Ini kisah Nata. Jenata Soebandono. Wanita matang 29 tahun yang belum juga menikah karena sibuk dengan segala goalsnya. Bukan tidak mencari. Hanya saja, sejauh ini dia merasa belum dipertemukan dengan pria yang mau memahaminya dengan baik. Sampai pada di satu kesempatan random, seorang sahabat mencomblanginya dengan seseorang yang sudah ia jamin baik dan tampan. Arkugi Darmawan. Merasa nothing to lose, Nata setuju-tidak setuju mengiyakan ide random di sela-sela jam kantor itu. Dan Komunikasi pun terjalin. Dengan sangat dewasa. Seiring berjalannya waktu, perasaan, dan hal-hal lain yang tidak bisa ditebak, justru hubungan itu malah membawanya bertemu dengan pria lain yang tidak kalah merepotkan perasaannya. Kini, berada di antara dua pria yang sama besar ngototnya, Nata sukses jadi bulan-bulanan pikirannya sendiri. Memilih satu di antara dua tidak pernah sesulit ini, terlebih ketika ternyata kedua pria itu punya hubungan darah. Seperti dibantu keadaan, satu insiden manis pun terjadi. Membawa Nata tidak hanya yakin pada hatinya tapi juga pada keputusan-keputusan krusial yang akhirnya harus dia ambil. Tentu bukan hanya untuk kebaikannya sendiri, tapi juga kebaikan pria yang ia cintai, juga demi kebaikan calon buah hati. Nata hanya tidak menyangka, kalau keputusan-keputusan berat itu mengantarnya pada kehidupan yang tidak pernah dia sangka sebelumnya.
Lihat lebih banyakAku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu? Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak. Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci. Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk. “JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!” Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah. “Utang lu banyak ke gue!” s
Dari semua benda tajam yang pernah melukaiku, kurasa tatapan Gugi salah satu yang paling menyakitkan. Melihatnya menatapku seperti sekarang, aku bisa melihat jutaan emosi dan kecewa di sana. Sedang yang bisa kulakukan hanyalah menambah kekesalannya. Tidak mengurangi. Tidak pula menenangkan. “Nat,” “Hm?” Aku memperhatikan tiap geriknya saat mencoba meraih tangan kananku untuk kemudian dia genggam. “Kasih aku waktu ya,” bisiknya lirih nyaris nggak terdengar. “Gi, ini nggak sesulit itu kok. Kita pernah lakuin ini sebelumyakan? Saling menjauh untuk ngehindarin apapun yang bisa merusak. Dan berhasil. Kita cuma perlu ngelakuin itu sekali lagi.” “Ini yang kamu bilang berhasil?” tanyanya mengangkat tanganku yang entah sejak kapan sudah membalas genggamannya. “Ini namanya sisa-sisa ego Gi. Bakal habis nggak bersisa. Cuma masalah waktu.” Gugi melepaskan tanganku. Sedikit dengan kekuatan hingga terasa dilempar. Aku cuma bisa tersenyum kecut. Ada kecewa saat itu terjadi. “Aku pikir perasaa
Aku melihat keluarga itu reunian. Saling peluk. Aku dan Ben mundur selangkah memberi ruang untuk mereka. “Hay Ben. Loh Mbak Nata? Kok kalian bareng? Kenal?” Tanya wanita yang sedang rangkulan dengan Tante Sarah tadi. Mamanya Gugi ternyata. “Hey Tar. Loh kamu kenal Nata?” “Kenal dong. Pernah ketemu. Yakan Mbak?” Aku cuma tersenyum sambil mengangkat tangan kananku. Melambai kecil pada gadis itu. “Hey, man.” Ben menyapa sepupunya itu tanpa maju sedikitpun. “Ben,” sambut Gugi menatap Ben, lalu menatapku, sebelum menatap pinggangku yang tengah dirangkul erat oleh Ben. Aku merasa seketika udara di sekitar kami nggak ada oksigennya. Karbondioksida semua. “Yaudah kalau gitu kita berdua pamit duluan ya Tant, Om. Aku harus nganter Jenata dulu soalnya.” “Loh naik apa? Nggak mau bareng aja? Cukup kok mobil Gugi. Cukupkan nak?” Gugi nggak menjawab. Hanya mengangguk. “Ben ada nyimpen mobil kok Tant di parkiran. Aman.” “Oh gitu. Yaudah kamu hati-hati nyetirnya. Jangan sampai anak orang ken
Mendengar kalimat Ben barusan, walaupun sempat terkesiap, aku reflek menepak bahu kirinya yang dia balas dengan kekehan. Ngelunjak ni anak. Setelah makan malam, dia mengantarku kembali ke hotel. Aku nggak nanya dia bakal balik kapan atau mau tidur dimana. Belajar untuk nggak terlalu mau tahu banyak, semoga bisa ngurangin resiko dikecewain lagi pas udah nyaman-nyamannya. Mari berdoa. “Dari mana aja kamu?” Mas Rumi yang entah udah sejak kapan berada di kamarku, menodong dengan pertanyaan orang tuanya. “Ngopi. Makan.” “Sama siapa?” “Orang?” “Oh ayolah Nat!” “Ya lagian ngapain nanya sih kalau kamu udah tahu jawabannya apa?” “Kok dia bisa nyampe sini?” “Pesawat Mas.” Ucapku seadanya, yang kemudian kena jewer. Jadi aku nggak punya pilihan selain ceritain semuanya. Eh nggak deh. Secukupnya. Mereka mendengarku dengan ekspresif. Mas Ru dan Mbak Nana. Bingung juga kok rasanya masalah pribadiku sekarang udah jadi konsumsi kantor gini. “Gue sih tim Ben ya di kasus ini.” Seru wanita yang
Lima menit. Sudah lima menit kami menelusuri jalanan kecil di sekitar hotel. Mencari tempat ngobrol tanpa khawatir dikupingin teman kerjaku. Nggak jauh dari sini, seingatku ada mall. Mari berdoa ingatanku nggak salah. Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya ngobrol seadanya. Sesekali saling menangkap basah karena menatap diam-diam. Aku masih nggak habis pikir pria ini berhasil menemukanku. Setelah berjalan sekitar kurang lebih lima belas menit, kami sampai di mall itu. Kalian tahu apa? ITU LIMA BELAS MENIT TERLAMA. Syukurnya mallnya beneran ada disitu. Padahal cuma modal ingatanku yang, yaelah. Percaya dirinya tinggi banget pula nggak ngecek maps. Kami memasuki salah satu Coffee Shop. Memesan dua gelas minuman. Aku ice coffee latte, sedang Ben memilih milkshake. Strawberry. Kalian tahu gimana ekspresiku ketika dia mesan itu? Gemmmmmmmes. Pernah nggak kalian lihat Mas-Mas minum milkshake strawberry? Sebelum duduk, dia menarikkan satu kursi untukku. Kami memilih outdoor. Di dalam pen
Yang dikatakan Mas Rumi seperti angin segar di kupingku. Sejuk, sampai kesadaranku kembali. Aku diusahan oleh seseorang yang memiliki tunangan. Kenyataan manis yang kupikir nggak diinginkan wanita manapun. Seketika bayangan Gugi tersedu-sedu di depan pintuku menjadi bayangan yang menyeramkan. Fakta bahwa pemandangan itu membangkitkan kembali satu rasa di hatiku yang sudah mati-matian kukubur, membuatku takut. Takut aku terlalu lemah, lalu kalah, lalu membiarkan perasaan mengendalikan pilihanku, lalu merusak sesuatu yang sudah utuh, lalu apa? Bukannya kita semua sepakat, merusak kebahagiaan perempuan lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan? Tapi seperti yang biasa kehidupan lakukan pada kita semua, apapun keputusan yang kita pilih akan sesuatu, kepala kita bakal ditimpukin semua logika-logika setan untuk menggoyahkan. Kali ini contohnya adalah, kenapa harus menjauh? Bukankah Gugi yang memilih untuk mendekatiku lebih dulu? Bukankah Gugi yang begitu menginginkanku hingga menar
Aku pernah nggak sih cerita ke kalian soal gimana aku cinta sama kerjaan yang sedang kugeluti sekarang? Belom? Yaudah baca ya.Seperti yang udah kalian tahu, aku lulusan Fakultas Kedokteran dari salah satu universitas swasta di Jakarta. S.Ked ku berhasil kusandang setelah kuliah empat tahun penuh. Nilaiku bagus walaupun nggak Cumlaude. Si Oswasa dan Shimar istrinya juga cukup bangga sama pencapaianku saat itu. Termasuk si Gestara Soebandono. Masku satu-satunya.So, long story short, aku mutusin buat nggak ngelanjutin ke program profesi. Kenapa? Kan rugi banget. Kan ini. Kan itu. Aku tahu. Tapi demi kewarasanku, kita cukupin aja di S.Ked itu. Gimana respon orang tuaku yang udah ngeluarin duit banyak? Marahkah? Proteskah? Oh jelas. Tapi kujanjiin kalau anaknya nggak bakal nganggur lama.Eh malah beneran kejadian. Karena keseringan bergaul dengan temen-temenku yang kebetulan bergelut di bidang kreatif, aku akhirnya dikenalin sama satu bidang yang namanya Post Production Coordinator. Dita
Mas Rumi mendahuluiku. Dia melarangku berdiri. Menyuruhku tetap duduk di kursi. Sedang Gugi menatapnya serius. “Masih berani lu nyari Nata? Kurang ungu pipi lu kemarin?” Ucap Mas Rumi mendekati Gugi. “Ru, gue nyari Nata. Bukan lu.” “Nggak gue ngizinin. Lu kalau mau bikin stres cewek, cari yang lain. Jangan temen gue!” Aku yang nggak tahan mendengar keributan mereka di tengah teman kerjaku yang lain, mencoba melerai. “Kamu duduk,” titahku menunjuk Mas Rumi, “kamu, pulang!” lalu menunjuk Gugi. “Oke, sama kamu. Ayo.” Ucapnya menarik pergelangan tanganku. Usahanya dihentikan Mas Rumi yang langsung melepaskan genggaman Gugi dengan menepaknya keras. Dan berhasil. “Udah gue bilang, gue nggak ngasih izin! Lu yang ikut gue sekarang!” Selanjutnya, mereka berdua meninggalkan ruangan. Entah kemana. Entah bahas apa. * [ Rumi’s POV ] “Percaya omongan gue, lu nggak bakal mau lihat gue naik pitam Gi!” Ucapku ngasih peringatan ke orang yang baruku kenal setahun belakangan itu. Orang yang d
Aku menarik nafas yang dalam sebelum membuangnya dihadapan kedua mata Ben. “Ben, aku segitu bodohnya ya di mata kamu?” “Nata, please ngomong pakai hati kamu. Jangan pakai emosi.” “Hati? Jadi kamu pikir kamu cukup tahu hati aku seperti apa?” Dia mencoba menjangkau tanganku. Kutepis. Sambil melihat ke sekeliling. Takut gerakan kami berdua terlalu mencolok dan menarik perhatian orang-orang. Lagi. “Nata, aku tahu kita bisa ngobrol dengan tenang. Nggak pakai emosi.” “Kamu yang bisa. Aku nggak. Ben, apapun itu, tolong nggak sekarang.” Aku memohon. Menatap matanya lebih dari lima detikpun aku belum mampu. Apa lagi dibujuk-bujuk. Nggak bisa. “Apa yang nggak sekarang?” “Ini. Apapun ini. Jangan sekarang.” “Nggak. Ini harus sekarang.” Ngototnya. “Ben, kayaknya tenaga dan mental aku belom pulih deh dari semua kegilaan kamu kemaren. Kamu tahu nggak rasanya kayak apa? Kaya naik Roller Coaster. Terlalu cepat sampai aku mual.” “Aku tahu, makanya aku di sini. Untuk minta maaf, untuk jelasin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.