Maya sudah merasa jauh lebih baik. Rencananya dia akan ke kantor hari ini. Dia sedang duduk di kursi rias ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya.
"Masuk," jawab Maya.
"Selamat pagi, Nona."
Ah ... ternyata Reynand yang datang. Dari cermin rias dia melihat Reynand datang mendekatinya lalu berdiri tepat di belakangnya.
Maya memejamkan mata sebentar, menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari tubuh asistennya. Maya sangat menyukai aroma citrus itu. Desiran itu datang lagi. Desiran aneh tiap kali berdekatan dengan Reynand. Entahlah, Maya juga tidak tahu apa.
"Nona, agenda Anda pagi ini adalah bertemu dengan Pak Kevin, dari PT Global Blue. Beliau ingin membicarakan kelanjutan kerjasama pembuatan iklan untuk produk kecantikan dari klien kita. Terus agenda siang nanti Anda akan ...."
Reynand menghentikan laporannya karena Maya mengangkat tangan isyarat Reynand harus berhenti memberikan laporan.
"Rey, bisa nggak kalau satu agenda saja? Kalau dua agenda kayaknya aku belum kuat deh. Ya ...! Boleh ya...!" kata Maya memasang mimik memelas. Reynand tersenyum melihat ekspresi lucu dari Nona Mudanya itu.
"You are the boss, Miss," jawab Reynand tersenyum. Manis sekali, hati Maya berdesir untuk kesekian kalinya. Reynand berjalan ke arah meja dekat jendela tempat obat Maya disediakan dan meletakkan satu pot kecil tanaman sansivera mini di situ.
"Ini obat yang disiapkan Tuan Bram?" tanyanya menoleh ke arah Maya. Maya mengangguk. Reynand memasukkan obat itu ke dalam plastik kecil dan menyimpan di sakunya.
"Saya tunggu di mobil dengan Mang Darto. Nona silahkan bersiap dulu, lalu minum obat dari Om Wira ini," kata Reynand menyerahkan obat berwarna oranye, obat penetralisir racun.
Setelah Reynand keluar, Maya segera meminum obat itu. Hari ini ada agenda penting jangan sampai efek racun itu merusak acaranya. Tiba-tiba dia teringat ucapan Bram kemarin.
"Kamu harus tetap meminum obat yang lama itu, Sayang. Kalau tidak bisa panjang urusannya. Karena obat itu sudah ada ...," Bram menutup mulutnya karena sudah keceplosan.
"Sudah ada apanya, Mas?"
"Eh ... itu, mhhh ... maksudku kalau kamu nggak minum obatnya, nanti kamu gak sembuh-sembuh. Gitu maksudku, Sayang," jawab Bram gelagapan.
'Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas?'
Prang ... suara gaduh dari arah dapur membuyarkan lamunan Maya. Bergegas dia berlari ke arah sumber suara. Ternyata di sana Andini sedang marah-marah. Bi Munah tampak ketakutan, di kakinya ada pecahan piring dan nasi goreng yang berserakan.
"Bibik ini bisa kerja nggak sih, kan udah dibilangin Bik ...aku gak suka nasi goreng. Kenapa malah dibikin sarapan nasi goreng sih?” kata Andini dengan muka memerah.
"Maaf, Non Andin. Tapi kan semalam Non udah pesen sama Bibik, katanya minta nasi goreng."
"Iya ... tapi bukan nasi goreng sampah kayak gini. Pake dibumbuin terasi segala, eneg tau Bik. Udah baunya gak karu-karuan begitu." Andini menendang piring yang sudah berantakan itu dengan kakinya.
"Ini nasi goreng yang biasa Bibik buat ,Non."
"Eh ... perempuan tua. Jawaaab aja kalau dibilangin ya? Bibik ini tuli atau begimana sih? Nggak denger apa aku ngomong? Terus itu mana buah mangga muda yang aku minta? Jangan bilang kalau Bibik juga lupa," mata Andini melotot sambil menunjuk-nunjuk muka Bi Munah saking marahnya.
Maya hanya memperhatikan dari kejauhan. Bik Munah menahan tangis, tidak mau kelihatan bersedih, bisa tambah diomeli Andini nanti.
"Iya ... maaf, Non. Memang ndak ada yang jual mangga muda," jawab Bi Munah menunduk sambil memegangi ujung bajunya.
"Alaaahhh ... alasan saja. Bibik buta sampai nggak bisa lihat, hah? Aku belum makan apa-apa , Bik. Bisa mati kalau kayak gini caranya. Bibik mau aku pecat? Hhiiiihhh ... geram sekaliali aku," kali ini Andini menjambak rambut dan mendorong Bi Munah sampai terjatuh.
Waahh ini tidak bisa sibiarkan. Maya yang melihat kejadian itu berlari mendekat bermaksud melerai kegaduhan, sebelum Andini lebih oarah menganiaya Bi Munah.
"Eh ... eh ... ada apa ini ribut-ribut? Andini yang sopan kamu ya, sama orang tua begitu kamu," kata Maya.
Andini melepas cengkeraman pada rambut Bik Munah. Dan mendengus kesal. Dengan raut muka yang penuh kemarahan dia memandamg sinis ke arah Maya.
"Nah ini satu lagi, klop kan? Sama-sama menyusahkan. Malas aku ribut sama perempuan murahan sepertimu, jauh-jauh datang hanya ingin merebut harta Papaku saja."
"Jaga omongan kamu, Andinu. Aku ini Kakak kamu. Hormat dikit dong."
"Halah ... males banget ribut sama kamu. Buang-buang energi."
Andini berlalu pergi meninggalkan Maya dan Bi Munah yang masih terduduk di lantai.
"Bangun, Bik. Lain kali Bibik jangan diam saja kalau Andini buat ulah," kata Maya membantu Bi Munah bangun.
Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya luruh juga. Bi Munah bisa menahannya dari Andini, tapi tidak dengan Maya. Gadis itu sangat menyayanginya, sudah menganggap Bi Mumah keluarga sendiri. Perhatian dari Maya membuat hati wanita gempal itu terharu.
"Tidak apa-apa Non, Bibik udah biasa dimarahi Non Andini begini."
"Marah sih boleh aja , Bik. Tapi kalau sudah menyakiti kayak gini namanya sudah tindak kekerasan. Emang Andini marah kenapa sih Bik, sampai banting piring segala?"
"Biasa, Non. Nggak suka dengan sarapan yang Bibik buat pagi ini. Padahal tadi malam Non Andin sendiri yang pesan minta dibuatkan nasi goreng. Katanya eneg sama bau terasinya. Padahal kan Bibik bikin nasi gorengnya dari dulu ya kayak gitu. Biasanya juga Non Andin suka."
Maya memperhatikan dengan seksama. Gadis itu iba melihat keadaan Bi Munah.
"Kan cuma masalah sepele itu, Bik."
"Iya, Non. Bibik juga tidak tahu. Hanya masalah bau terasi dan mangga muda saja Non Andin bisa sampai marah begitu."
"Mangga muda?" tanya Maya sedikit heran.
"Iya, Non. Tadi malam Non Andin juga minta dicarikan mangga muda. Bibik juga ndak tahu mau buat apa. Akhir-akhir ini memang Non Andin suka minta yang aneh-aneh, Non."
Maya semakin heran dengan cerita Bi Munah. Sepertinya ada yang aneh dari Andini. Satu notif pesan masuk ke ponselnya membuat Maya mmbatalkan niat untuk mengorek lebih jauh tentang Andini.
"Bik, maaf ya. Saya harus berangkat sekarang. Bibik yang sabar ya, Bibik bersihkan dulu pecahan piring ini, nanti sore setelah saya pulang kita bicarakan lagi soal ini. Sekarang ada hal penting yang harus saya kerjakan," pamit Maya, lalu bergegas menuju mobil.
Mang Darto menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk Kafe Biru, tempat yang disepakati Kevin untuk pertemuan mereka pagi ini. Kafe Biru memang benar-benar berwarna biru, mulai dari warna dinding, meja kursi, lampu, hiasan, dan pernak-perniknya semua bernuansa biru. Begitu masuk ke dalam kafe mereka disambut musik slowrock yang mengalun pelan. Membuat para pengunjung betah berlama-lama duduk sambil mengobrol dengan teman ataupun rekan kerja. Maya dan Reynand berjalan beriringan menuju meja resepsionis. "Atas nama Bapak Kevin?" tanya Reynand pada pelayan di situ. "O iya, Bapak Kevin sudah menunggu di ruang VVIP, mari saya antar," jawab pelayan itu ramah. Mereka dibawa masuk ke arah pintu sebelah kiri kafe, melewati beberapa gazebo out door dan ruang meeting. Mereka tiba pada sebuah ruangan tertutup dengan pernak-pernik bulan dan bintang yang juga berwarna biru tua. "Silahakan Tuan ... Nyonya. Bapak Kevin sudah menunggu di dalam," kata pelayan itu. "Terima kasih," jawab Maya da
Reynand duduk di depan Maya sambil membolak-balik berkas kerjasama dengan Kevin. Dia tidak berani banyak bicara karena nona mudanya sedang merajuk."Nona, jangan marah begini-lah. Saya minta maaf," kata Reynand pasang muka memelas.Saat ini mereka sudah berada di kantor seusai acara sarapan di Kafe Biru bersama Kevin.Maya diam, masih terus menandatangi berkas-berkas yang menumpuk di mejanya tanpa mempedulikan kata-kata Reynand."Pak Kevin berpesan kepada saya untuk menyampaikan seperti itu. Dia ingin melihat berkas kerjasama untuk mengetahui sudah sejauh mana pengerjaan proyek ini.""Dan kamu mengiyakan begitu saja?""Saya tidak tahu kalau ternyata bukan berkas itu yang Pak Kevin inginkan. Sumpah, Nona. Beneran saya tidak tahu."Maya menaruh berkas ditangannya agak sedikit kasar dan menatap tajam asistennya. Reynand blingsatan, dia menunduk salah tingkah."Diam kamu, lain kali kalau ada appointment konfirmasi dulu. Selalunya kan juga begitu, Rey. Atau jangan-jangan kamu kerjasama ya s
"Mama ...?" Maya kaget melihat Mama Widya berada di dalam ruang Bram."Kok Mama ada di sini? Ngapain?"Maya heran karena tidak biasanya ibu tirinya itu datang ke kantor. Widya memang salah satu pemegang saham di perusahaan tapi bukan tipe yang suka mencampuri urusan pekerjaan.Justru cenderung malas berurusan dengan seluk beluk perusahaan. Dia hanya datang ketika ada rapat pemegang saham saja. Selebihnya semua urusan pekerjaan dia serahkan ke staf-stafnya. Jadi agak mengherankan ketika tiba-tiba mama tirinya itu berada di kantor sepagi ini.Semenjak ditemukan fakta bahwa obatnya mengandung racun, Maya memang mulai berhati-hati dengan siapapun. Biarpun itu keluarganya sendiri. Maka tidak salah jika sekarang Maya juga menaruh curiga terhadap mama tirinya.Entah apa yang sedang direncanakan oleh Widya dan suaminya, yang jelas saat ini Maya harus waspada."Oo ini Mama lagi ada perlu sebentar sama Bram. Tadi Mama nyari di rumah nggak ada, kata Bi Munah suamimu ini berangkat pagi, jadi Mama
Pagi ini Reynand berkunjung ke rumah sakit menemui dr. Wira. Selain menanyakan keadaan Maya, ada sesuatu yang harus dia kerjakan di ruangan ayah angkatnya itu."Tumben kesini nggak ngabari, Rey. Apa ada sesuatu yang mendesak?" tanya Dokter Wira."Oo ... iya ini, Om. Cuma mampir bentar kok. Rey bawa bunga Sansivera ini, katanya sih bagus. Bisa untuk penyegar ruangan. Saya taruh di rak kecil itu aja ya, Om. Yang deket lemari," kata Reynand bangkit lalu meletakkan satu pot kecil tanaman Sansivera disebuah rak menghadap meja Dokter Wira.Pot yang sama dengan yang dia taruh di kamar Maya tempo hari. Tanpa Dokter Wira ketahui, ada sesuatu dalam pot Sansivera mini itu."Mau nanya kondisi, Nona Maya sih sebeneenya ,Om. Kemarin siang badannya gemetaran lagi, padahal obat dari Om sudah diminum.""Ya seperti racunnya Rey, obat penetralisir itu juga bekerja bertahap. Kamu bantu kontrol aja. Makan harus teratur, istirahat yang cukup, jangan terlalu capek, dan situasi hatinya harus benar-benar dijag
Kevin pamit pulang dengan meninggalkan tanya di hati Maya. Dia pamit tepat lima menit sebelum meeting dimulai.Maya berfikir untuk menanyakan kepada Kevin setelah urusan kantornya selesai. Meeting kali ini banyak menguras emosi karena Bram tidak hadir."Maaf, Bu Maya. Pak Bram tidak bisa hadir," lapor Karin, sekretaris Maya."Pak Bram kemana memangnya, Karin?""Kurang tahu, Bu. Tasya yang meminta ijin bahwa Pak Bram tidak bisa hadir.""Ya sudah, kita lanjut saja. Nanti biar saya yang ngubungi Pak Bram."Entah kemana keberadaan suaminya itu. Maya coba menelfon tapi jawaban mengecewakan yang dia dapatkan."Halo, Mas. Lagi di mana? Ini meeting sebentar lagi loh," ucap Maya ketika sambungan telfon terhubung."Aduuh, Maya. Kan aku udah pesen sama Tasya aku nggak bisa hadir, lagi ada acara.""Acara apa sih, Mas. Reynand bilang Mas sering banget keluar kantor untuk urusan yang nggak jelas.""Ah Reynand lagi Reynand lagi, sok tahu dia itu.""Tapi ini penting, Mas.""Ah sudahlah! Aku sibuk, May
Maya bergidik sendiri, tidak pernah menyangka Andini akan berbuat kotor seperti itu. Dia ragu antara mau mendekat atau membiarkan saja, karena itu adalah kehidupan pribadi Andini.Tapi tunggu ... sepertinya Maya tidak asing dengan suara lelaki yang bersama Andini. Dadanya bergemuruh, suara itu mirip suara Mas Bram.Tapi, rasanya tidak mungkin. Benarkah Mas Bram yang sedang bersama Andini?Gemuruh di dadanya mendorong Maya untuk mendekat ke kamar Andini. Dia berjalan pelan agar tidak terdengar. Maya memejamkan mata untuk mengumpulkan kekuatan ketika sampai di depan kamar.Maya sudah memegang knop pintu ketika tiba-tiba ada seseorang yang menarik Maya untuk menjauh dari kamar Andini. Maya membalikkan badan."Bik Munah?!" kata Maya setelah tahu siapa yang menarik tangannya."Ssssst ... jangan keras-keras, Non. Nanti ketahuan," kata Bi Munah sambil menutup mulutnya dengan jari telunjuk sebagai isyarat agar Maya tidak terlalu berbicara keras."Bik ... apa-apaan ini Bik? Bik Munah tahu siapa
"Oh ini ... bukan apa-apa, Nona. Hanya kalung biasa," jawab Reynand sambil memasukkan kalung itu ke dalam kaos putihnya."Tapi aku sepertinya tidak asing dengan kalung itu, boleh aku lihat, Rey?" Maya masih penasaran dengan kalung itu."Pastilah tidak asing. Kalung seperti ini di pasar kan banyak, Nona.""Bukan di pasar malam. Tapi beneran deh aku sepertinya pernah lihat. Kenapa sih disembunyikan?""Mmmhhh ... sebenarnya ini kalung dari ...." jawab Reynand ragu."Ooo aku tau, itu kalung dari Ijah ya?""Nah i-iya, Nona. Betul dari Ijah, buat pengobat rindu katanya he he ...," jawab Reynand cengengesan seperti menemukan alasan yang tepat.Maya terlihat masam dan Reynand tersenyum tanpa Maya sadari.Mereka melangkah lagi menyusuri pantai, tapi pikiran Maya masih tertuju pada kalung Reynand. Masalah dengan Bram justru bisa sedikit teralihkan.Maya menghentikan langkah dan menghadap Reynand."Tunggu ... itu tadi pakai liontin bintang kan ya?"Reynand mendengus kasar. Niat hati ingin mengali
Maya mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir deguban jantungnya yang semakin kencang. Reynand meringis kesakitan terkena patahan kayu dari bangku yang roboh tadi."Ups ... M-maaf, maaf ..." Maya lalu bangun dan membersihkan pasir-pasir yang menempel di bajunya.Reynand ikut berdiri lalu mengibaskan tangan untuk membersihkan pasir di celana dan jaketnya. Tapi tangannya tidak bisa menjangkau bagian punggung."Sini, aku bantu." Tanpa menunggu persetujuan Maya membersihkan punggung Reynand. Dia masih diam. Rupanya kejadian tiba-tiba ini lumayan mengacaukan perasaannya juga.Reynand mebalikkan badan dan kini berhadapan dengan Maya. Sesaat lamanya mata mereka bertemu lagi. Keduanya saling diam dan hanya perasaan saja yang bicara.Reynand perlahan memegang pipi Maya, menelusupkan jari ke sela-sela rambutnya yang panjang terurai. Lalu dengan pelan dia mulai mendekatkan wajahnya.Maya semakin gemetaran. 'Tuhan ... apa yang akan dia lakukan? Ah tidak, ini tidak benar. Namun, hatiku en