LOGIN“Aku tidak akan melepaskan mereka," ucap Noah dingin.Zelda tidak menjawab. Ia hanya mengusap punggung tangan Noah dengan ibu jarinya—pelan, berulang, seolah menenangkan. Gestur kecil itu jauh lebih kuat dari kata-kata apapun.“Terima kasih …” bisiknya akhirnya. “Karena selalu mengkhawatirkanku, Noah.”Ia membuka mata dan menatapnya—lelah, tapi penuh rasa. “Terima kasih juga … karena kau selalu mengusahakan agar aku aman.”Noah terdiam.Matanya turun ke wajah Zelda—ke selang di tubuhnya, ke bekas luka yang tersembunyi di balik perban, ke napasnya yang masih belum sepenuhnya stabil.Lalu, tanpa berkata apa-apa … ia mencondongkan tubuhnya. Bibir Noah menyentuh bibir Zelda.Dalam.Lama.Penuh rasa takut yang akhirnya dilepaskan. Zelda tidak membalas dengan tenaga—tubuhnya belum sanggup. Tapi, ia membalas dengan kehadiran. Dengan tetap di sana. Dengan tetap hidup.Noah menarik sedikit, dahinya menempel di dahi Zelda.“Jangan berterima kasih,” bisiknya serak.Ia mencium bibir Zelda lagi—l
Kesadaran itu datang perlahan. Bukan seperti bangun dari tidur—melainkan seperti ditarik paksa dari dasar laut. Gelap lebih dulu. Lalu cahaya putih menembus kelopak matanya—menyilaukan, menusuk. Suara-suara berdengung samar, bercampur dengan bunyi ‘bip’ yang ritmis dan asing. Zelda mencoba bernapas. Dadanya terasa … berat. Sakit. Nyeri tajam menjalar dari bahu ke dada, lalu merayap turun ke perut—menusuk, menghantam, membuat napasnya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya refleks bergerak. Dan rasa sakit itu meledak. “Akh —!” Jeritan kecil itu keluar pecah, nyaris tak bersuara. Tenggorokannya kering, suaranya patah, seolah tubuhnya belum sepenuhnya kembali menjadi miliknya. Jari-jarinya gemetar. Dan saat itulah … ia merasakan sesuatu. Hangat. Sebuah genggaman. Tangan seseorang yang mencengkram tangannya erat—terlalu erat untuk dilepaskan. Zelda mengerjapkan mata. Pandangan buram itu perlahan membentuk satu wajah. “Zelda …?” Suara itu bergetar hebat. Matanya be
“Wanita itu ….”“Seorang mahasiswi …” lanjut Christopher, suaranya kini dingin dan pasti.“... yang bernama Zelda Lynn, bukan?”Noah terdiam.Tangannya mengepal semakin erat hingga buku jarinya memutih. Otot rahangnya mengeras, napasnya tertahan di dada. Untuk sepersekian detik, nama itu menggema terlalu keras di kepalanya.Zelda.Di seberang sana, Christopher tertawa pelan.Bukan tawa keras.Bukan tawa puas.Hanya tawa datar—kosong.“Tenang saja,” ucapnya santai. “Urusan wanitamu itu bukan urusanku.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan ringan, seolah membicarakan cuaca.“Itu urusan Chloe.”Noah tidak langsung menjawab. Napasnya mulai liar, tak beraturan. Ada amarah yang berusaha ia tekan habis-habisan.“Jadi,” lanjut Christopher tenang, “sekarang apa yang kau inginkan lagi, Noah?”Suara Noah keluar lebih rendah dari yang ia duga. Tertahan. Tajam. “Apa Anda tahu, di mana Chloe berada?”Hening singkat.Lalu—“Anakku?” Christopher terkekeh kecil. “Oh.”Nada suaranya terlalu enteng. “
Hampir tengah malam ketika Noah Grimm kembali berdiri di lorong rumah sakit. Ia sendiri tidak tahu kenapa langkahnya membawanya ke sana.Dari rumah utama keluarga Grimm yang kini terasa seperti reruntuhan—dipenuhi lampu polisi, suara borgol, dan kamera media—Noah mengemudi tanpa tujuan. Jalanan kota berlalu begitu saja di bawah lampu malam, sampai akhirnya mobilnya berhenti di tempat yang bahkan tidak perlu ia pikirkan lagi.Rumah sakit.Tempat di mana separuh jiwanya tertinggal.Noah melangkah masuk dengan jas masih melekat rapi, tapi tubuhnya jelas kelelahan. Punggungnya tegak, namun langkahnya berat. Matanya mencari satu hal saja.Dan ia menemukan Zara Lynn. Wanita itu masih berdiri di lorong dekat ICU. Ia bersandar di dinding, ponsel di tangannya menyala. Judul-judul berita memenuhi layar—huruf besar, tajam, kejam.“MICHAEL GRIMM DITANGKAP ATAS DUGAAN PENGGELAPAN DANA.”“SKANDAL YAYASAN UNIVERSITAS GRIMM MENGGUNCANG PUBLIK.”Zara tidak langsung menyadari kehadiran Noah.Sampai—L
“T-Tuan Michael …” suara itu bergetar hebat. “Beliau digeruduk … dan ditangkap polisi.”Dunia seolah berhenti.“Apa?” desis Noah, napasnya tercekat.“Tuan Michael ditangkap atas tuduhan penggelapan dana,” lanjut sang asisten tergesa. “Polisi datang dengan surat perintah. Media sudah mulai berdatangan.”Ponsel di tangan Noah bergetar.Matanya mengeras.Dingin.“Lokasi,” ucapnya pendek.“Rumah utama keluarga Grimm, Tuan.”Panggilan terputus.Noah menurunkan ponselnya perlahan. Rahangnya mengeras, otot wajahnya menegang—bukan panik, bukan takut.Marah.Sangat marah.“Christopher Vayne …” gumamnya dingin.Lampu ruang kerja masih menyala terang saat Noah melangkah cepat menuju pintu—meninggalkan ruangan itu dengan satu kepastian di benaknya.Jalanan malam itu sepi, tapi mesin Mercedes Noah meraung seperti binatang buas yang dilepas. Kecepatan jarum melampaui batas aman, lampu-lampu jalan berlalu seperti coretan kabur di kaca depan.Noah menggenggam setir mobil erat, buku jarinya memutih. N
“Noelle Grimm …” panggil Zara pelan.Sosok itu berdiri beberapa meter darinya.Topi gelap menutupi sebagian wajahnya. Kacamata hitam bertengger di batang hidung, terlalu besar—jelas bukan untuk gaya, melainkan untuk bersembunyi. Namun, bagi Zara, semua itu sia-sia.Ia mengenali garis rahang itu. Postur itu. Aura dingin yang pernah menghancurkan hidupnya. Noelle terdiam sepersekian detik. Lalu, perlahan, ia melangkah mendekat.“Zara …” panggilnya lagi pelan.Langkah kaki Noelle bergema di lorong yang sunyi. Satu. Dua.Zara refleks mundur selangkah. Punggungnya hampir menyentuh dinding dingin.“Kau …” suara Zara pecah, napasnya tersengal. “Seberapa jauh lagi kau ingin menghancurkan kami, Noelle?”Noelle berhenti melangkah.Tubuhnya kaku. Bahunya turun perlahan, seolah beban tak kasat mata menghantamnya sekaligus. Tangannya mengepal di sisi tubuh.Ia menunduk.Untuk pertama kalinya—mata yang dulu selalu penuh keyakinan, penuh rasa paling benar—terlihat goyah.“Zara,” ucapnya lirih, nyari







