Share

Hampir Saja Ketahuan

"Mama ...?" Maya kaget melihat Mama Widya berada di dalam ruang Bram.

"Kok Mama ada di sini? Ngapain?"

Maya heran karena tidak biasanya ibu tirinya itu datang ke kantor. Widya memang salah satu pemegang saham di perusahaan tapi bukan tipe yang suka mencampuri urusan pekerjaan.

Justru cenderung malas berurusan dengan seluk beluk perusahaan. Dia hanya datang ketika ada rapat pemegang saham saja. Selebihnya semua urusan pekerjaan dia serahkan ke staf-stafnya. Jadi agak mengherankan ketika tiba-tiba mama tirinya itu berada di kantor sepagi ini.

Semenjak ditemukan fakta bahwa obatnya mengandung racun, Maya memang mulai berhati-hati dengan siapapun. Biarpun itu keluarganya sendiri. Maka tidak salah jika sekarang Maya juga menaruh curiga terhadap mama tirinya.

Entah apa yang sedang direncanakan oleh Widya dan suaminya, yang jelas saat ini Maya harus waspada.

"Oo ini Mama lagi ada perlu sebentar sama Bram. Tadi Mama nyari di rumah nggak ada, kata Bi Munah suamimu ini berangkat pagi, jadi Mama nyusul ke sini deh," Mama Widya pasang muka paling manis yang dibuat-buat.

Apakah Maya percaya begitu saja? Tentu tidak. Dia masih ingat kata Kevin tadi pagi. Waspada dengan mereka berdua katanya.

"Tumben sekali, Ma. Apakah ada sesuatu yang penting? Biasanya kan staf Mama yang ngurus segala sesuatunya."

"Oo ... bukan sesuatu yang penting kok, Sayang. Mama hanya minta pendapatku aja soal gaun yang mau dipakai nanti pas acara Gathering. Ya kan, Ma?"

Kali ini Bram yang bicara namun agak terbata. Dari nada bicaranya Maya tahu kalau Bram berbohong.

Gaun? Ini makin aneh saja. Beli gaun tapi minta pendapat Bram? Maya mengerenyitkan dahi. Benar-benar aneh.

"Aaahh iya, bener. Mama nanya ke Bram soal gaun yang mau mama pakai nanti. Soalnya kan hanya Bram satu-satunya lelaki yang ada di rumah kita. Saran Andini sih sebenernya ini, Sayang. Katanya Bram tahu selera dia."

Apalagi ini? Belum habis kebingungannya soal gaun Mama ini malah nama Andini dibawa-bawa. Dengar nama Andini, Maya ingat kejadian tadi Pagi.

"Nah iya, mumpung Mama sebut nama Andini, aku mau bilang sama Mama. Minta tolong bilangin tuh sama dia. Suruh sopan sama kakaknya. Dan satu lagi, suruh hormat juga sama Bik Munah. Dia itu meskipun hanya seorang pembantu, tapi Bik Munah sudah seperti saudara, sudah lama ikut kita, Ma. Mama sama Andini belum datang ke rumah, Bik Munah sudah kerja di rumah kita. Jadi tolong hormat dikit sama dia," kata Maya.

"Ooh itu, iya, Sayang. Nanti mama bilangin sama dia. Kamu juga sedikit maklumlah sama Andini ya. Dia itu kan memang dari kecil terbiasa manja, jadi keterusan deh sampai sekarang"

"Justru itu, Ma. Harus diajari sopan santun, harus bisa mandiri juga. Kan dia bukan anak kecil lagi. Jangan bisanya sosialita aja. Penampilan aja top, tapi attitude nol."

Maya sebenernya sangat menyayangi Mama Widya dan Andini. Karena bagaimanapun juga hanya mereka keluarga yang dia punyai saat ini. Namun sepertinya mama dan adik tirinya itu hanya menganggap Maya sebagai penghalang untuk menguasai harta keluarga.

Sering sekali Maya mendapati pandangan sinis dari Andini. Banyak hal yang tidak disukai dari Maya. Entah sengaja atau tidak bahkan untuk hal-hal remeh sekalipun, Andini bisa naik pitam.

Widya menahan gemuruh di dadanya, giginya gemerutuk. Bagaimanapun, dia tidak rela anak gadis kesayangannya dijelekkan oleh Maya. 'Baiklah Maya, kuikuti saja katamu, tapi tunggu pembalasanku' katanya dalam hati.

Tapi Widya sadar, sebelum rencana untuk menjatuhkan Maya terlaksana, dia harus bermuka manis dulu di hadapan gadis itu.

"Iya iya nanti Mama bilang sama dia ya. Mama tahu, Andini itu sebenernya anaknya baik. Dia begitu karena merasa tidak terima kamu merebut semuanya dari dia. Begitu kamu kembali ke Indonesia, apa yang jadi miliknya berpindah tangan jadi milikmu. Papanya, rumahnya, dan mungkin perusahaan ini. Kalau kamu nggak pulang ke Indonesia mungkin Papa akan mewariskannya pada Andini."

Loh ... Loh ... sebentar, ini tidak salah? Mata Maya membulat mendengar kata-kata Widya. Halus tapi tajam dirasakan. Kenapa jadi terbalik begini?

"Apa Mama bilang barusan? Aku ngrebut semuanya dari Andini? Tunggu ... ini nggak salah?"

Maya masih berusaha tenang. Bagaimanapun dia masih menghormati Widya sebagai orang tuanya. 

"Kok Mama bisa bilang begitu? Mama lupa ya kalau aku pulang ke Indonesia atas permintaan Papa? Mungkin Mama juga lupa dengan surat wasiat yang Papa buat, bahwa apa yang dimiliki Andini dulu, itu adalah hak aku. Seeemuuanya .... Jangan lupa itu."

Sepertinya berkata tegas kali ini tidak mengapa. Hanya untuk meluruskan biar mama tirinya itu terbuka matanya.

Maya tersenyum miring kali ini. Mamanya ini sepertinya sesekali harus diberi pelajaran juga biar tidak sembarangan bicara.

Benar saja, muka Widya merah padam. Mungkin iya Maya terlihat lemah. Namun, yang tidak Widya ketahui adalah sikap lemah Maya itu hanya karena dia hormat kepada Widya sebagai Ibu. Tapi jika dirasa kelewat batas, Maya tahu harus bersikap bagaimana.

"Dan satu lagi, Ma. Apakah Mama lupa? Rumah yang kalian tempati itu juga hak milikku? Beruntung aku mengijinkan kalian untuk tinggal. Karena apa, Ma? Karena aku menganggap kalian keluarga. Tapi kalau kalian tidak bisa menghargai aku, ya maaf mungkin aku akan mengusir kalian."

Waduh, sepertinya Widya salah ngomong. Maya jadi panas mendengar kata-katanya. Alih-alih Maya melembut hatinya, ini malah jadi tersulut emosi. Widya menarik nafas lalu coba memujuk Maya. 

"Eh ... he ... he iya , Sayang. Mama minta maaf, sabar ya. Maaf sepertinya Mama salah bicara. Ya sudah kalau begitu, nanti sampai rumah Mama bilangin Andini ya. Kalau begitu Mama pamit. Urusan Mama di sini sudah selesai."

Sebelum emosi Maya memuncak, Widya buru-buru menyambar tasnya kemudian pamit pulang.

Setelah widya keluar ruangan, Maya duduk di depan Bram. Dia mengatur nafasnya untuk menetralisir emosi akibat kata-kata mamanya tadi.

"Ada perlu apa sih Mama kesini, Mas? Nggak mungkin deh kalau cuma soal baju"

"Ooh itu, ya nanyain agenda kita itu loh."

"Gathering perusahaan kita?"

"Iya, kan acara besar itu, May. Jadi Mama mau acaranya spektakuker. Maklum, di acara itu nanti semua pemegang saham berkumpul dan tentunya banyak tamu-tamu terhormat akan hadir."

"Bukannya semua udah diurusin sama EO ya?"

"Ya kan kamu tau sendiri Mama itu orangnya kayak apa. Dia maunya semua perfect. Apalagi ini bawa nama perusahaan katanya." Bram tidak berani menatap Maya langsung.

Bohong lagi. Maya tahu Bram berbohong. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

"Mas, beneran kamu nggak lagi macem-macem kan?"

"Macem-macem gimana maksudnya? Ihh kamu ini ada-ada aja deh."

Maya menatap mata suaminya lekat-lekat. Bram teelihat salah tingkah dan makin gugup. Aura mengintimidasi yang Maya tunjukkan seolah memojokkan dirinya.

'Mereka tadi membicarakan tentang Gathering Perusahaan yang akan diadakan sebentar lagi. Mungkinkah mereka merencanakan sesuatu?' terkanya dalam hati.

Maya tahu persis soal itu. Kehadiran mamanya barusan membuat kecurigaanya menemukan titik terang. Semenjak dijelaskan oleh dr. Wira bahwa racun itu bekerja dalam jangka waktu tiga bulan, Maya sudah mengira bahwa target dari musuhnya adalah acara besar itu.

Tiba-tiba Maya baru tersadar maksud kedatangannya ke ruangan Bram.

"O iya, Mas. Aku kesini karena ini nih, berkas kerjasama dengan Pak Kevin. Tolong kamu teliti lagi ya, aku tunggu hasilnya paling lambat besok."

Maya meletakkan berkas yang tadi dibawanya di hadapan Bram. Seketika muka Bram menjadi pias. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan jari-jarinya.

'Wah, gawat ini. Kalau sampai Maya tahu laporan keuangan yang sebenarnya,' katanya dalam hati dengan tangan yang semakin gemetaran.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status