Share

Bab 4

Bab 4

Pintu ruangan terbuka, saat itu juga muncul sesosok pria berjas hitam yang tergopoh mendekatiku dan Mama mertua.

Keynan, baru saja dia ada dipikiranku. Malah sekarang pria es kutub ini sudah ada di hadapan. Sumpah, pusing banget aku. Gimana caranya ngejelasin semua ini sama dia kalau aku hamil. 

Lagian, bisa-bisanya aku hamil secepat itu. Kayak mustahil, tapi kok ya nyata adanya. Argh! Semoga Keynan nggak terlalu marah.

"Akhirnya kamu datang, Nak," ucap Mama antusias. Senyum wanita paruh baya itu terus saja merekah seperti bunga jam sembilan. Itu karena memang jam dinding di sana menunjukkan pukul tepat sembilan pagi.

Aku berpikir, kalau Mama yang kasih tahu Keynan kalau aku di bawa ke rumah sakit.

"Tiara sakit apa Ma? Kamu nggak pa-pa 'kan" tanya Keynan padaku juga Mama.

Aku hanya menatapnya kaku sambil menggelengkan kepala.

"Tiara nggak lagi sakit kok, justru ini kabar bahagia buat kamu juga buat keluarga kita. Tiara hamil. Selamat ya Key, sebentar lagi kamu akan jadi Papi." Mama menerangkan.

Kulihat Keynan melotot sambil menepuk jidatnya dan ia langsung terjerembab pingsan di lantai.

"Enggak, Key!" Aku berteriak dengan mata terpejam. 

"Heh, Tiara! Kamu kenapa, Sayang?!" Sebuah guncangan mendarat di pundakku berkali-kali.

"Dia ini lagi halusinasi apa gimana ya?" Saat kudengar suara pria yang tak asing. Akhirnya aku membuka mata kembali.

Dua orang beda umur itu langsung menatapku tajam. 

Aku kira tadi Keynan pingsan setelah mendengar berita kehamilan ini. Ternyata tadi itu hanya bayanganku saja. Astaga, pasti setelah ini Keynan bakalan menuduh aku gila karena tadi berteriak nggak jelas.

"Kamu tadi nggak pingsan 'kan Key? Eh maksud aku Mas Keynan." Aku masih bertanya lebih detail. Meski bibir ini acap kali tergagap, otak pun kadang berasa entah. Tapi aku hanya ingin tahu kebenarannya.

"Enggak. Siapa yang pingsan. Udah saatnya pulang, kamu mau masih berapa lama berbaring di situ?" Keynan nyeletuk. Wajahnya biasa saja, tidak memperlihatkan aura kemarahan. Agak bernapas lega aku, siapa tahu dia memang tidak terlalu kaget. 

"Key … kamu jangan gitu dong sama Istri kamu. Dia ini lagi hamil, jangan dikasarinlah. Kasihan." Mama membantuku bangkit dan turun dari bangsal dengan pelan.

"Udah, ayo aku anterin pulang." Keynan melangkah lebih dulu, meninggalkan aku dan Mama di belakangnya.

"Mama tadi ke sini sama supir, Key. Kamu balik ke kantor aja ya, biar Mama pulang sama Tiara," kata Mama agak menambah volume suaranya. Karena jarak Keynan dan kami agak jauh.

"Oh, oke, ide bagus." Seketika Keynan membalik badan. "kalau gitu Key ke kantor lagi ya," lanjutnya langsung ngeloyor pergi. 

Agak nelangsa sebenarnya. Kehamilan ini sepertinya tak akan merubah apa pun dipernikahanku dan Keynan. Berita bahagia yang harusnya dinanti banyak pasangan halal di muka bumi ini pun nyatanya itu sama sekali tak membuat gurat bahagia terpancar dari wajah Keynan. Entah gimana nanti nasibku setelah aku dan Keynan berada di satu ruangan. Pasti dia akan mececarku dengan beragam tuduhan juga pertanyaan.

"Sabar ya, Keynan emang suka cuek anaknya. Tapi aslinya dia perhatian kok. Ini kesempatan kamu buat semakin dekat dengan dia." 

Aku langsung menatap lekat Mama yang bicara di sela langkah kami.

"Kesempatan apa, Ma?" tanyaku yang memang tak paham.

"Sebagai seorang wanita, kamu harus pintar-pintar merebut hati suami. Dan ini kesempatan emas buat kamu Tiara, sekarang kamu lagi hamil. Manfaatin momen ini buat meluluhkan hati Keynan. Pepet dia, jangan sampai lepas. Mama dukung kamu. Dulu Mama juga begitu." 

"Begitu gimana Ma?" Aku makin penasaran dengan setiap ucapan Mama. 

"Mama sama Papa dulu juga dijodohkan. Jadi tahulah rasanya kayak gimana. Menikah tanpa cinta itu rasanya hampa, Tiara! Sampai-sampai berbulan-bulan Mama sama Papa nggak tidur seranjang. Ya karena masing-masing memang nggak saling suka. Eh, tapi lama-lama, waktu yang terus menggerogoti, akhirnya kami saling jatuh cinta dan awet sampai sekarang. Terlebih saat punya anak, wah … pokoknya papanya Keynan makin lengket sama Mama." Panjang kali lebar kali tinggi Mama bercerita dengan ceria.

Baru aku tahu sekarang, kalau mertuaku ini dulunya juga dijodohkan. Makanya anaknya juga dijodohkan. Ternyata buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Tapi kalau buahnya jatuh di tebing. Apa iya nggak bakalan jauh. Seperti aku dan Keynan, meski sama-sama lewat perjodohan. Nyatanya Keynan tak sama, ia sudah memiliki tambatan hati. 

"Iya, Ma, ikut senang aku, semoga Papa sama Mama bahagia terus ya," ucapku lalu merengkuh pundak Mama. 

"Jelas Mama sama Papa bahagialah, Tiara. Apalagi Mama mau punya cucu, nggak kebayang nanti gimana senangnya Papa kalau dikasih tahu kabar ini. Pasti dia juga senang banget." 

Melihat wajah Mama juga senyumnya yang indah terukir. Membuat aku pun ikut mengulum senyum, binar bahagia jelas terpancar saat tahu bahwa di rahim ini ada calon cucunya. 

Yang jadi masalah cuma satu, akankah pria bergelar suami itu akan juga senang seperti Mama? Jadi deg degan kalau nanti ketemu sama Keynan.

***

Sudah malam Keynan juga tak kunjung pulang. Aku terus menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Belum ada tanda-tanda kalau Keyan pulang. Biasanya mobil dia selalu terparkir di garasi yang terlihat dari kaca kamar ini. Dan di situ masih kosong.

Berkali-kali aku menghela napas gusar serta tak karuan. Jantung pun degupnya ugal-ugalan seperti balapan motor di Mandalika. Ah, jadi pengen ke sana. Tapi sama siapa? Orang naik pesawat aja belum pernah, biasanya yang sering hanya naik delman sama odong-odong.

Aku jadi punya ide yang bagus. Lebih baik aku tidur saja mumpung Keynan belum pulang. Kurasa … saat ini menghindar adalah tindakan yang tepat.

Gegas kututup semua gorden yang tadi tersibak karena aku melihat ke arah depan rumah terus. Dan segera naik ke ranjang lalu menarik selimut hingga menutupi semua badan ini termasuk wajahku.

Yuk, tidur, yuk. Aku memejamkan mata meski tak ada rasa kantuk sama sekali.

Sudah beberapa menit berlalu, mata ini nggak mau diajak menyelam ke alam baka. Astaghfirullah, alam mimpi kali. Nggak hanya bibir yang sering salah sebut, batin pun sama sering keliru.

Belum juga terdengar suara Keynan pulang dari tadi. Akhirnya aku membuka pintu selimut yang menutupi wajah.

"Astaga!" Aku reflek terjingkat kaget saat selimut ini terbuka. Ternyata Keynan sudah berdiri sambil menatapku tak berkedip. Dia itu suka banget bikin jantungan.

"Ke-Key-Yi, eh, maksud aku Keynan." Ya ampun, pakai salah sebut nama pula aku. Malah nyebut nama selebgram yang itu, lagunya sering diputar di odong-odong, yang judulnya aku bukan jelangkung. Eh aku bukan boneka.

"Belum tidur?" tanyanya. Tiba-tiba Keynan malah duduk di bibir ranjang. Tepat di sampingku.

"Belum," jawabku sekenanya. 

"Bangun," titahnya. Aku lantas menata posisi duduk sambil menarik selimut yang sempat melorot.

"Kok bisa kamu hamil?" Aku cengo mendengar pertanyaan Keynan yang entahlah ini.

"Lah, 'kan kita bikinnya berdua. Ya mana aku tahu, Key!" Aku menyahut dengan suara kencang.

"Udah berapa bulan?" tanyanya lagi. Wajah Keynan masih juga datar ekspresinya.

"Nggak tahu. Tanya Mama aja, tadi aku nggak nyimak penjelasan Dokter." 

"Gimana sih kamu! Kalau gitu mana hasil USG-nya?!"

"Tuh ada di laci." Jariku menunjuk ke arah laci yang ada di samping ranjang. 

Keynan mengambil hasil USG tersebut lalu menatap lekat-lekat gambar yang berwarna hitam itu.

"Ini apaan hitam-hitam semua? Dedek bayinya yang di sebelah mana sih?" Keynan bersungut. Kedua alis tebalnya saling bertaut. "ya ampun, pelit amat sih Mama. Jaman sekarang 'kan udah ada USG yang canggih, dan gambarnya bukan kayak dunia lain begini. Ini apa yang mau dilihat, gelap semua kayak langit tanpa bulan." 

Entah harus bagaimana aku menyimpulkan ocehan Keynan. Tapi sejak tadi dia nggak ada marah sih sama aku. 

"Terus gimana dong, ini anak kamu Key," ucapku pelan. Kertas yang dipegang Keynan aku ambil alih lalu menunjukan titik kecil padanya. "ini janinnya," tambahku.

"Oh, ini, ya ampun, kecil banget ya, sebesar biji selasih ini mah kayaknya." Lagi, Keynan terus membeo. "Tiara …." Ia memanggil namaku. Dengan tatapan mata yang intens.

"Ya, Key, kenapa? Aku minta tolong ya, jangan pernah kamu nyuruh aku buat ngegugurin anak ini, meskipun kamu nggak suka sama dia." Itulah beberapa kata yang sebenarnya memang sudah kupendam dalam hati. Sebelum Keynan mengutarakannya, lebih baik aku mendahuluinya.

"Kamu ngomong apa Ra? Siapa yang nyuruh kamu buat ngegugurin dia? Aku cuma …."

"Cuma apa?" Aku memangkas ucapan Keynan.

"Cuma ingin menyentuh perut kamu Ra. Dia udah bisa nendang belum ya?"

"Hah, apa?!" Dia sendiri yang bilang kecil mirip biji selasih, ya kali janin bisa nendang. Ibunya ini yang bisa nendang. 

Tapi, apa itu pertanda kalau Keynan. Nggak marah? Ah, kalau iya, aku senanglah pasti. Jadi teringat kata-kata Mama, kalau ada anak ini, semua harta juga bakalan jatuh ke ….

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Teringat pada mama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status