LOGINJantung Sora berdebar kencang. Tangannya mulai menjauh dari buku lalu menoleh ke arah pintu.
Apakah dia harus membukanya? Ketukan itu kembali terdengar disertai suara perempuan dari balik pintu. “Nona Sora.” Sora menarik napas lega. Ternyata, itu adalah pelayan di rumah ini. “Ya?” sahut Sora, sambil berjalan ke arah pintu. Begitu pintu terbuka lebar, pelayan perempuan itu segera memberitahu, “Tuan Durand meminta Anda datang ke ruangannya, Nona.” Perasaan takut kembali menggerogoti hatinya. Namun, ia tak dapat menolak perintahnya. Sora mengangguk lalu mengikuti langkah pelayan itu, membawanya ke ruangan Durand. Mereka harus melewati lorong interior yang mewah dengan gaya klasik. Langit-langit tinggi berwarna putih mewah dihiasi ukiran stucco emas yang mahal. Di ujung sana, pintu ganda berwarna coklat tua dan dihiasi ukiran rumit berwarna emas. Semakin mereka dekat dengan pintu itu, ritme jantung Sora semakin kencang. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan dan bayangan buruk perlakuan Durand padanya. Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan pintu. Pelayan mengetuk, memberitahu bahwa Sora bersamanya. Pelayan membuka pintu, lalu mempersilahkan Sora untuk masuk. Di dalam sana, Durand sudah menunggunya. Duduk di kursi kulit empuk. Ia mengenakan kemeja putih, rompi hitam tanpa dasi. Posisi duduknya santai, dengan salah satu kakinya menyilang dan kedua tangan bertumpu di atas perutnya. Wajahnya tenang, matanya lurus menatap ke depan. Pintu kembali ditutup. Perlahan, Sora berjalan mendekat dengan perasaan gugup. Sementara Durand hanya diam dan mengamati. Sora berdiri di dekat perapian, tak berani bersuara lebih dulu. “Papamu meninggalkan itu untukmu,” kata Durand, menunjuk ke arah kotak kayu di atas meja melalui matanya. Dari Papa? Untukku? Sora menatap ke arah kotak dengan mata berkaca-kaca. Di dalam kotak itu berisi kalung emas, dan memiliki pola pilin. Memiliki liontin kecil berbentuk lingkaran, terdapat berlian di tengah dan berlian kecil melingkarinya. Sora ingin mengajukan pertanyaan lebih dulu, tetapi teringat akan peraturan pria itu. Ia hanya bisa diam, tatapan matanya terus berganti antara Durand dan kalung tersebut. Durand bisa mengerti arti tatapan Sora. Tatapan kerinduan. Ia pun berdiri, lalu mendekat ke arah wanita itu. “Sora …,” panggilnya di sela-sela langkahnya. Sora mendongak. Matanya bertemu dengan mata Durand. Durand tersenyum tipis dan penuh arti. “Aku punya tawaran menarik untukmu.” Kening Sora berkerut, ekspresinya campuran penasaran dan ketakutan. Hatinya mengatakan … itu bukan sesuatu yang baik. Tak! Durand berdiri tepat di depannya, lalu mengeluarkan kotak kecil dalam saku celananya. “Pilih kalung, atau cincin ini? Pilih yang kau sukai. Tunjukkan bahagiamu atas kemurahan hatiku untukmu.” Sora diam mengamati. Ia menyadari bahwa tawaran itu adalah jebakan untuknya. Ia sangat sadar, jika menolak pemberian Durand adalah kesalahan besar, tetapi rasa rindunya terhadap papanya lebih besar daripada rasa takutnya. Sora menunjuk, dan berkata, “Kalung itu, Tuan.” Durand tersenyum miring, matanya menunjukkan kilatan kebencian. Untuk pertama kali tawarannya mendapat penolakan. Terlebih lagi, yang berani menolak hanyalah seorang yatim piatu. Yatim piatu yang di bawah kekuasaannya. Yatim piatu yang memiliki kasta jauh di bawahnya. Harga dirinya terluka. “Kau ingin mengambilnya?” tanya Durand. Meski suaranya pelan, Sora merasakan bulu kuduknya meremang. Sora mengangguk kikuk. Melalui tatapan matanya, Durand mengizinkan Sora mengambil kalung peninggalan papanya. Dengan perlahan, ia mendekat dan mengambil kalung tersebut. Namun, sayang seribu sayang. Sebelum tangannya benar-benar menyentuh kalung itu, Durand lebih dulu mengambilnya dengan gerakan cepat. “Tuan … itu milik–” “Kau sudah melanggar aturan, Sora,” potong Durand, sembari mengangkat kalung tersebut di depan wajahnya. “Kau bersuara tanpa izin. Kau bertindak sesuka hati di dalam rumahku.” Durand menyembunyikan kalung itu di balik punggungnya. Dengan gerakan pelan, kakinya bergerak maju, membuat Sora melangkah mundur selangkah demi selangkah. “Kau berada di sini karena rasa hutang yang memuakkan!” kata Durand, di sela langkahnya. “Aku membiarkanmu tinggal di sini bukan karena kebaikan, tapi untuk mengendalikan setiap ancaman yang kau bawa.” Sora melangkah mundur dengan panik. Ucapan Durand bagai belati yang menusuknya. Ia yang seharusnya diperlakukan dengan baik, justru diperlakukan seperti beban dan ancaman. Durand membenci rasa hutang dengan keberadaan Sora di sana. Hanya jasa konyol yang menuntut balas budi. Tatapan Durand tak lepas dari Sora. “Kau di sini bukan untuk dimanjakan. Kau hanyalah beban, Sora.” Langkahnya terhenti dekat perapian. Ia kembali mengangkat kalung tersebut. “Kau menginginkan kalung ini, ‘kan?” Sora tak memerdulikan lagi aturan yang dibuat Durand untuknya. Yang terpenting saat ini hanyalah barang peninggalan sang papa. Hanya itu satu-satunya yang tersisa untuknya. “Tolong berikan padaku, Tuan,” ucap Sora memohon. Mendengar permintaan tulus Sora tak membuat Durand ibah. Senyum jahat mengembang di wajahnya. “Inilah tempat peninggalan Papamu yang seharusnya.” Durand melemparkan kalung itu ke dalam perapian yang menyala. Pandangan Sora mengikuti arah jatuhnya kalung itu. Kalung itu jatuh di dalam kobaran api yang panas. “Tidak!” Sora meraung keras. Suaranya menjadi jeritan yang menyakitkan. “Kenapa Anda membuangnya?!” “Papa …!” Sora berlutut di depan perapian, menangis tersedu-sedu. Tangannya terulur ke dalam api. Dalam waktu singkat, ia kembali menarik tangannya. Panas! Tak ada rasa bersalah sedikitpun dari Durand. Justru, ia menertawakan tindakan Sora yang tampak konyol. “Apa kau ingin menunjukkan padaku kekuatan supermu?” Kedua tangannya tersumpal di dalam saku celananya. Ia berdiri menatap Sora yang meraung sesenggukan. Tangisan Sora tak kunjung berhenti. Satu-satunya peninggalan papanya … lenyap. Ia tahu betapa Durand tidak menyukainya, tetapi, apakah pria itu ada hak membuang barang miliknya? Durand tetap di posisinya. Ia tak mendekat, tetapi ucapannya membuat amarah Sora meledak. “Kau meratapi sampah Papamu?”Anak buah yang dikenal Stepan itu sedikit membungkuk. “Maafkan saya, Tuan.” Durand adalah Tuan Muda Volkov yang terkenal intimidasinya dan ketidakmudahan. Di mata semua orang, ia seperti gunung es yang tak tersentuh. Sejak kecil, ia tidak dikenalkan dengan kelembutan, melainkan tentang perintah dan hukuman. Ia dibesarkan dengan bayang-bayang disiplin militer yang ketat dan keras. Akhirnya, ia tumbuh menjadi sosok yang kaku, tanpa belas kasih dan dingin. Kelembutan dan kehangatan adalah bahasa yang tidak pernah ia pelajari.Semua pekerja di Mansion harus menuruti semua aturannya yang tak tertulis. Ia tak menerima kesalahan sekecil apapun. Satu kali melakukan kesalahan, maka hukuman harus diterima. Namun, Stepan adalah satu-satunya orang yang bisa berbicara leluasa dengan Durand. Satu-satunya orang yang boleh melanggar aturan tak tertulisnya karena informasi yang ia bawa menentukan nasib semua orang. “Katakan,” ucap Durand tak menoleh. Ia mengambil satu batang rokok, menjepitnya
Ucapan tajam Durand itu langsung menembus hatinya. Seketika air matanya berhenti, digantikan kepalan tangan erat. Api di perapian itu memantul di matanya, seolah kobaran itu adalah bentuk amarahnya yang siap membakar Durand. Kini, matanya bukan lagi menggambarkan kesedihan, tetapi kemarahan dan kebencian. Ia bisa menerima semua bentuk hukuman Durand untuknya. Namun, untuk kali ini, Sora tak bisa menerima perlakuan pria itu padanya. Sora bangkit dengan perlahan. Matanya menatap ke arah Durand. Tatapan ketakutan itu kini menjadi tatapan kebencian yang baru lahir. Ia tak lagi peduli dengan semua aturan pria itu. “Saya tahu jika barang itu hanya sampah di mata Anda, Tuan. Tapi, apakah Anda berhak membuang barang milik orang lain?!” Sora menaikkan suaranya satu oktaf. Durand terdiam. Alisnya sedikit terangkat melihat kemarahan Sora. Sora tersenyum sinis, kemudian melanjutkan, “Anda membuktikan betapa besarnya kekuasaan Anda hingga membakar satu-satunya kepingan emas milik Yatim Piat
Jantung Sora berdebar kencang. Tangannya mulai menjauh dari buku lalu menoleh ke arah pintu. Apakah dia harus membukanya?Ketukan itu kembali terdengar disertai suara perempuan dari balik pintu. “Nona Sora.”Sora menarik napas lega. Ternyata, itu adalah pelayan di rumah ini. “Ya?” sahut Sora, sambil berjalan ke arah pintu. Begitu pintu terbuka lebar, pelayan perempuan itu segera memberitahu, “Tuan Durand meminta Anda datang ke ruangannya, Nona.” Perasaan takut kembali menggerogoti hatinya. Namun, ia tak dapat menolak perintahnya. Sora mengangguk lalu mengikuti langkah pelayan itu, membawanya ke ruangan Durand. Mereka harus melewati lorong interior yang mewah dengan gaya klasik. Langit-langit tinggi berwarna putih mewah dihiasi ukiran stucco emas yang mahal. Di ujung sana, pintu ganda berwarna coklat tua dan dihiasi ukiran rumit berwarna emas. Semakin mereka dekat dengan pintu itu, ritme jantung Sora semakin kencang. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan dan baya
Hari demi hari berlalu, kini sudah satu bulan Sora tinggal satu atap bersama Durand. Beberapa kali ia mendapati wanita datang ke rumah. Namun, ia tak ingin tahu mengenai urusan Durand lebih dalam. Sora hanya ingin hidup tenang selama di sana. Meski beberapa kali telinganya mendengar suara-suara yang menarik perhatiannya. Namun, pikirannya terus bertanya, di manakah Viktor selama ini? Mengapa di mansion mewah ini tak terlihat keberadaannya?Hari ini, tepat pukul 14.00 waktu setempat, Sora sudah tiba di mansion. Jam pulang lebih awal dari biasanya. Begitu memasuki ruang tamu luas itu, langkahnya terhenti begitu salah satu pelayan menghampirinya. “Tolong berikan ini pada Tuan Durand. Aku sudah tidak tahan ingin ke belakang.” Pelayan itu memberikan dokumen tersebut pada Sora secara paksa. Posisi Sora tidak siap, hingga hampir membuat dokumen itu terjatuh dari tangannya. “Eehh … tung … gu.”Pelayan itu sudah menjauh, sebelum Sora berkata lebih lanjut. Sora menghela napasnya panjang,
“Aku tidak suka mengulangi perintahku!” lanjut Durand dengan nada penuh ancaman. “Jangan paksa aku mendobraknya, Sora!” Dengan tangan gemetar Sora membuka pintu. Membuka pintu ataupun tidak, hukuman akan tetap diterima. Belum sepenuhnya pintu terbuka, Durand mendorong Sora masuk dan menutup kembali pintu kamar tersebut dengan sedikit keras. Pria itu mencengkram pundak Sora, lalu mendorongnya ke dinding. “Kau sudah melanggar aturan malam ini.” Jari-jari besarnya menekan pundak wanita itu hingga membuatnya meringis kesakitan. “Sudah kukatakan, kau tidak ada hak melakukan sesuatu sesuka hati di sini!”Sora menggeleng, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawabnya. “Saya mendengar suara–”“Tutup mulutmu!” potong Durand, sebelum Sora menyelesaikan ucapannya. “Aku tidak memintamu berbicara, dan aku tidak butuh alasanmu!”Sora yang dikuasai ketakutan kini hanya menundukkan pandangannya. Pria di hadapannya benar-benar kasar, bahkan pada seorang wanita lemah sepertinya.“Dengar baik-baik.
Sora mematung.Dengan langkah lebarnya Durand mendekat.Sora masih menunduk, fokusnya pada kaki pria itu. “Apa itu?” Matanya tertuju ada gelas di tangan Sora.Sora diam. Akan tetapi, hatinya berteriak panik. Durand semakin mendekat, tatapannya penuh intimidasi membuat gelas yang ada di tangan Sora bergetar. “Aku bertanya, apa yang ada di tanganmu?” Sora berpikir, haruskah ia menjawabnya?Melanggar aturan adalah kesalahan, tetapi mengabaikan pertanyaan Durand itu jauh lebih buruk. Dengan suara pelan dan nyaris berbisik, ia menjawab, “Air, Tuan.”Seketika, udara di sekeliling semakin mencekam. Suasana hening itu membuat tawa mematikan Durand terdengar jelas. “Air?” Durand mengulang. Ia kini berdiri tepat di depan Sora. “Aku tidak menyuruhmu berbicara!”Keberanian Sora semakin menciut. Ia memberanikan diri menatap Durand, lalu tak lama pandangan itu kembali turun. Ia takut, sekaligus bingung. “Tapi … Anda bertanya, Tuan. Saya hanya mengikuti peraturan yang Anda buat.”Sora tahu, i







