Reynand duduk di depan Maya sambil membolak-balik berkas kerjasama dengan Kevin. Dia tidak berani banyak bicara karena nona mudanya sedang merajuk.
"Nona, jangan marah begini-lah. Saya minta maaf," kata Reynand pasang muka memelas.Saat ini mereka sudah berada di kantor seusai acara sarapan di Kafe Biru bersama Kevin.Maya diam, masih terus menandatangi berkas-berkas yang menumpuk di mejanya tanpa mempedulikan kata-kata Reynand."Pak Kevin berpesan kepada saya untuk menyampaikan seperti itu. Dia ingin melihat berkas kerjasama untuk mengetahui sudah sejauh mana pengerjaan proyek ini.""Dan kamu mengiyakan begitu saja?""Saya tidak tahu kalau ternyata bukan berkas itu yang Pak Kevin inginkan. Sumpah, Nona. Beneran saya tidak tahu."Maya menaruh berkas ditangannya agak sedikit kasar dan menatap tajam asistennya. Reynand blingsatan, dia menunduk salah tingkah."Diam kamu, lain kali kalau ada appointment konfirmasi dulu. Selalunya kan juga begitu, Rey. Atau jangan-jangan kamu kerjasama ya sama dia?""Iya ... eh tidak. Bukan begitu, Nona. Pak Kevin tidak mengatakan ingin ditemani sarapan. Katanya dia ingin memeriksa perkembangan proyek iklan kita."Maya kembali diam dan melanjutkan kerjanya."Tapi Nona kan dapat bunga. Cantik loh itu. Warna pink, warna kesukaan Nona kan.” Reynand mencoba mencairkan suasana dengan menggoda nona mudanya. Maya berdiri lalu meraih buket bunga yang tadi diberikan Kevin."Sok tahu kamu. Ini kamu bilang cantik? Bunga kayak gini aku bisa beli sepuluh biji tau?" Maya lalu melempar buket mawar itu ke dalam tong sampah dekat kaki Reynand."Eeeh ... jangan dibuang, Nona. Bunga mahal loh ini, saya aja mau belikan Ijah belum kesampaian. Saya ambil aja ya, lumayan bisa buat Ijah.""Ijah? ART depan rumah itu? Kamu pacaran sama dia?""He ... he ... he," Reynand hanya senyum-senyum.Tunggu ... kenapa ada yang nyeri di sudut hati Maya ketika mendengar nama Ijah disebut? Mungkinkah Maya cemburu?"Beneran kamu pacaran sama pembantu, Rey?""Kenapa memangnya, Nona? Pembantu kan juga manusia. Yang perlu disayang dan dipuja. Ijah itu cantik apa, modis, body-nya aduhai. Ya kan?"Maya terdiam mendengar candaan asisten pribadinya itu. Tapi Reynand justru membuncah di dalam hati. Ada gurit bahagia di sudut bibirnya yang membentuk lengkung tipis tanpa disadari Maya.'Maya ... Maya ... lucu sekali kalau lagi cemburu.' batinnya."Jadi dimaafkan atau tidak, Nona?""Kalau tidak?""Kalau tidak, saya resign aja.""Terus kalau resign mau ngapain kamu?""Ya buat apa kerja kalau Nona marah sama saya.""Ya habisnya ngeselin kamu.""Kalau nggak ngeselin takutnya jadi Nona jatuh cinta sama saya.""Iihhh ... ngawur kamu."Maya memukul bahu Reynand dengan berkas yang dipegangnya."Auw ... sakit, Nona." Reynand mengaduh mengusap bahunya.Akhirnya Maya tertawa juga. Sebahagia ini Maya jika bersama Reynand. Asisten pribadinya itu pandai mengambil hati.Dengan candaan sederhana seperti ini saja sudah cukup meluruhkan amarahnya. Tidak seperti Bram yang selalu bersikap dingin. Bram itu sayang sekali dengan Maya, tapi sikapnya dingin. Entahlah ...Ingat Bram jadi ingat berkataan Kevin waktu sarapan tadi. Kevin curiga ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya itu."Sudahlah, lupakan soal itu. Sekarang sini lihat berkas itu. Tadi Kevin bilang ada sesuatu yang janggal dengan laporan keuangan bagian promosi. Dan beberapa di pengadaan properti syuting," kata Maya meminta berkas yang dipengang Reynand.Maya membaca sekilas berkas itu lalu beranjak berdiri."Nona mau kemana?""Ke ruangan Mas Bram. Minta penjelasan dia.""Biar saya saja, Nona.""Enggak. Aku aja. Aku nggak mau kamu ribut lagi sama dia. Kalian kan kalau ketemu kayak anjing dan kucing, nggak pernah akur."Maya bangkit berdiri dan berlalu menuju ruangan Bram yang berjarak beberapa meter dari ruangannya.Tapi sebelum sampai di ruangan yang bertuliskan Direktur Utama itu Maya dihadang Tasya, sekretaris Bram."Maaf, Bu Maya. Anda sebaiknya jangan menemui Pak Bram sekarang," kata Tasya ragu."Kenapa? Apakah Pak Bram tidak ada di ruangan? Bukankah dia tidak ada agenda hari ini?""Emmh ... iya. Tapi e ... itu anu Buk. E ... Pak Bram lagi ...." jawab Tasya terbata-bata."Lagi apa?" tanya Maya penuh selidik. Maya tak mempedulikan Tasya dan terus berjalan menuju ruangan Bram.Tasya berlari menghalangi langkah Maya."Maaf Bu, tadi Pak Bram pesan tidak bisa menerima tamu untuk sementara."Waah tidak bisa dibiarkan ini anak, sepertinya perlu sedikit digertak."Jadi menurutmu saya ini tamu? Kamu lupa saya ini istri Bapak Bramantyo Septiaji? Dan apakah kamu juga lupa siapa yang paling berkuasa di perusahaan ini? Atau kamu mau aku ...""Tidak Bu. Maaf ... saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya melaksanakan tugas saja. Silahkan kalau Bu Maya mau masuk, maaf sekali lagi." Tasya memberi jalan. Setelah Maya beralu dia menepuk jidatnya, "Aduh mati aku ...."Maya kemudian meneruskan langkahnya. Berjalan menuju ruang Bram. Ketika sampai di depan pintu langkahnya terhenti. Dia mendengar suara seorang perempuan dari dalam. Maya menempelkan telinga ke daun pintu biar lebih jelas lagi."Sayang, jangan beginilah. Aku itu kangen. Kalau aku nggak ke sini nggak mungkin bisa ketemu kamu. Ayoklah ... sudah berapa lama kita nggak ketemu." suara perempuan dari dalam."Iya aku tahu. Tapi jangan kayak gini juga. Sudah berapa kali aku ngomong, jangan mememui aku di kantor. Bisa bahaya." kali ini suara Bram. Ya Maya yakin sekali itu suara suaminya. Tapi siapa perempuan yang sedang bersamanya? Sepertinya Maya mengenal suara itu. Ah tapi tidak mungkin. Bram sangat menyayanginya. Meskipun sikapnya selalu dingin. Tidak mungkin Bram selingkuh. Ada gemuruh dalam dadanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Maya harus tahu siapa perempuan itu. Maya mulai mengetuk pintu."Mas ... buka pintunya. Mas Bram ... buka Mas.Aku tahu kamu lagi di dalam, buka pintunya Mas." Kata Maya sambil terus mengetuk pintu.Terdengar gagang pintu dibuka dari dalam. Dan alangkah terkejutnya Maya melihat siapa perempuan yang ada di dalam ruangan Bram.Bersambung ....Ayooo siapa ya kira-kira perempuan itu?Lanjut bab selanjutnya yuk.Jangan lupa tap love dan komen ya.Terima kasihMaya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
Reynand sengaja bangun lebih pagi dan berkutat di dapur. Dia membuat bubur untuk Maya. Mudah-mudahan hari ini keadaanya sudah membaik. Beruntung hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak diburu pekerjaan.Berbeda dari biasanya, kali ini Reynand membuatkan bubur sumsum. Yaitu bubur khas Jawa Tengah yang dibuat dari tepung beras dengan kuah yang terbuat dari rebusan gula jawa dan daun pandan sebagai pewangi.Masakan simpel itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Setelah siap Reynand membawa bubur itu ke kamar Maya.Reynand mengetuk pintu meskipun kamar Maya terlihat terbuka. Dilihatnya gadis cantik itu tengah memilih-milih buku. Maya memang mewarisi hobi ayahnya yang suka membaca. Berbagai buku dari mulai filosofi, fiksi, hukum, dan motivasi berjajar rapi dalam rak sudut di pojok kamarnya.Tok ... tok ... tokMaya menoleh untuk melihat siapa yang datang. "Masuk, Rey." Maya memasukkan kembali buku seri dari Chicken Soup For The Soul ke dalam rak karena tahu Reynand memba
Reynand panik begitu mendapat telfon dari Mang Darto. Rasa bersalah tiba-tiba menguasai hatinya. Tapi tadi pagi nonanya itu baik-baik saja. Sakit apakah? Apakah racunnya menyerang lagi? Apakah Maya lupa meminum obat penetralisir racun pagi tadi? Wah ... bahaya kalau memang situasinya seperti itu. Meskipun efeknya halus tapi tetap saja membahayakan keselamatannya. Itulah makanya dia selalu menjaga Maya selama ini. Karena jiwa gadis itu terancam. Bukan cuma dari musuh-musuh bisnisnya tapi juga dari racun yang ada di dalam rubuhnya."Loh, memang nona sakit apa Mang? Tadi baik-baik saja. Bukannya nona masih di kantor? Kok sudah sama Mang Darto? Memang sekarang nona di mana Mang?" Reynand memberondong dengan banyak pertanyaan.[Mamang nggak tau, Den. Tadi tuh nona telpon Mamang minta diantar ke butik. Suruh jemput di lobi kantor. Tapi begitu Mamang datang Nona nangis, kepalanya sakit katanya. Terus minta pulang saja. Den Reynand di mana ini? Sebaiknya segera pulang, Den]"Saya masih di ka
"Nona, Anda baik-baik saja?" Mang Darto tiba-tiba sudah berdiri di belakang Maya. Dia menepuk pundak nona mudanya itu sangat pelan agar tidak mengejutkannya.Maya buru-buru menghapus air matanya tanpa menoleh ke arah Mang Darto. Dia malu kalau sampai Mang Darto memergokinya menangis tanpa alasan yang jelas.Kemudian dia menarik nafas dalam untuk menetralisir sesak di dadanya. Sambil tersenyum dia menoleh."Ah iya, Mang. Sa-saya hanya pu-pusing sedikit. Iya ... pusing, Mang. Hehe ...."Ah pasti jelek sekali mimik mukanya saat ini. Mudah-mudahan Mang Darto tidak menyadari kalau tadi dia menangis."Loooh ... pusing kok malah minta diantar ke butik? Nona sudah makan? Atau Mamang antar pergi makan dulu saja?"Soal perhatian Mang Darto dan Bik Munah jagonya. Perasaan sayang mereka ke Maya juga tulus. Maya sungguh bersyukur memiliki dua orang itu. Kalau saja tidak sedang berada di lobi pasti air matanya makin tumpah saat itu j
"Selamat pagi, Bu Maya," sapa Pak Johan ramah.Lelaki berumur sekitar 45 tahun itu memang selalu murah senyum. Pelayanannya yang cepat dan baik hati membuat Maya nyaman bekerja sama dengannya."O iya, selamat pagi juga, Pak Johan. Mari silahkan. Kita duduk di kursi sebelah sana saja ya."Maya mempersilahkan Pak Johan duduk di ruang khusus untuk menerima tamu. Tak lama berselang datang Karin membawakan dua cangkir kopi latte dengan sedikit kue untuk cemilan."Mari silahkan kopinya, Pak. Kita ngobrol santai saja ya.""Iya, terima kasih, Bu Maya."Pak Johan mengeluarkan berkas perceraian Maya dengan Bram. Ada beberapa lembar yang perlu ditanda tangani."Maaf, Pak. Ini saya terima jadi saja loh ya. Untuk biaya saya ngikut aja. Maaf karena jadwal saya padat, jadi saya mohon kerja samanya.""Bu Maya tenang saja. Setelah proses penandatangan ini, surat cerai akan segera kami proses dan kami kirim ke alamat ibu. Setelah itu selesai. Silahkan Bu Maya tanda tangan di sini."Pak Johan menunjukka
Setelah lebih dari tiga hari istirahat di rumah, hari ini akhirnya Maya datang ke kantor. Selain ada temu janji dengan pengacaranya yaitu Pak Johan, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Termasuk koordinasi dengan EO yang menangani pelaksanaan Gathering Perusahaan sebentar lagi.Maya tampak anggun melangkah memasuki kantor. Gadis cantik itu mengenakan kemeja putih dengan hiasan syal kecil untuk mempermanis penampilannya. Celana kulot berwarna coklat mocca dengan blazer warna senada membuat penampilannya semakin mempesona. Rambutnya yang panjang dia buat agak curly agar kelihatan lebih feminim.Di belakangnya tanpak Reynand yang selalu setia mendampingi orang nomor satu di Wijaya Corp itu. Setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tanpa dasi berwarna putih membuat penampilannya hari ini tampak memukau. Wajah tampan khas asli orang Indonesia tak membuatnya kalah dengan wajah-wajah blasteran Indo. Reynand memang memiliki khar