Ini kisah Nata. Jenata Soebandono. Wanita matang 29 tahun yang belum juga menikah karena sibuk dengan segala goalsnya. Bukan tidak mencari. Hanya saja, sejauh ini dia merasa belum dipertemukan dengan pria yang mau memahaminya dengan baik. Sampai pada di satu kesempatan random, seorang sahabat mencomblanginya dengan seseorang yang sudah ia jamin baik dan tampan. Arkugi Darmawan. Merasa nothing to lose, Nata setuju-tidak setuju mengiyakan ide random di sela-sela jam kantor itu. Dan Komunikasi pun terjalin. Dengan sangat dewasa. Seiring berjalannya waktu, perasaan, dan hal-hal lain yang tidak bisa ditebak, justru hubungan itu malah membawanya bertemu dengan pria lain yang tidak kalah merepotkan perasaannya. Kini, berada di antara dua pria yang sama besar ngototnya, Nata sukses jadi bulan-bulanan pikirannya sendiri. Memilih satu di antara dua tidak pernah sesulit ini, terlebih ketika ternyata kedua pria itu punya hubungan darah. Seperti dibantu keadaan, satu insiden manis pun terjadi. Membawa Nata tidak hanya yakin pada hatinya tapi juga pada keputusan-keputusan krusial yang akhirnya harus dia ambil. Tentu bukan hanya untuk kebaikannya sendiri, tapi juga kebaikan pria yang ia cintai, juga demi kebaikan calon buah hati. Nata hanya tidak menyangka, kalau keputusan-keputusan berat itu mengantarnya pada kehidupan yang tidak pernah dia sangka sebelumnya.
View MoreJadi tadi pagi kamu tiba-tiba chat. Bilang kalau semalem kamu mikirin soal hubungan kita dan bakal telepon aku jam sembilan malam.
Aku iyain dan kutahu kamu deg-degan.Baca pesan dua baris itu doang aku udah bisa tahu kamu mau bilang apa. Tapi biarlah kamu yang jujur. Bukan tugasku untuk mematahkan hati sendirikan?
Dari pagi, dari setelah bales chat-mu itu, seharian aku nggak fokus kerja. Di kantor aku cuma pencet mouse sana-sini entah mau buka folder yang mana, software yang mana.
Akhirnya daripada iMac kantor yang mahal itu rusak karena jariku yang gelisah, aku memutuskan buat ngopi, dengan alasan mau ketemu klien ke orang kantor. Syukurnya di-Acc.
Jalanan Jakarta juga udah nggak terlalu rame. Mungkin karena orang-orang udah duduk manis di kantornya, nggak kaya aku yang kelayapan.
Selama nyetir, yang aku pikirin cuma kamu.
Nggak kaya biasanya.Tapi kali ini kamu.Dari awal kenal kamu, sampai tadi pagi, sampai chat-mu itu.Flashback sambil nyetir itu menyenangkan ternyata. Coba deh sesekali. Aku mau kamu merasakan hal-hal menyenangkan yang pernah kubuktikan sendiri.Aku masih ingat betul kita kenal dari kekurangajaran Mas Rumi yang dengan nggak sopannya ngasih ID LINE aku ke kamu. Mas Rumi ini mejanya dekat sama meja aku. Sebagai karyawan biasa yang kerja di satu ruangan ber-cubicle, notif apapun di HP temen itu gampang kedengeran.
Nah, hpnya Mas Rumi, saat itu bunyi terus.Aku tanyalah dia yang juga sudah bermenit-menit senyum mulu padahal belum gajian.
"Senyumin apa sih? Berisik banget."
"Mana ada senyum yang brisik."
"Notif kamu tuh. Dari cewek yang mana lagi?" Tanyaku. Mas Rumi buru-buru membenarkan posisi duduknya yang semula nyender di meja.
"Kamu jomblo nggak dek?" Sebuah pertanyaan yang kecut.
"Sorry udah nikah," Ucapku menaikkan tangan kiri. Memamerkan cincin pernikahan yang seharusnya sudah ada di sana, tetapi belum.
"Ngigo! Aku kenalin ya. Cakep dek. Tajir pula."
"Dibilangin udah nikah." Tidak tertarik sama alur pembicaraan, aku akhirnya menarik earphone dari dalam kantong jaket jeans Zara yang kemarin kubeli pas ada diskon 50%.
Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai membuka lilitan kabel yang, ya ampun kenapa bisa sekacau ini sih?Perasaan sebelum dimasukin ke kantung jaket udah diikat baik-baik. Bener deh."Jomblo pasti." Mas Rumi terpantau masih yakin.
"Loh kok ngeyel ya anda."
"Pokoknya aku kenalin. Id LINE kamu aku bagi ke dia ya. Lumayan ada temen ngobrol. Dari pada ngobrol sama orang-orang ini lagi?" Tanyanya sambil nunjuk karyawan di ruangan kami.
Aku hanya merespon sekedarnya. Biar nggak dianggep kurang ajar. Tapi jelas dia tahu aku bukan tipe cewek yang suka main hp lantas chat orang-orang. Kerja setim bertahun-tahun ngebuat mereka cukup tahu aku gimana. Jangankan orang asing. Chat mereka aja sering aku anggurin berjam-jam bahkan berhari-hari. Termasuk chat pacar-pacar aku dulu. Beberapa bahkan nekat nyamperin ke kantor kalau ada yang lupa aku kabarin sehari dua hari karena lemburan.
But long story short, ternyata Mas Rumi beneran jadi ngasih ID aku ke temannya. Aku tebak saat liat notif LINE dari kamu di perjalanan sepulang kantor hari itu.
Nata ya? Aku Gugi, temennya Rumi.
Aku nggak lantas buka dan bales Line dari kamu. Setelahnya, hp itu kudiamkan. Kembali fokus nyetir dan nyanyi beberapa buah lagu hingga akhirnya jalanan mulai lenggang dan aku sampai di apartemen minimalis berukuran studio. Masih nyewa, belum beli. Belum.
Malemnya, sehabis mandi dan sambil nunggu mas Go-food nganter makanan yang aku pesan, aku mengambil HP dari tas kantor. Dan, benda itu panas. Banyak notif di sana dan 98% dari aplikasi Line.
Aku cepat-cepat berjalan ke arah sofa yang ku beli di ikea dua bulan lalu. Empuk. Sampingnya ada colokan.
Setelah nyaman, aku mulai membuka app yang membuat batre hpku panas itu. Ada sepuluh notif dari kamu dan sembilan puluhan dari Mas Rumi. Iya. sembilan puluhan. Dari laki-laki yang selama ini paling benci nge-chat aku. Menurutnya, mending dia nyamperin aku dari pada harus buang waktu buat nunggu aku bales chatnya.
Entah kenapa hari ini dia menjilat ludahnya sendiri.Aku buka line dari Mas Rumi yang isinya cuma bacotan dan huruf P yang dikirim puluhan kali. Wajar. Dia salah satu penulis senior di kantor. Kalau cuma nulis huruf P puluhan kalipun aku yakin dia mampu.
Intinya dia ngomel kenapa aku nggak respon line kamu.Padahal dia tahu aku lagi nyetir dan kejebak macet.Sebelum membuka dan membaca chat yang kamu kirimin, yang aku lakuin adalah buka foto profil kamu. Cowok yang fotonya duduk di sebuah tempat, dengan baju tanpa lengan.
Awalnya berkenalan denganmu asik. Walaupun chatmu masih sering aku anggurin. Aku berasumsi, dengan foto secakep itu, kamu bisa ngajak ngobrol siapapun.
Lantas, hari berganti hari.
Aku ingat beberapa kali kamu memohon untuk aku memberitahumu banyak hal.Dari nama panjang, akun I*, alamat, hingga alasanku kenapa tidak mengizinkanmu untuk bertanya macam-macam pada Mas Rumi tentang informasiku atau sekedar datang ke kantor dan bertemu.Protes-protesmu juga masih kuingat saat chat-mu aku diamkan cukup lama.Hingga akhirnya intensitas komunikasi kita meningkat pada satu malam. Waktu itu, kamu sedang berada di luar kota, kerja, dan aku di apartemen, bosan.
Banyak yang kita obrolin malam itu.Setelahnya, kita lebih sering berkomunikasi. Bukan dalam artian setiap hari, tapi lebih sering dibanding awal-awal dulu, karena ternyata kesibukanku dan kesibukanmu yang nggak bisa dihindarin. Sampai akhirnya kita berdua berkemungkinan bertemu di satu kota yang sama karena kerjaan kantor.
Dan menurutku, inilah puncaknya.
Ternyata kita nggak ketemu di kota itu karena ternyata jaraknya cukup jauh. Ada ratusan kilo. Dan kamu balik Jakarta lebih dulu dibanding aku.
Selang sehari kamu balik, kota yang aku tempatin kena musibah. Musibah yang cukup besar hingga mengakibatkan seluruh kota listriknya padam dan koneksi internet terputus.
But well, aku nggak mau bahas itu karena kamu tau aku masih agak trauma.
And then, selang seminggu, aku baru bisa ke kota lain. Evakuasi. Hal pertama yang kulakukan setelah mendapat jaringan dan listrik adalah membuka hpku. Ada ratusan pesan di sana, salah satunya darimu.
Di antara doa-doa dan kekhawatiran orang-orang yang kukenal, ada satu orang asing yang kulihat begitu khawatir dari kalimat-kalimatnya. Aku tersenyum.
Aku mengabarimu. Dan kau lega katamu.
Kok ada ya orang kaya kamu. Kenal nggak, pacar bukan, mantan apa lagi, tapi mau capek-capek khawatir. Atau aku aja yang naif?
Yang pasti, sejak saat itu ada yang berubah dari gaya komunikasi kita.Lebih sering.
Lebih perhatian.
Lebih kasmaran. Aku nggak nyangka bisa sedekat ini dengan orang yang hanya kutahu namanya.
Nggak.Aku bahkan nggak yakin itu nama asli kamu atau bukan. I mean aku bisa tanya ke Rumi, tapi enggan.Lagian kupikir siapapun namamu itu nggak masalah. Toh ntar kamu aku panggil -sayang- juga.Hell yes.
Aku menyukaimu, entah sejak kapan, dan aku memutuskan untuk menyampaikan itu padamu.
Dan I did.
Kan?
Jadi aku nggak terkejut saat kamu bilang dan respon ungkapan aku dengan kalimat kagum. Karena sekarang, cewek yang ngungkapin duluan itu masih sangat jarang. Banggalah kamu.
Pokoknya, seingatku, kamu bilang kamu kagum, sekaligus merasa bodoh. Merasa kalah. Merasa pecundang karena nggak berani ngungkapin duluan. Tapi aku nggak masalah. Selama aku pikir kita punya perasaan yang sama, nggak ada yang perlu dipermasalahin siapa yang ngungkapin duluankan?
Lagian saat itu, bagiku, kamu tahu perasaanku saja sudah cukup.
Aku nggak expect kamu punya rasa yang sama, atau bakal ngeresmiin hubungan ini. Nggak.Aku nggak mau Expect terlalu tinggi karena aku tahu, kamu punya pasangan di sana.Aku tahu.Sebut saja aku punya banyak pengalaman dengan pria-pria sibuk.Nah, sibukmu itu, sibuk yang lain. Tidak seperti sibuk pria-priaku dulu.Sibukmu sibuk yang bingung memilah waktu.Mana untukmu,Kerjaanmu,
Aku,dan pacarmu.
NATA’S POVMataku mondar mandir ngecek barang-barang yang ada di list dan yang ada di hadapanku. Kok banyak banget? Masa iya dua koper gede sama satu koper cabin nggak cukup? Perasaan bajuku nggak sebanyak itu deh. Perlengkapan bayi yang kubawa juga nggak banyak. Hanya beberapa yang sudah kupastikan akan susah kudapat di NZ. Tapi kok nggak masuk semua?Kamu tahu apa? packing bukan keahlianku. Aku nggak bakat soal beginian.Nggak bisa. Oleh karena itu, aku butuh bantuan.Kugapai Hpku, mencari satu nama di sana, dan langsung men-dial-nya tanpa ba bi bu.“Halo?” See? Orangnya langsung ngejawab. Nggak sia-sia kan dia langsung terlintas di benakku.“Sibuk nggak lu?”“Banget,”“Vip, gue serius.”“Nat, apapun itu, agak sorean bisa nggak? Ini minggu, coy. Gue menolak bangun dan nyamperin lu sepagi ini,”“Bantuin gue ngelipet baju doang Vip. Ini koper gue kepenuhan, tapi barang gue masih banyak yang belom masuk,”“Lu umur berapa sih Nat? Masa packing doang nyusahin orang?”“Emang lu orang? Kema
GUGI’S POVJika ada satu hal saja yang ingin kuhindari, itu adalah senyuman Jenata yang bukan milikku. Bagaimana mungkin dia bisa begitu lepasnya tertawa di atas penderitaanku? Sebutlah aku egois karena aku hanya ingin dia bahagia jika menjadi pasanganku. Tapi apa yang salah dari itu?“Pacar Gugi cantik ya Bang? Mama suka deh,” ucap Mama yang nggak menegerti apa-apa itu. Dan kalian tahu apa? Untuk pertanyaan itu saja aku harus setuju.“Semoga Ben kali ini langgeng deh sama Nata,” sambungnya sekali lagi. Berhasil memancing emosiku.“Bisa nggak Mama stop bahas Ben Ben Ben Ben terus?” tanpa sadar, kecepatan mobilku bertambah. Nafasku memburu. Seperti ada sesuatu yang ingin meledak keluar dari balik rusukku. Kakiku reflek menginjak pedal gas itu semakin dalam.“ASTAGFIRULLAH BANG KOK LAJU BANGET BANG? PELAN-PELAN NAK. HEY! GUGI KAMU KENAPA NAK?”“I L0VE HER FIRST, MA! GUGI YANG PERTAMA SAYANG SAMA NATA! GUGI YANG PERTAMA CINTA! KENAPA DIA HARUS SAMA BEN BUKAN GUGI?!” sekali lagi pedal gas
Usai melepaskan Ben, kini aku harus melepaskan satu lagi hal yang cukup kucintai demi kewarasanku.“Apa nih Nat?” tanya Pak Bari menerima selembaran yang baru saja kuserahkan.“Saya resign pak,”“Kurang gaji kamu?”“Iya Pak, sama emang saya mau pindah,” jawabku jujur yang entah kenapa nggak bisa dia percaya sedikitpun. Nggak tahu bagian mana yang dia pikir bohong dari kalimatku tadi. Semuanya jujur.“Jangan ngelucu deh Nat. Saya lagi mumet,”“Serius Pak,”Pak Bari menatapku dengan dahinya yang terkerut tiba-tiba. Bekerja di perusahaannya bertahun-tahun memang membuat hubungan kami cukup dekat. Tapi dia selalu tahu kapan aku bercanda atau serius. Kali ini salah satunya.“Kamu kenapa? Burnout? Ajuin cuti. Bukan surat resign gini,”“I’ll be moving abroad this couple days, Pak,”“Kemana?”“New Zealand,”“For what?”“A new life with my baby?”Pak Bari lagi-lagi terdiam. Ekspresi kagetnya terpancar banget. Aku bisa saja nggak memberitahunya tentang ini. Tapi untuk apa? Dunia harus tahu aku
Kepalaku penuh. Dari banyaknya wanita di dunia ini, kenapa harus aku yang berada di antara Gugi dan istrinya? Pertanyaan itu terus muncul setelah Mas Rumi dan Vipa balik.Mendengar Gugi hampir kabur dari venue akad nikahnya pagi tadi setelah tahu Vipa membawaku ke IGD, terlalu membawa banyak dan beragam perasaan ke hatiku. Dan semuanya nggak baik. Syukurnya Mas Rumi dan beberapa orang berhasil nahan dia.Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang ngebuat aku ngerasa perlu bertindak. Aku rasa, aku, kamu, kita berdua tahu betapa nekatnya Gugi. Aku nggak tahu perihal besok, tapi aku tahu betul bagaimana perasaanku. Aku goyah. Masih goyah.Oleh karena itu, hari ini aku udah janjian brunch dengan Ben. Di salah satu bakery baru dekat kantorku. Dia dateng persis saat pesananku, Puits d'Amour, baru aja dianterin. Sedangkan untuk dia, udah aku pesenin cheesecake kesukaannya. Tourteau Fromager.“Bonjour, Madame,” sapanya hangat mengelus kepalaku. Penuh senyuman.“Bonjour, Monsieur,” balasku.“Gimana t
“MAS RUMI!” pekikku lepas kontrol ketika mendapati sosok yang datang justru bukan yang kukhawatirkan.Nggak langsung menjawab atau menyapaku, yang dia lakukan justru maju dan memeriksa kepala hingga jari kakiku. “Kamu kenapa Jenata? Hah?”“Apanya?”“Ada yang sakit?” tanyanya lagi.Aku hanya menggeleng. Bingung. Aku mempersilahkannya masuk dan bergabung denganku juga Vipa di ruang TV.Seperti dua Babu yang lagi kena semprot Majikannya, aku dan Vipa duduk di sofa dan nunduk diem seribu bahasa. Entah yang kami takutin apa. Sementara Mas Rumi berdiri tegak di depan kami, melipat kedua lengannya di dada. Menatap seperti elang. Tajem seperti cutter Gramedia.“Vipa? Nata kenapa?” Mas Rumi pinter. Dia menyerang Vipa terlebih dahulu.“No komen dulu ya Mas. Tanya langsung ke anaknya aja. Punten banget ini mah,” elak Vipa yang nggak membantu posisiku sama sekali.“Nat?”“Nggak ada apa-apa Mas,”“Mau sampai kapan kalian bohongin Mas? Mau sampe malam? Oke, Mas bisa banget nih berdiri kaya gini sam
[ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments