INICIAR SESIÓNIsabella menahan napas, jari-jarinya ragu di udara, hampir menyentuh kelopak mawar yang berduri itu, tapi Isabella menarik diri di saat terakhir. Bibir wanita itu bergetar tapi dia tidak mengatakan apa pun selain membuka kotak P3K dengan tangan yang sama gemetarnya. "Tidak apa-apa, ini hanya luka menyerempet." Isabella tidak mengatakan apa pun, hanya terus merawat luka Dominic. Selama semua itu tidak ada satu pun yang berbicara. Dominic terus menatap istrinya—terkejut saat melihat air mata membasahi wajahnya. "Malyshka...." Dominic berusaha menghapusnya tapi saat tangannya hendak menyentuh wajah cantik istrinya, Isabella menghindar. Dominic menghela napas. “Aku sudah selesai,” katanya pelan, suaranya lembut tapi tidak cukup untuk menyembunyikan ketakutan di dalamnya. Isabella bergerak mundur, berdiri perlahan dari lututnya di lantai, tangannya membersihkan noda darah di jari-jarinya dengan kain. Dominic bangkit juga, nyeri di bahu membuat gerakannya kaku. Dia berbalik
Udara dermaga Staten Island terasa dingin dan asin, namun aroma oli mesin segera tertutup oleh bau mesiu yang menyengat. Dominic bergerak dalam kegelapan seperti predator, menggenggam HK416 dengan posisi siap tembak. "Sekarang," desis Dominic melalui earpiece. Ledakan pertama menghancurkan pintu kontainer utama. Cahaya oranye berkobar, menerangi gudang rahasia Vittorio. Tanpa membuang waktu, anak buah Dominic merangsek masuk, menyiram ruangan dengan peluru 5.56mm. Fokus mereka satu, hancurkan semua stok senjata yang akan dijual Vittorio ke pihak Meksiko. Dominic melangkah masuk ke tengah kekacauan. Seorang pria besar—salah satu algojo kepercayaan Vittorio—muncul dari balik tumpukan peti dan menerjangnya. Dominic dengan sigap mengayunkan laras senapannya, menghantam rahang pria itu hingga terdengar bunyi tulang pecah yang mengerikan. Pria itu terhuyung, tapi belum menyerah. Ia menghunus belati panjang dan menyerang secara membabi buta. Dominic menjatuhkan senapannya, menangkap
"Menurutmu, apakah serangan itu hanya kebetulan belaka, atau..."Dominic hanya menggeleng pelan saat melangkah keluar dari mobil. Di belakangnya, Anthony mengekor dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan, seperti bayangan yang dalam kegelapan."Aku meragukan konsep kebetulan."Dalam kamus hidup Dominic, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Ia yakin Isabella adalah target utamanya. Namun, pertanyaannya tetap sama: siapa? Daftar musuh yang ingin melihatnya hancur terlalu panjang untuk diingat satu per satu.Begitu Dominic mendorong pintu hingga terbuka, pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Samuel. Pria itu berdiri di depan pintu, tampak hanyut dalam MacBook-nya. Begitu menyadari kehadiran Dominic, sebuah seringai tipis yang menyebalkan terkembang di wajahnya. Dominic hanya mampu memutar bola mata, jengah."Aku mengharapkan Jax yang datang. Kenapa malah kau?"Samuel menepuk dadanya dengan gestur dramatis, seolah kata-kata Dominic baru saja menghujam jantungnya. "Aku tersingg
Tidak mungkin ada hukuman yang masih menunggunya! Isabella cepat-cepat berpakaian sementara Dominic masih mandi. Ia tidak akan menunggu pria itu selesai. Tidak mungkin hanya ada satu kamar mandi di sini. Kemudian Isabella ingat ada kamar mandi di dalam kamar yang sebelumnya ia tempati, tepat sebelum Dominic membuat pengaturan agar mereka tidur di kamar yang sama. Isabella mengambil pakaiannya dan berlari secepat mungkin. Ia mandi dengan cepat. Ada misi yang harus ia selesaikan dan ia butuh kepala jernih dan tubuh yang bisa diajak kerja sama untuk melakukannya. Isabella baru saja selesai memasang jumpsuit motif macan tutulnya saat pintu di belakangnya dibuka. “Gunakan kamar di sini sekali lagi dan aku akan menyuruh mereka menghancurkan kamar ini.” Isabella bengong. “Kau tahu... mungkin kita perlu ke rumah sakit.” “Rumah sakit?” Isabella mengangguk. “Aku yakin ada yang salah dengan otakmu.” Wajah Dominic tidak berubah, masih serius dan dan sama datarnya seperti biasa, tapi
“Apa kau akan bilang tidak?” ada tantangan dan nada malas dalam suaranya, seolah Dominic tahu dia sudah memenangkan pertarungan. Isabella sungguh ingin membantah dan mengatakan itu tidak mungkin, tapi bahkan ia tidak ingin membohongi dirinya. Ia menginginkan ini sama seperti Dominic dan apakah ini hukuman jika ia menginginkannya?Isabella menelan ludah saat melihat tatapan dalam mata Dominic, ada keinginan di sana hasrat yang menari-nari seperti gelombang yang siap menerjang apa pun yang menghalanginya. Dan Isabella terseret ke dalamnya tanpa tahu bagaimana menyelamatkan diri.“Aku—ouh!” Isabella tidak sadar dirinya mendesah saat tangan Dominic yang ahli menyentuh dadanya yang telanjang. Isabella mengigit bagian dalam mulutnya saat mulut Dominic mulai bekerja hingga ia merasa kehilangan akal sehat.“Domi…” kepala Isabella bergerak ke samping, tidak bisa menahan sensasi yang membakar dan melilit dirinya. Ia merasa akan segera meledak. Erangan lolos dari bibirnya saat lidah Dominic mula
Isabella menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan getaran yang merayapi tulang punggungnya. "Apa ini lelucon?" Dominic mengangkat bahu, tatapannya seperti belati yang menguliti tubuh Isabella yang nyaris telanjang. "Tergantung pada definisimu tentang 'lucu'." "Aku tidak akan melakukan apa pun yang kau katakan." "Benarkah?" Dominic melangkah mendekat, gerakan predator yang mengunci mangsanya. Tangannya terulur, menyentuh pipi Isabella dengan lembut, sentuhan yang mengkhianati tatapan sedingin esnya. "Kau yakin?" Isabella berusaha mati-matian untuk tidak terpengaruh oleh sentuhan itu, tetapi kulitnya seolah terbakar di bawah jari-jari Dominic, mengirimkan sengatan listrik yang membuatnya menggigil. "Aku tidak takut padamu." Dominic tertawa rendah, suara yang menggeram di tenggorokannya, membuat bulu kuduk Isabella meremang. "Itu jawaban paling bodoh yang pernah kudengar." Dengan gerakan tiba-tiba, Dominic menarik Isabella mendekat, merengkuh pinggangnya dengan erat hingga







