Setelah diancam akan digauli di meja makan, Elea akhirnya menyantap sarapannya juga. Setelah sebelumnya izin terlebih dahulu ke kamar mandi untuk membasuh muka dan dia menemukan banyak bekas ciuman yang pria itu tinggalkan di tubuhnya.
Tak heran. Semalam pria itu menggaulinya seperti binatang liar. Seolah menumpahkan seluruh hasratnya yang selama sebulan ini tidak bisa tersalur akibat yang menjadi tumpahan hasratnya nekat melarikan diri. Meskipun hanya sebulan saja Elea bisa menjauh dari pria itu. Elea berusaha fokus pada hidangan di hadapannya. Meskipun begitu, dia bisa merasakan tatapan Rendra terus tertuju ke arahnya. Menatapnya yang tengah makan dengan ogah-ogahan. Yang sebelumnya merasa lapar, berubah langsung kenyang hanya dengan duduk sarapan bersama pria itu. "Makan dengan benar, Elea," titah Rendra dingin. Ucapan itu bagaimana angin lalu. Karena Elea tetap menunjukkan sikap yang sangat tidak sopan. Dia mengunyah sambil memasang ekpresi seolah begitu muak berada di sana. "Makanannya tidak enak?" Lagi-lagi, Elea tidak ada keinginan untuk menjawab. Untuk menatap Rendra sedikit pun tidak. Dengan tidak adanya lagi suara penuh otoritas terdengar dari pria di hadapannya, Elea pikir Rendra akan membiarkannya makan sesuai kemauannya sendiri. Namun, sesaat kemudian, Elea langsung mengangkat kepala cepat mendengar Rendra sedang berbicara di telepon dengan asisten pribadinya. "Haris? Panggilkan koki yang membuat sarapan untuk Elea — " "Tuan!" " — sepertinya Nona Elea tersayang tidak menyukainya." Napas Elea tercekat, matanya membola, melihat Rendra sudah memutuskan panggilan telepon sebelum dia meminta agar pria itu tidak usah memanggil koki yang menyiapkan sarapan untuk mereka. "Tuan — " "Kamu tahu betul, Elea. Aku tidak suka orang yang tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan benar. Koki yang menyiapkan sarapan ini tidak bisa membuat kamu makan dengan baik, jadi tentu aku harus memberinya sedikit arahan, kan?" "Makanannya enak," sahut Elea cepat. Kemarahannya kali ini bercampur dengan ketakutan. Mengingat bagaimana sosok Rendra dan pengaruhnya, dia khawatir koki yang dimaksud kehilangan pekerjaannya hanya karena dirinya yang membuat pria itu kesal. "Bagaimana bisa aku tahu kamu sungguhan menyukai makanannya atau takut koki itu kehilangan pekerjaan karena tidak bisa membuat sarapan — " "Nggak," sela Elea cepat. "Makanannya beneran enak. Liat, aku bisa memakannya dengan baik." Dia menyantap sarapannya dengan lahap yang sebelumnya dimakan dengan ogah-ogahan. Rendra menyilangkan tangan di dada. Menatap Elea dengan salah satu sudut bibir tertarik, jelas sekali menikmati bagaimana perempuan itu menuruti perintahnya untuk makan dengan benar. Meskipun cara agar perempuan itu mau menurut selalu sama. Diancam. Dibuat takut. Rendra bertanya-tanya, apa dia harus terus membuat Elea takut terlebih dahulu agar mau mendengarkan perkataannya? "Jangan pecat koki itu," pinta Elea setelah makanan yang dilahapnya tertelan habis. "Jangan membuat orang lain menanggung akibatnya karena sikap kamu yang gila," ucapnya berani. Matanya kembali menyala-nyala oleh api kemarahan. Seringai Rendra terbit semakin lebar. Sebelum kekehannya yang ringan meluncur keluar. Kekehan yang buat Ela sontak menggenggam garpu di tangannya erat. "Senang bisa mendengar kamu memaki lagi, Lea." Rendra menyahut dengan santai. Alih-alih marah, dia justru terhibur dengan makian itu. "Tapi, Lea," pria itu melanjutkan ucapannya dengan lamat-lamat. Memanggil nama Lea dengan nada bicara yang janggal, "bukan salahku seandainya koki itu kehilangan pekerjaannya. Kamu yang tidak menyukai makanannya — " "Aku suka!" sela Elea cepat. "Aku bilang aku suka." "I'm not sure." Rendra menggeleng santai. "Reaksi pertama biasanya lebih jujur." "Aku bukan tidak suka dengan makanannya. Tapi, aku tidak suka dengan siapa aku makan," balas Elea berani. Dia lebih baik melawan karena diam pun hanya membuat pria itu semakin gencar membuatnya tersiksa. Sementara jadi penurut... Elea tidak lagi ingin menjadi orang yang mudah untuk Rendra mainkan seenaknya. Rendra tergelak. Seolah kebencian Lea kepadanya adalah sesuatu yang sangat lucu. "Memangnya sejak kapan kamu suka makan dengan aku, Lea? Sejak dulu pun kamu begitu. Ayolah, Lea. Jangan terus memberi aku informasi yang aku tahu betul." Elea menggertakkan gigi geram. Matanya kembali berkilat-kilat oleh amarah. Sementara Rendra balas menatapnya dengan santai — di balik cangkir teh yang tengah disesapnya. Dasar gila. Batin Elea mengumpat berulang kali. "Kalau sudah tahu, kenapa Tuan mengira aku tidak suka makanannya padahal yang tidak aku suka adalah Tuan sendiri?" Rendra kembali menyimpan cangkir tehnya dengan ketenangan yang buat Elea geram. "Sederhana saja, Elea. Aku hanya suka melihat kamu ketakutan." Orang gila. Bersamaan dengan itu, pintu terdengar diketuk dari keluar. "Tuan. Kokinya sudah ada di sini." Elea menatap ke arah pintu dengan bola mata membulat terkejut. Sementara Rendra menyeringai tipis, lagi-lagi menikmati ekspresi Elea yang tampak cemas. "Sepertinya ada orang yang membutuhkan arahanku." "Tuan!" Elea berseru dengan napas tercekat. Ikut berdiri ketika pria di hadapannya bangkit dari duduknya. "Jangan pecat koki itu, aku mohon." "Kamu akhirnya ingat caranya memohon, ya," balas Rendra menyeringai puas. "Tapi, kamu melupakan satu hal lagi." Apa lagi? "Aku mungkin akan mengabulkan permintaanmu seandainya kamu sudah mengingat hal yang kamu lupakan itu." Elea menggigit bibir. Memilin ujung kemeja yang dipakainya dengan cemas, seiring dengan matanya melihat langkah Rendra menuju ke arah pintu keluar. Di tengah rasa panik yang menjalar, otaknya justru tidak bisa diajak berpikir dengan benar. Sebenarnya pria gila itu ingin dia mengingat hal apa sih? Tidak bisa memikirkan hal apa pun, Elea akhirnya memutuskan menghadang langkah pria itu. "Aku minta maaf." Elea merasa mual ketika mengucapkan permintaan maaf yang tidak sudi dia lakukan. Namun, dia harus melakukannya dibanding orang yang tidak bersalah menjadi korbannya. "Tuan, aku minta maaf," mohonnya, berusaha terlihat semenyesal mungkin. Elea semakin putus asa ketika melihat Rendra tidak menunjukkan ekspresi puas dengan permohonan maafnya. Pria itu justru menatapnya dengan dingin. Seperti... bukannya meredakan kesalahan, dia malah semakin memperburuknya. Apa sekarang permintaan maafnya pun salah bagi pria itu? "Tuan?" Rendra masih bergeming. Tetap menatapnya dingin tanpa ekspresi. Perbedaan tinggi badan mereka buat aura mengintimidasi pria itu memancar begitu kuat. Elea melipatkan bibir ke dalam. Dia sudah memikirkan satu hal yang kemungkinan Rendra maksud dia melupakannya. Namun, dia ragu apakah memang itu yang Rendra maksud? Mungkin rasanya akan malu seandainya memang bukan hal itu yang Rendra maksud, tapi Elea akan mencobanya. "... Mas?" Nada bicara Elea kentara sekali ragu-ragu. "Bilang yang jelas." "Mas." Ketika panggilan itu keluar dari mulutnya dengan lebih jelas, Elea dapat menangkap salah satu sudut bibir Rendra tertarik tipis. "Apa?" Ternyata benar. Itu hal yang dia lupakan. Elea memang ingat, Rendra pernah bilang tidak suka dipanggil Tuan olehnya. Entah kenapa padahal kenyataannya pria itu memang tuannya. Entah secara harfiah atau secara orang yang menguasai hidupnya. "Jangan pecat koki itu, aku mohon. Makanannya enak. Aku suka." Elea rela memohon berulang kali, padahal salah satu keinginannya adalah tidak pernah memohon lagi kepada pria itu. "Call me that again." "Mas." "Beg." "Aku mohon, Mas." Rendra menyeringai puas. Pria itu tiba-tiba merunduk, meraih dagu Elea, dan mencium bibir perempuan itu. Elea berusaha mendorong tubuh kekar Rendra ketika ciuman pria itu mulai mendesak, seolah tidak ingi menyudahinya cepat-cepat. "Mas, Pak Haris nungguin — " Kalimat Elea belum selesai ketika Rendra sudah kembali menyambar bibirnya dengan tidak sabaran. Tubuh Elea bahkan ditarik untuk merapat. Satu tangan pria itu berada di bawah punggungnya dan satu lagi menahan tengkuknya. Ketika ciuman Rendra berjalan semakin menuntut. Tangannya pun mulai bergerak ke mana-mana. Elea berjengit merasakan tangan pria itu masuk ke dalam kemejanya, meraba paha dalamnya di mana dekat dengan area intimnya yang tidak memakai pelindung apa pun. Elea mencengkeram kuat pergelangan tangan pria itu bersamaan dengan ciuman teurai karena Elea hampir kehabisan napas. "Mas, sudah!" Napas Elea terengah. Menatap pria itu, kali ini berharap belas kasihnya. Elea tidak mengerti kenapa Rendra selalu bernafsu kepadanya. Lihatlah tatapan pria itu sekarang. Menatapnya dengan matanya yang gelap dan lapar, seolah dia adalah santapan paling lezat. "Kamu bilang aku harus makan. Aku masih lapar sekarang." Elea menggunakan kesempatan itu untuk membuat Rendra mau melepaskannya. Berhasil. Meskipun tampak enggan, Rendra akhirnya membiarkan Elea kembali menikmati sarapannya. "Mas, kokinya — " "Iya, Elea," potong Rendra terdengar jengkel. "Tidak usah terlalu mengkhawatirkan orang lain seperti itu," decaknya sinis. Rendra menghubungi asisten pribadinya, Haris, mengatakan jika Elea menyukai sarapan yang dibuat koki itu. Tanpa perlu dijelaskan maksudnya, asistennya pasti sudah paham apa yang harus dilakukan. Elea diam-diam menghela napas lega. Ketika kembali tersadar pada akhirnya dia kembali terjebak dengan pria yang ingin dia hindari jauh-jauh, Elea rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Saat Lea sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, mencari cara agar tidak terus hidup di bawah dominasi sang tuan gila, suara si tuan memecah hening. "Bagaimana hidup tanpa aku, Lea?" "Sangat baik," jawab Lea tanpa sungkan. Rendra sontak menyeringai. Lihatlah perempuan itu. Setelah permintaannya dituruti, dia kembali bersikap sombong. "Oh ya?" Nada bicara Rendra jelas sekali sarat mengejek. "Sangat baik sampai kamu harus kerja sana-sini." Elea mengernyitkan kening. "Kamu menyuruh orang untuk mengawasiku?" tanyanya berang. "Kenapa harus kaget seperti itu, Lea?" Rendra menyeringai sarat penuh kepuasan dan ejekan. "Jelas sekali aku tidak mungkin membiarkan sesuatu yang sudah jadi milikku hilang dari pengawasanku." "Aku tidak pernah jadi milik kamu." Elea menggeram di antara giginya yang terkatup rapat. Rendra terkekeh. Jelas sekali menganggap pemberontakan Elea adalah hiburan baginya. "Katakan itu kalau kamu sungguhan bisa pergi tanpa bisa aku temukan." Bajingan gila. Sejujurnya Elea memang tidak kaget Rendra menyuruh orang untuk mengawasinya. Selama mengenal Rendra dan obsesinya, pria itu sangat mungkin melakukannya. Hanya saja dia merasa semakin miris saja pada dirinya sendiri. Itu artinya selama sebulan ini dia tidak benar-benar bebas dari pria itu. Hanya karena pria itu belum menemukannya, bukan berarti pria itu tidak mengetahui keberadaannya. Pria itu sungguh mengejeknya. Sialan sekali. Saat Elea sedang memaki-makinya dalam hati, suara pria itu kembali terdengar. "Kamu mau tahu caranya pergi tanpa bisa aku temukan?" Rendra bertanya dengan nada main-main. Sudut bibirnya berkedut dan matanya berkilat jenaka. "Tidak ada." Pria itu tertawa, membuat Elea sontak merinding ngeri. "Bahkan kematian sekali pun tidak akan bisa membuat kamu lepas dari aku, Lea." "...." "Hidup atau mati, kamu akan selalu bersamaku." Elea sungguhan kehabisan kata-kata untuk menanggapi kegilaan pria itu. Jadi, yang bisa dia lakukan hanya mengepalkan tangan erat sampai buku-buku jarinya memutih. Jika tahu dia akan menjadi objek dari obsesi pria itu, dia mungkin tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di rumah pria itu. Apalagi untuk tinggal yang membuatnya harus menghadapi obsesi pria itu yang semakin parah seiring dia bertambah dewasa. [] a.n: fyi, umur lea sekarang 20 tahun, sementara rendra 28. lea pertama kali tinggal di rumah (mansion) keluarga rendra pas umur 16 tahun.Elea tergolek pasrah ketika Rendra melepaskan kain yang menempel di tubuhnya satu persatu hingga tubuh telanjangnya menjadi sasaran mata penuh nafsu Rendra berlabuh.Sejak Rendra membaringkannya di tempat tidur, Elea tidak sekalipun menatap ke arah pria itu. Sekarang pun, dia masih mempertahankan wajahnya menoleh ke samping. Sorot matanya yang tampak kosong dan lelah buat Rendra terusik. Elea memang seringkali mengabaikannya. Bukan sering lagi, selalu. Perempuan itu selalu mengabaikannya.Jika biasanya Rendra mengatasi pengabaian itu dengan ancaman. Dan menganggap pengabaian Elea adalah hal yang menawan dan justru menganggapnya hiburan, karena sekeras apa pun Elea mengabaikannya, dia tidak akan benar-benar lepas dari genggamannya.Namun kali ini, Rendra lebih terusik dari biasanya.Dia merasa marah. Di saat yang sama ada emosi lain yang dia rasakan. Namun, Rendra meragukan yang dia rasakan sekarang tidaklah hanya marah. Tepatnya menyangkal jika ada emosi yang lebih utama akibat diab
Meskipun Pak Haris tidak mungkin berani melihat ke belakang barang sedikit saja, namun Elea tetap tidak menginginkan Rendra menjamahnya di mobil. Elea tahu seberapa pun dia tidak menginginkan Rendra, sentuhan pria itu bisa buatnya mengeluarkan suara tidak senonoh yang pasti akan sangat memalukan jika didengar orang lain. Sebabnya Elea terus merengek, memohon Rendra tidak melanjutkan. Namun, permintaannya sama sekali tidak didengar. Justru semakin Elea merengek dan memohon, Rendra justru kian menikmatinya. Hasrat yang selama ini dia tahan-tahan selama sebulan sudah tidak bisa ditahan lagi. Rendra menurunkan lengan baju Elea setelah berhasil membuka kancingnya. Dia menaburkan kecupan di sepanjang tulang selangkanya yang indah. Elea menggigit bibir keras-keras, menahan desahannya agar tidak lolos, ketika Rendra memijat-mijat buah dadanya selagi menciumi bahu dan lehernya. Memalukan. Sungguh memalukan. Dilecehkan saat ada orang lain bersama mereka, buat Elea merasa semakin di
Saat itu, empat tahun yang lalu, di umurnya yang baru 16 tahun, Elea menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di mansion keluarga Kartanegara. Hal pertama yang melintas di pikiran Elea ketika melihat mansion itu untuk pertama kalinya adalah... betapa tidak adilnya dunia. Saat dirinya kehilangan rumah, saat banyak orang yang harus bertahan hidup di bawah jembatan atau tidur beralas kardus di jalanan, di sini ada sebuah keluarga yang memiliki rumah sebesar ini. Bukan sekadar rumah, tapi mansion raksasa yang berdiri anggun dan megah di atas tanah beribu-ribu hektar luasnya. Dikelilingi pohon-pohon rindang, tumbuh-tumbuhan hijau, bunga-bunga yang cantik. Sangat indah, sangat memanjakan mata, di saat yang sama ada keluarga yang harus tinggal berdesakkan di pinggiran kumuh kota. Elea pikir, mansion seperti milik keluarga Kartanegara hanya terdapat di drama-drama, film-film atau cerita-cerita fiksi saja. Cara pandang Elea mungkin terlalu sempit atau mungkin dia hanya menolak percaya saj
Setelah diancam akan digauli di meja makan, Elea akhirnya menyantap sarapannya juga. Setelah sebelumnya izin terlebih dahulu ke kamar mandi untuk membasuh muka dan dia menemukan banyak bekas ciuman yang pria itu tinggalkan di tubuhnya.Tak heran. Semalam pria itu menggaulinya seperti binatang liar. Seolah menumpahkan seluruh hasratnya yang selama sebulan ini tidak bisa tersalur akibat yang menjadi tumpahan hasratnya nekat melarikan diri. Meskipun hanya sebulan saja Elea bisa menjauh dari pria itu. Elea berusaha fokus pada hidangan di hadapannya. Meskipun begitu, dia bisa merasakan tatapan Rendra terus tertuju ke arahnya. Menatapnya yang tengah makan dengan ogah-ogahan. Yang sebelumnya merasa lapar, berubah langsung kenyang hanya dengan duduk sarapan bersama pria itu."Makan dengan benar, Elea," titah Rendra dingin.Ucapan itu bagaimana angin lalu. Karena Elea tetap menunjukkan sikap yang sangat tidak sopan. Dia mengunyah sambil memasang ekpresi seolah begitu muak berada di sana."Mak
Elea terkapar lemas tidak berdaya.Napasnya terengah. Wajahnya banjir oleh keringat yang bercampur dengan jejak air mata yang sudah mengering.Elea memejamkan mata. Samar-samar, dia mendengar suara air yang mengalir dari kamar mandi. Berpikir pria yang baru saja menggaulinya tengah mandi, Elea ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi. Sayangnya tubuhnya terlalu lemas untuk digerakkan. Kakinya bahkan masih terasa bergetar. Pun di dalam tubuhnya masih terasa mengganjal seperti ereksi pria itu masih tertanam di dalam dirinya. Padahal satu-satunya yang ingin Elea lakukan adalah pergi, bergelung di bawah selimutnya sendiri. Berharap pria itu tidak menemukannya lagi.Saat Elea pikir pria itu tengah mandi, suara samar air yang mengalir tidak lagi terdengar. Disusul suara langkah kaki yang mendekat dan kasur yang ditempatinya bergerak pelan, pertanda ada seseorang yang mendudukinya.Elea masih betah memejamkan mata. Tidak ingin tahu apa yang kemungkinan sedang Rendra lakukan sekarang.