MasukBegitu pria itu berjalan menjauh menuju dapur, pandangan Zelda perlahan berkeliling ruangan. Barulah ia sadar—ini bukan sekadar apartemen biasa. Ini adalah Penthouse milik Noah.
Tempat tinggal Noah tampak begitu rapi dan mahal, seolah setiap detailnya sengaja dipilih untuk menegaskan status pemiliknya. “Ini … tempat tinggalnya?” gumamnya berbisik pelan. Tak lama, Noah kembali dengan segelas air dan kotak P3K di tangannya. Ia meletakkannya di meja kaca di depan sofa. “Ini untukmu,” ucapnya singkat. Suaranya terdengar datar, tapi tatapannya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kekhawatiran. “Kau bisa anggap tempat ini seperti rumah sendiri.” Zelda mengangguk pelan dengan tubuhnya masih bergetar. “Terima kasih,” bisiknya pelan, menunduk. Noah menghela napas pendek sambil duduk di samping Zelda, lalu membuka kotak P3K di hadapannya. Gerakannya teratur, hati-hati, seperti seseorang yang sudah terbiasa menangani luka orang lain—tapi kali ini ada sesuatu yang lain di matanya. “Kemari lah, aku mau obati sudut bibirmu itu.” Zelda sempat ragu, tapi akhirnya menuruti ucapan itu. Ia mencondongkan tubuh perlahan, cukup dekat hingga bisa merasakan aroma maskulin yang khas milik Noah. Noah mengambil kapas, menuangkan cairan antiseptik, lalu mengusap lembut luka di sudut bibirnya. Zelda meringis kecil, menahan perih. “Sedikit lagi,” gumam Noah pelan tanpa menatapnya langsung. “Tahan sebentar.” Suara itu rendah, namun menenangkan. Ada nada tanggung jawab di dalamnya—dan juga sesuatu yang sulit dijelaskan. Begitu selesai, Noah menempelkan plester kecil di bibir Zelda, lalu memeriksa lagi jika ada luka lain di tubuh Zelda. “Ada lagi yang terluka?” Zelda mengerjap pelan. Tatapannya terarah ke pergelangan tangannya—bekas lilitan rafia yang meninggalkan garis kemerahan di kulitnya. Ia tidak berkata apapun, hanya menatap dengan diam. Tanpa perlu penjelasan, Noah mengikuti arah pandangnya. Seketika ia paham. “Oke,” ucapnya rendah, nyaris seperti bisikan dalam. “Sebentar.” Ia mengambil kasa steril dan cairan antiseptik dari kotak itu. Gerakannya pelan, seolah takut membuatnya semakin gugup. Cairan antiseptik menyentuh kulit yang memerah di pergelangan tangan gadis itu. Zelda tersentak kecil, napasnya tercekat. “Sedikit perih,” ucap Noah pelan, hampir seperti bisikan permintaan maaf. Gadis itu mengangguk tanpa berani menatapnya. Suara detak jam dinding terasa begitu jelas di antara mereka. Untuk beberapa detik, hanya bunyi kapas yang menggesek kulit Zelda yang terdengar—dan entah mengapa, keheningan itu terasa jauh lebih berat daripada kata-kata. Setelah semua sudah diobati, Noah menutup kotak P3K dengan satu gerakan tenang, lalu menarik napas pelan. “Sudah,” katanya, suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya. “Kau cukup beristirahat malam ini. Aku akan siapkan pakaian bersih dan selimut.” Zelda menatap tangannya yang kini sudah dibalut rapi. Ada kehangatan aneh yang tersisa di sana—bukan hanya dari perban, tapi juga dari sentuhan yang terasa terlalu hati-hati untuk disebut sekadar kebaikan dari seseorang. “Terima kasih,” ucapnya nyaris tak terdengar. Noah berdiri, menatap gadis itu sebentar sebelum akhirnya berjalan menuju kamar sebelah. “Jangan terlalu banyak berpikir hal yang tak penting dulu malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. “Cukup tenangkan dirimu, kau aman di sini.” Noah beranjak untuk meninggalkan Zelda sebentar sebelum langkahnya berhenti tiba-tiba oleh suara Zelda. “K-Kau–!” panggil Zelda terputus. Noah menoleh, alisnya berkerut sebentar, sebelum senyum kecilnya merekah—ejekan tipis yang familiar. Ia kembali menjadi Noah yang Zelda kenal: licik, obsesif dan pengontrol. Tapi di balik dominasi itu, ada secercah kelegaan yang tak bisa ia sembunyikan. Zelda menangkapnya tanpa sadar, membuat dadanya berdebar. “Ada yang ingin kau katakan? Aku kira kau akan terus membisu seperti tadi,” ucap Noah, suaranya rendah tapi menantang. Zelda menelan ludah berat, tubuhnya masih gemetar saat berdiri dari sofa. Pikirannya berkecamuk antara bingung, takut, dan merasa aman dalam waktu bersamaan. Ia akui, kali ini Noah bersikap lebih perhatian dan lembut dari biasanya. Noah yang ia kenal adalah pria dengan ego setinggi langit—dingin, pengontrol, dan nyaris tak memberi ruang bagi siapapun untuk menebak isi hatinya. Tapi malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu dalam caranya memperlakukan dirinya yang membuat Zelda goyah, seolah tembok yang ia bangun perlahan retak tanpa izin. Ia ingin percaya bahwa sikap itu bukan sekadar bentuk kasihan, tapi bagian kecil dari sisi Noah yang manusiawi—yang mungkin selama ini disembunyikannya di balik tatapan tajam itu. Dan di saat yang sama, ia benci dirinya karena membiarkan perasaan itu tumbuh, bahkan sebelum tahu alasan di balik kebaikan itu. Zelda menggeleng kepala pelan, “T-Tidak. Bukan apa-apa,” jawabnya dengan nada tercekat. Zelda kembali melirik Noah, kedua mata tajam pria itu terlihat seperti menangkap sesuatu di pandangannya. Ia lantas berjalan mendekati Zelda sebelum tangannya bergerak cepat, menarik lembut pada syal yang menutupi leher Zelda seharian. Zelda terlambat menghentikannya, hingga syal itu terlepas, dan tatapan Noah langsung tertuju pada bekas ungu kemerahan yang sengaja ia tanam tadi pagi. Noah membeku sejenak sebelum memejamkan matanya sambil menggeram pelan. “Astaga …” Noah membopong tubuh ringan Zelda, hingga gadis itu menjerit kecil. ‘Apa yang dia mau lakukan padaku? Jangan bilang ….’, batin Zelda dengan perasaan terlalu cemas. Sesampai di sebuah kamar, Zelda di dorong ke sebuah ranjang berukuran King Size. Gerakan pria itu sangat efisien dan cepat saat tangannya sudah meraih sesuatu sebelum dikeluarkan. Zelda mengerjap dengan ekspresi panik yang sulit dijelaskan. Firasat buruk yang menghantui gadis itu sepertinya akan terjadi malam ini. “I-ini … apa?” Tanya Zelda polos.“Ini mengenai kecurigaan Christopher Vayne yang terlibat dalam pencucian uang.” Noah terkejut bukan main. “Apa …?” suaranya rendah, tapi Zelda bisa mendengar nada itu—campuran antara kaget dan sesuatu yang lebih gelap. Halden melanjutkan tanpa jeda, suaranya tetap tenang tapi mendesak. “Mereka ingin pertemuan langsung secepatnya. Anda diminta sebagai saksi kunci sekaligus rekan investasi yang terlibat langsung dengan perusahaan keuangan dinasti Vayne.” “Skandal Chloe belakangan ini membuka celah—mereka menemukan jejak transaksi mencurigakan yang mengarah ke Christopher. Ini kesempatan untuk menutup semua pintu keluarnya.” Noah menegang. Matanya menyipit, otaknya berputar cepat. Ia baru mengetahui bahwa Christopher Vayne dicurigai terlibat dalam pencucian uang—skala internasional, jelas bukan hal kecil. Ia mengangguk pelan—meski Halden tak bisa melihatnya. Napasnya agak berat, tapi suaranya tetap terkendali. “Atur waktu dan lokasi yang tepat,” ucap Noah dingin. “Ini raha
Zelda merasakan jantungnya seperti jatuh ke perut. Wajahnya langsung memanas, mata membulat panik. Ia menatap Sarah dengan ekspresi ‘Sarah, bunuh aku sekarang juga!’Kevin mendelik terkejut, mulutnya terbuka sedikit, seolah dalam hati berteriak ‘Aku tak dengar apa-apa! Aku tak tahu apa-apa!’Sarah langsung membeku, wajahnya merah padam seperti tomat matang. Tangannya melambai cepat di udara, seperti orang mencoba memadamkan api yang baru saja ia nyalakan sendiri.“B-Bukan itu maksudku!!” jerit Sarah tergesa, suaranya nyaris melengking. “Maksudnya … eh … m-mereka berjodoh dalam arti … eh … takdir akademik!” Sarah mengangguk mantap. “Ya! Takdir akademik!”Ariana masih menunjuk Zelda dengan jari gemetar, mata melebar seperti baru saja melihat hantu. “T-tapi … Sarah, kau bilang ‘berjodoh’! Dan ‘ditakdirkan bersama’! Itu—”Zara langsung mengangkat tangan—gerakan tegas, tapi lembut, seperti dosen yang sedang menenangkan kelas gaduh.“Tenang, anak-anak,” ucap Zara dengan suara yang kembali
“Jadi … kau yang akan menanggung akibatnya, Noah.” Asap cerutu menggantung di antara mereka. Noah tidak mundur. Tidak pula membalas senyum itu. Ia menatap Christopher lurus—tatapan seseorang yang sudah berhenti berharap pada belas kasihan. “Akibat?” ulang Noah pelan. “Aku sudah hidup dengan akibat sejak lama.” Christopher mengangkat alis, seolah tertarik. “Oh?” “Ayahku dipenjara. Namaku dicemarkan. Wanita yang kucintai hampir mati di meja operasi.” Suara Noah tetap rata. “Kalau itu semua belum cukup, maka aku tidak tahu lagi apa definisi ‘akibat’ menurut Anda.” Christopher terkekeh kecil. “Dramatis sekali.” “Tidak,” Noah menyela. “Ini fakta yang aku alami sendiri, Sir.” Noah melangkah sedikit ke samping, mengitari meja billiard—tidak mendekat, tidak menjauh. Posisi aman. Terkontrol. “Kau mengira menyerahkan Chloe akan membuatmu bersih?” tanya Christopher santai. “Hukum hanya alat, Noah. Dan alat selalu punya pemilik.” Noah berhenti. Menoleh. “Kau salah,” katanya. “H
Gudang Halden terasa dingin di malam itu. Lampu neon di langit-langit berkedip pelan, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang basah oleh tetesan air hujan dari atap bocor. Bau besi dan debu menggantung di udara. Di tengah ruangan, tiga sosok diikat di kursi besi. Sosok pria bernama Nick—tubuhnya babak belur, wajah bengkak, darah mengering di sudut bibir. Kepalanya tertunduk lemas, napasnya pendek dan tersengal. Ia sudah tak berdaya—tubuhnya penuh memar karena mencoba melawan saat ditangkap. Chloe duduk di sebelahnya, senyum tipis menggantung di bibirnya—senyum psikopat yang sudah terlalu sering Zelda lihat di mimpi buruknya. Mata Chloe berkilat gila, tapi tubuhnya tetap tenang, seperti ratu yang tahu tahtanya sudah runtuh tapi masih pura-pura kuat. Noelle di kursi paling ujung. Wajahnya pucat pasi, mata merah karena nangis. Tubuhnya gemetar, tapi matanya masih menyimpan sisa-sisa harga diri Grimm yang sudah retak. Noah berdiri di depan mereka, jas hitamnya rapi, tan
“Aku tidak akan melepaskan mereka," ucap Noah dingin.Zelda tidak menjawab. Ia hanya mengusap punggung tangan Noah dengan ibu jarinya—pelan, berulang, seolah menenangkan. Gestur kecil itu jauh lebih kuat dari kata-kata apapun.“Terima kasih …” bisiknya akhirnya. “Karena selalu mengkhawatirkanku, Noah.”Ia membuka mata dan menatapnya—lelah, tapi penuh rasa. “Terima kasih juga … karena kau selalu mengusahakan agar aku aman.”Noah terdiam.Matanya turun ke wajah Zelda—ke selang di tubuhnya, ke bekas luka yang tersembunyi di balik perban, ke napasnya yang masih belum sepenuhnya stabil.Lalu, tanpa berkata apa-apa … ia mencondongkan tubuhnya. Bibir Noah menyentuh bibir Zelda.Dalam.Lama.Penuh rasa takut yang akhirnya dilepaskan. Zelda tidak membalas dengan tenaga—tubuhnya belum sanggup. Tapi, ia membalas dengan kehadiran. Dengan tetap di sana. Dengan tetap hidup.Noah menarik sedikit, dahinya menempel di dahi Zelda.“Jangan berterima kasih,” bisiknya serak.Ia mencium bibir Zelda lagi—l
Kesadaran itu datang perlahan. Bukan seperti bangun dari tidur—melainkan seperti ditarik paksa dari dasar laut. Gelap lebih dulu. Lalu cahaya putih menembus kelopak matanya—menyilaukan, menusuk. Suara-suara berdengung samar, bercampur dengan bunyi ‘bip’ yang ritmis dan asing. Zelda mencoba bernapas. Dadanya terasa … berat. Sakit. Nyeri tajam menjalar dari bahu ke dada, lalu merayap turun ke perut—menusuk, menghantam, membuat napasnya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya refleks bergerak. Dan rasa sakit itu meledak. “Akh —!” Jeritan kecil itu keluar pecah, nyaris tak bersuara. Tenggorokannya kering, suaranya patah, seolah tubuhnya belum sepenuhnya kembali menjadi miliknya. Jari-jarinya gemetar. Dan saat itulah … ia merasakan sesuatu. Hangat. Sebuah genggaman. Tangan seseorang yang mencengkram tangannya erat—terlalu erat untuk dilepaskan. Zelda mengerjapkan mata. Pandangan buram itu perlahan membentuk satu wajah. “Zelda …?” Suara itu bergetar hebat. Matanya be







