agar temenku itu makin percaya bahwa aku sungguh baik-baik aja dengan kabar pernikahan Gugi. Cepat atau lambat, toh itu bakal terjadi. Kita semua tahu itu. Kan?“Kamu ketemu Mamanya?”“Uhum,”“Kapan?”“Di bandara, pas kita baru balik dari Singapura kemarin,”“Waktu sama Ben?” kuangguki. “Jadi kamu mau hadirin acara itu?” tanya Mas Rumi sekali lagi.Yang ini hanya kurespon dengan mengangkat kedua bahuku. Karena aku beneran masih belum tahu harus hadir apa nggak. Kuat hadir atau nggak.“Makan siang yuk Mas,” ajakku.Sebenarnya, adalah ketololan kalau aku benar-benar menghadiri pernikahan
Ben sekali lagi menghabiskan seminggunya menemaniku di Yogyakarta. Nggak hanya Mamah Papah, dia juga ikut serta mendampingiku konsul kembali ke Dokter Lendro sebelum kami balik ke Jakarta berdua.Nggak mau kalah denganku, dia bahkan lebih fokus dan memperhatikan penjelasan Dokter kandungan itu dengan teliti. Mencatat semua suplemen dan segala hal yang baik untuk menunjang kesehatanku janinku dan aku. Kami juga berkesempatan ngobrol dengan salah satu bidan senior yang direkomendasiin Dokter Lendro untuk bertanya-tanya hal-hal yang mungkin saja lebih enak jika ku obralkan ke sesama perempuan.Selain itu, Mamah Papah juga ngajak ngajak kami ngelakuin kegiatan-kegiatan ringan yang bisa menghiburku juga Ben. Entah kenapa mereka berpikir Ben juga butuh dihibur. Tapi setelah kupikir-pikir, emang benar. Disini, sekarang, nggak hanya aku yang punya beban. Mereka bertiga juga memiliki beban pikiran yang nggak kutahu serumit apa hanya karena masalah-masalahku ini.Perasaan bersalah yang kerap mu