LOGINTiga pria itu sontak menoleh bersamaan.
Zelda masih tak berkutik dipenuhi ketakutan yang sudah terlanjur memenuhi dirinya. Namun di bawah alam sadar, ia seperti mengenal suara berat itu. Bayangan seseorang muncul di bawah lampu jalan yang temaram—tinggi, tegap, dan berwibawa. Zelda tertegun. Sosok itu berjalan mendekat tanpa sedikitpun keraguan. “Aku bilang, lepaskan!” ulangnya. Salah satu pria tertawa sinis sembari bangkit dan melepaskan tubuh Zelda, disusul oleh lainnya. “Siapa lagi bedebah ini?!” Tanya salah satu pria itu, lalu menunjuk Zelda, “kau kenal dengan jalang ini??” Zelda menatap bayangan pria itu yang awalnya terlihat masih samar menjadi terlihat sangat jelas, ketika pria itu terus melangkah maju. Kedua mata Zelda membulat terperangah lemah. “Prof …?” suara Zelda nyaris pecah. Tanpa menoleh pada gadis itu, Noah menatap para pria yang masih berdiri dengan ekspresi bingung dan takut. “Pilih,” ucapnya datar, “kabur sekarang … atau aku pastikan kalian tak bisa berdiri lagi.” “Jangan terlalu arogan kau!!” Pria bertubuh gempal itu menggeram, matanya melotot, lalu melontarkan pukulan liar ke arah Noah. Noah tidak bergeming—hanya satu langkah kecil mundur, memiringkan badan, dan secara refleks menangkis pukulan itu dengan pergelangan tangan. Pukulan balasan Noah datang. Satu dorongan pada punggung si gempal yang membuatnya kehilangan keseimbangan, lalu sebuah hantaman terukur ke sisi tubuhnya. Pria itu terjatuh tersungkur, dan mengeluh keras. Dua rekannya nampak ketakutan, apalagi melihat wajah Noah yang tenang tapi mematikan, ekspresi mereka langsung berubah pucat. Mereka saling pandang, lalu salah satunya mengeluarkan pisau dari balik jaket—pisau lipat kecil, tapi cukup berbahaya di tangan orang mabuk. Zelda reflek berteriak untuk memperingatkan Noah,. “Profesor, a-ada yang bawa pisau!” Tapi Noah tak mengindahkan teriakan Zelda dan hanya berdiri di tempat, tanpa ekspresi dan sangat fokus pada lawan di depannya. “Taruh pisaunya,” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Sebelum aku membuatmu menyesal.” Namun pria itu justru tertawa, suara tawanya serak bercampur alkohol. “Kau pikir siapa dirimu, hah?” serunya, lalu menerjang. Gerakannya cepat, tapi Noah jauh lebih cepat. Dalam satu langkah miring, Noah menangkap pergelangan tangan si penyerang, dan memutar sendinya ke belakang hingga terdengar suara berderak kecil. Pisau itu terlepas, jatuh berkilat di dekat genangan air. Pria itu berteriak kesakitan sebelum Noah menendangnya pelan ke samping, membuatnya terkapar di dinding bata. Suasana kembali senyap. Hanya terdengar desah napas Zelda yang masih terengah. Noah menatap ketiga pria itu yang kini tak berdaya, kemudian menendang pisau menjauh ke arah selokan. Tatapannya dingin, tapi nadanya tetap tenang saat berkata, “Pergi. Dan jangan pernah mendekati perempuan lain seperti ini lagi.” Tak butuh diulang dua kali. Ketiga pria itu segera berlari terbata-bata keluar dari gang, meninggalkan bau alkohol dan ketakutan yang sangat pekat di udara. Zelda masih tak berdaya di tempat. Baru ketika Noah menoleh padanya, ia sadar betapa mirisnya penampilan Zelda kini “P-Prof …?” suaranya gemetar. Pria itu hanya menatapnya sebentar, lalu berjalan mendekat perlahan. Ia melepaskan long coat yang ia kenakan sebelum menurunkan posisi tubuhnya perlahan dan memakaikannya ke tubuh Zelda yang sudah tak mengenakan pakaian utuh. Selanjutnya, dengan tenang Noah menarik tubuh Zelda yang masih gemetar dengan lembut ke pelukannya untuk menenangkan. “Sudah aman sekarang,” katanya tenang, nyaris berbisik. “Aku di sini.” Selama perjalanan, Zelda tidak berani bertanya pada pria itu. Mobil Mercedez yang mereka tumpangi melaju pelan menembus jalanan kota yang mulai sepi, hanya diiringi suara mesin dan hujan ringan di luar kaca. Noah tetap diam di balik kemudi. Wajahnya tertutup bayangan lampu jalan yang silih berganti, membuat ekspresinya sulit terbaca. Sesekali, jemarinya mengetuk setir tanpa irama, seolah berusaha menenangkan pikirannya sendiri. Zelda meliriknya diam-diam. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan—bagaimana pria itu bisa muncul tepat waktu, kenapa ia bisa tahu lokasi gang sempit tadi, atau apa yang sebenarnya dia pikirkan. Tapi setiap kali ia membuka mulut, tenggorokannya terasa tercekat. Yang keluar hanya bisikan lirih, hampir tenggelam oleh suara hujan. “Terima kasih … sudah menolongku, Prof.” Noah tidak segera menjawab. Hanya ada tarikan napas panjang sebelum ia berkata pelan, “Seharusnya kau tidak berjalan sendirian malam-malam begini.” Nada suaranya bukan marah, tapi ada kekhawatiran yang ditahan dalam-dalam. Zelda menunduk, merasa malu sekaligus lega. “Aku tahu … aku cuma ingin cepat pulang.” Noah mengernyit singkat, lalu mengalihkan topik seketika. “Kita akan pergi ke suatu tempat, dimana kau bisa lebih tenang,” ucap Noah dalam. Zelda melirik cepat, “Anda memang mau bawa aku kemana?” tanya gadis itu dengan waspada. “Ke tempat yang lebih aman,” jawab pria itu, setiap katanya terdengar mengandung tekanan. “Hanya untuk sementara.” Ia melirik sekilas ke arah Zelda sebelum melanjutkan, lebih pelan, “Dan selama kita berdua saja, panggil saja namaku. Tidak perlu pakai gelar seperti di kampus.” Zelda menoleh lagi, terlihat ragu beberapa detik. “O-Oke … Noah.” Noah tersenyum kecil. “Good girl,” Sekujur tubuh Zelda menegang. Bulu kuduknya langsung meremang, seolah tubuhnya lebih dulu mengenali kata itu sebelum pikirannya sempat bereaksi. Kata itu lagi—kata yang dulu bisa membuatnya tunduk tanpa sadar. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern di tengah kota. Zelda bahkan tidak sempat memperhatikan di mana mereka berada ketika Noah menuntunnya turun dari mobil. Langkahnya goyah, tapi genggaman pria itu kokoh, menuntunnya melewati lobi dan masuk ke dalam lift. Noah tidak mengindahkan tatapan heran orang-orang yang mereka lewati—tatapan yang berganti cepat antara iba dan bingung saat melihat keadaan Zelda. Zelda menundukkan kepala dalam untuk menyembunyikan wajahnya yang ia tahu sudah kacau, kotor, bahkan ada luka di sudut bibirnya. Jemarinya tanpa sadar mencengkeram erat long coat besar yang membungkus tubuhnya. Ia menariknya lebih rapat, seolah hanya pakaian milik pria itu yang masih mampu melindunginya dari dunia luar. Noah membuka pintu apartemen di lantai 25. Dari baliknya, terpancar ruangan luas dengan interior modern dan pencahayaan lembut. Zelda menatap ke dalam, dan terkejut bukan kepalang saat melihat isi rumahnya. “Silakan masuk,” pintah pria itu tenang.Tiga pria itu sontak menoleh bersamaan.Zelda masih tak berkutik dipenuhi ketakutan yang sudah terlanjur memenuhi dirinya. Namun di bawah alam sadar, ia seperti mengenal suara berat itu. Bayangan seseorang muncul di bawah lampu jalan yang temaram—tinggi, tegap, dan berwibawa.Zelda tertegun. Sosok itu berjalan mendekat tanpa sedikitpun keraguan.“Aku bilang, lepaskan!” ulangnya.Salah satu pria tertawa sinis sembari bangkit dan melepaskan tubuh Zelda, disusul oleh lainnya.“Siapa lagi bedebah ini?!” Tanya salah satu pria itu, lalu menunjuk Zelda, “kau kenal dengan jalang ini??”Zelda menatap bayangan pria itu yang awalnya terlihat masih samar menjadi terlihat sangat jelas, ketika pria itu terus melangkah maju. Kedua mata Zelda membulat terperangah lemah.“Prof …?” suara Zelda nyaris pecah.Tanpa menoleh pada gadis itu, Noah menatap para pria yang masih berdiri dengan ekspresi bingung dan takut.“Pilih,” ucapnya datar, “kabur sekarang … atau aku pastikan kalian tak bisa berdiri lagi.”
Kevin menoleh ke arah pintu. “Pelanggan baru, aku handle—”“Tidak usah,” potong Noah dengan nada tenang, langkahnya mantap mendekat. “Aku hanya ingin berbicara dengan salah satu staf yang bersama kamu itu.”Kevin menatap Zelda sekilas. “Kau kenal dia?”Zelda menggeleng cepat. “T-tidak!” Sembari ia buru-buru bangkit dan kembali di balik counter.Alis Noah naik sebelah sambil tersenyum licik. Ia berdiri di depan counter sekarang. “Long Black, 2 shots espresso. Tidak pakai gula. Takeaway”Suara itu membuat Zelda kehilangan napas. Ia berusaha tampak profesional, meraih gelas plastik tanpa menatap wajahnya.“Baik, Profesor.”“Profesor?” Kevin menatap mereka bergantian, keningnya berkerut.Noah hanya menatap Zelda lebih lama, seperti mengingatkan siapa yang memegang kendali. Saat minuman sudah siap, Noah menerimanya dengan dingin dan membayar pesanannya.“Sampai jumpa setelah kau selesai bekerja,” katanya pelan. “Kita belum sempat bicara panjang.”Lonceng pintu kembali berbunyi ketika ia ke
"Kenapa kamu tidak menghubungiku?"Zelda tergagap. Jantungnya bertalu-talu dengan keras, sehingga ia tak sadar memalingkan wajah. Noah tak memberinya kesempatan. Ia menangkup wajah Zelda, memaksa gadis itu menatapnya. Cengkramannya terasa dominan."Jangan buang muka dariku, Zelda. Aku membencinya." Geram pria itu tertahan."A-aku ketiduran, Profesor," Zelda berbohong, suaranya gemetar. "Aku pulang … s-sangat larut dari kerja shift malam.."Noah menyeringai licik. "Lelah?"Tanpa aba-aba, Noah menarik tubuh Zelda dengan kasar ke dekapannya. Zelda menjerit kecil, tubuhnya terperangkap rapat.“Profesor —!” Panggil Zelda tercekik. Noah menundukkan kepalanya. Hidung mancungnya menyusuri setiap kontur wajah Zelda hingga ke leher jenjangnya. Ia mulai memberi kecupan liar yang berakhir pada hisapan keras. “Ngh ….” Desahan pelan lolos dari bibirnya, sementara tangannya meronta mendorong bahu Noah. “Prof —!”“Shh …,” desis Noah sambil tangan kanannya kembali menutup bibirnya. “Kamu teriak, s
Zelda menatap lama selembar kartu nama yang baru saja diberikan Noah. Pandangannya kosong, seolah pikirannya masih tertinggal pada rasa takut yang baru saja ia alami. “Aku yakin, setelah ini, kita pasti banyak menghabiskan waktu, apalagi kau jadi mahasiswaku di sini.” Hah!? Zelda hanya menggelengkan kepala. Jadi, dugaannya selama ini benar, Noah memiliki motif tertentu. “Hubungi aku nanti malam. Aku ingin berkenalan lebih baik. Lagipula, kita akan sering bekerja bersama, bukan?” Zelda terdiam beberapa detik. “Uh, aku rasa—” “Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Noah dengan nada sedikit memerintah, menyelipkan kartu nama itu ke telapak tangan Zelda sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. “Aku adalah laki-laki sejati. Aku pasti tanggung jawab terhadap perbuatanku dua bulan lalu, Zelda.” Zelda tertohok. Kata-kata itu menyambar hati kecilnya. “Be-bertanggung jawab? A-apa maksudnya, Prof?” Zelda menggigil ketakutan ketika wajah Noah semakin dekat dengannya. “Prof, to-tolong jang
Tangan Zelda membeku di atas buku catatan. Dia masih memandang wajah Noah, lekat-lekat, untuk memastikan kembali bahwa laki-laki bernama Noah Grimm itu sama dengan Noah Grimm yang sudah mengambil mahkotanya dua bulan lalu. Namun, lamunan itu seketika pudar ketika teman akrabnya, Sarah, menyikutnya pelan. “Ya Tuhan … Apakah dia titisan Dewa Ares yang sering aku dengar di mitologi Yunani itu? Tampan sekali!” Zelda mengerjap cepat dan tak mengindahkan ucapan Sarah yang sangat terlihat mengagumi pria di balik podium itu. Tatapan Noah menyapu kelas dan berhenti tepat di matanya. Itu cukup untuk menghancurkan seluruh tembok pertahanan yang Zelda susah payah bangun. Ia tersenyum tipis. Senyum yang Zelda kenal. Senyum yang dulu datang bersamaan dengan aroma musk bercampur citrus, dan asap rokok di kamar hotel bintang tiga malam itu. Zelda menunduk cepat, pura-pura menulis. Dalam kepalanya, hanya ada satu kalimat, “Dia ingat. Ya Tuhan, dia ingat!” Kali ini, ada sedikit kilatan licik dan r
"Kamu cantik sekali, Zelda," bisik Noah, kali ini benar-benar mendekat, suaranya nyaris hilang ditelan musik. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh helai rambut Zelda yang jatuh ke bahu.Zelda tidak bisa bicara, hanya menelan ludah. Kepalanya berputar karena efek alkohol. Entah bagaimana ceritanya,Zelda tiba-tiba pusing dan gairahnya meningkat. Seolah, dia sedang dijebak oleh seseorang.Malam ini sebenarnya perayaan ulang tahun ke-19 Zelda, malam di mana dia memutuskan untuk berhenti menjadi gadis beasiswa yang selalu sempurna, baik akademis ataupun sikap.Ini adalah kali pertama dia mengunjungi bar, tanpa tahu apa efek samping alkohol dan bagaimana dia bersikap ketika mabuk nanti."Aku tahu tempat yang lebih tenang dari ini," Noah melanjutkan, tatapan matanya mengunci mata Zelda.Tanpa kata-kata, Zelda berdiri memandang Noah.Efek alkohol membuat kesadaran Zelda mulai pudar hingga pada akhirnya, dia berjalan mengikuti Noah meninggalkan bar.Di dalam taksi, mereka tidak bicara lagi hi







