MasukNathan yang baru sadar akan ucapannya itu berusaha menghapus pikiran buruknya tersebut.
“Ah, maaf Letta. Haha, aku hanya bergurau sedikit,” jelas Nathan, sambil tertawa canggung. ‘Apa yang aku pikirkan?! Aku tidak boleh begitu! Bisa-bisanya aku kepikiran begitu pada orang terdekat istriku sendiri!’ batin Nathan. Letta melirik tajam ke arah lelaki itu. Meski hanya candaan, bagi Letta itu pantas sama sekali. Terlebih harusnya Nathan tak seharusnya bersikap begitu. “Sebaiknya kamu jangan menyia-nyiakan Jenna, Nathan. Dia sahabatku yang sangat berharga! Awas saja kamu sampai berselingkuh darinya!” tegas Letta. “Ya Letta, aku tahu,” balas Nathan. ‘Meski sebenarnya aku merasa ragu belakangan ini.’ Setelah Nathan selesai makan, Letta mencuci semua piring kotor terlebih dahulu sebelum meninggalkan rumah Nathan. Tak lupa Letta juga laporan kepada Jenna bahwa ia sudah pergi dari sana agar tidak menimbulkan salah paham. “Aku pulang dulu, Nathan,” ucap Letta sambil menggendong ransel kecilnya. Baru saja Letta hendak membuka pintu rumah, Nathan memanggilnya, membuat Letta menghentikan langkahnya. Seketik Letta berbalik badan dan melihat ke arah Nathan. “Soal tadi…, jangan katakan pada Jenna, ya? Aku sungguh tak serius dengan ucapanku,” pinta Nathan. Letta menganggukkan kepala. “Baiklah,” balas Letta. Wanita itu meninggalkan rumah Nathan dengan segera. Nathan menyesalkan ucapan yang ia lontarkan kepada Letta tadi. Ia tidak sadar setelah mengatakan hal tadi. Sambil bersandar pada sofa dan mendongakkan kepal, Nathan merenungkan perbuatannya. “Ini pasti karena aku sudah lama tak melakukannya dengan Jenna,” gumamnya. Jenna belakangan terlalu sibuk. Bahkan untuk sekedar bicara berdua di ranjang saja sudah tidak pernah lagi. Nathan merasa haus akan belaian yang ia tidak pernah inginkan sama sekali. Di malam hari di kepulangan Jenna, Nathan sudah menunggu sang istri. Ini terlalu larut untuk sekedar pulang semata. Apa yang dilakukan Jenna sampai jam segini baru ingat rumah? Jenna masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kelelahan dan juga tampak masam. Nathan sudah di depan pintu menunggu dengan perasaan yang kesal. “Apa kamu harus pulang semalam ini juga?!” kesal Nathan. Jenna yang baru pulang itu langsung menatap tajam suaminya yang menyambut dengan ucapan ketus. “Aku ini sibuk, Nathan!” balas Jenna. “Sibuk apanya?! Setiap hari kamu pulang larut malam, bahkan sampai tak ingat waktu! Kamu bahkan tak mengabariku kalau kamu akan pulang terlambat!” Nathan tambah kesal. “Astaga!” Jenna mendelik ke arah Nathan, “aku ini kerja, bukan sedang main! Kamu sendiri yang beri aku izin untuk bekerja! Kenapa malah protes begini?!” Jenna menjawab. “Aku memang membiarkanmu bekerja. Tapi tidak harus pulang semalam ini,” Nathan mulai melembutkan suaranya. “Ah sudahlah! Bicara denganmu tidak ada habisnya!” Jenna langsung melewati Nathan begitu saja tanpa memberikan kejelasan atau bicara baik-baik pada suaminya. Melihat istrinya yang pergi dalam keadaan marah, membuat Nathan jadi merasa bersalah. Ia hanya haus perhatian dan juga belaian istrinya. Itu membuatnya sedikit sensitif karena sudah uring-uringan belakangan ini. Naik ke lantai dua menuju kamarnya, Nathan melihat sang istri yang sudah mengenakan baju tidur di depan cermin kamar mereka berdua. ‘Dia sudah mandi?’ batin Nathan. Dengan meluaskan hatinya dan juga rasa sabarnya, Nathan mendekati Jenna yang masih memasang raut wajah masam. Dari belakang, ia peluk sang istri dan sedikit memberikan kecupan pada pipi Jenna. “Maaf, sayang. Aku merasa belakangan kamu terlalu fokus dengan pekerjaanmu,” ujar Nathan. “Aku fokus begini karena mau berkembang, Nathan! Orang-orang mulai meragukan kemampuanku sebagai seorang Designer! Aku ingin membungkam orang-orang itu dan melihat bahwa aku ini berbakat!” Jenna masih dengan amarahnya. “Iya sayang. Maaf, ya,” Nathan mengalah. Terdengar Jenna menghela napas pendek. Nathan masih memeluknya dari belakang, dan menyiapkan setiap kata yang ingin ia sampaikan kepada Jenna. “Sayang,” panggil Nathan. Jenna tak menjawab, tapi dari cermin, Nathan bisa melihat bahwa sang istri meliriknya dengan lirikan yang tajam. “Apa malam ini kita bisa melakukannya? Sudah lama sekali kita tidak begitu,” Nathan meminta perlahan. Rupanya permintaan Nathan tak disambut hangat oleh Jenna. Dengan kasar, Jenna menepis pelukan Nathan dan berbalik badan menghadap Nathan. Entah ini karena dia kelelahan atau sebenarnya sedang marah dengan Nathan, jawaban Jenna sedikit membuat Nathan terkejut. “Ya ampun, Nathan! Aku ini harus cukup istirahat cukup! Besok aku ada pertemuan dengan designer ternama untuk mengevaluasi karyaku. Apa kamu ingin aku melewatkan momen penting?!” pekik Jenna. “Bukan begitu, sayang. Aku hanya merasa kita sudah jarang sekali menikmati waktu berdua,” Nathan masih dengan halus menjawab. “Arghhh! Kamu ini benar-benar tak bisa mengerti aku! Apa susahnya sih memberikan aku istirahat?!” Jenna mengatakannya sambil melengos melewati Nathan. Istrinya naik ke atas kasur dan langsung menggulung diri dengan selimut, tanpa menyisakan sedikit untuk Nathan. Melihat respon itu membuat dada Nathan merasa sakit. Dengan kecewa, Nathan keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Ia membuat segelas susu hangat untuk bisa membuatnya mengantuk. Di meja makan, Nathan hanya bisa termenung. “Ini sudah lebih dari 3 bulan. Apa dia tak bisa memberikan hanya sekedar 1 hari kepadaku?” Nathan bicara sendirian. Di dalam dapur yang sepi itu, Nathan mencoba membayangkan kehangatan yang bisa ia rasakan. Tempat yang seharusnya menjadi rumah paling nyaman setelah ia menikah. Harusnya bisa hidup harmonis bersama sang istri. Namun, dalam bayangnya terlintar sosok Letta yang terlihat melintas tengah membawa wajan di tangannya. Nathan segera menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan diri. ‘Apa yang kupikirkan?! Sadarlah, Nathan. Letta itu sahabat Jenna! Tak sepantasnya kau begitu!’ Nathan berusaha memperingatkan dirinya sendiri. Tanpa disadari, karena kebanyakan melamun, Nathan tertidur di meja dapur dengan susu yang tersisa setengah gelas. *** “Nathan!” Suara itu menusuk ke dua telinga Nathan. Dengan terkaget Nathan terbangun, dan melihat Jenna yang sudah rapi dengan pakaiannya. Ia yang baru bangun mengusap matanya untuk memastikan apa itu benar istrinya. “Kamu jorok sekali! Di sana ada sofa ruang tamu, kamu bisa tidur di sana!” Jenna menunjuk ke arah sofa sambil memarahi Nathan. “Sayang…, kenapa tidak membangunkanku kalau begitu,” lirih Nathan yang belum sadar sepenuhnya. “Ihhh, kamu sudah besar, Nathan! Jangan manja!” Nathan segera duduk dengan tegap perlahan, dan melihat Jenna tengah minum air dan langsung sibuk dengan ponselnya lagi. “Kamu sudah mau berangkat? Kamu tak mau membuat sarapan untukku?” tanya Nathan. “Urusanku banyak, Nathan. Kalau kamu bicara denganku hanya untuk merengek. Jangan bicara apapun!” Jenna langsung melengos pergi tanpa rasa bersalah. Padahal, sejak kemarin Nathan sudah berusaha sebaik mungkin untuk bicara dengan Jenna. Nyatanya, percuma, Jenna tak menanggapinya sama sekali. Melihat jam yang masih pagi, Nathan hanya bisa menghela napas. Jam kantor pun tak ada yang sepagi Jenna. Ia memilih mandi terlebih dahulu ke atas. Baru saja ia keluar sambil mengenakan kemejanya dan hendak mengambil air untuk melegakan dahaga, Nathan mendapati Letta sudah berada di rumahnya. “Letta? Apa yang kamu lakukan sepagi ini di sini?”Meski Letta tahu, hyper Nathan sangat kelewatan, dan bisa membuatnya begitu kewalahan, Letta tak masalah. Dari awal, Letta sudah menerimanya, dan tahu bagaimana Nathan bermain dengannya.Ada banyak hari di mana Nathan menjadi orang yang super agresif dan begitu protektif kepadanya. Ada juga hari Nathan menjadi sangat pendiam, dan begitu kesal bila sedikit diusik. Namun, Letta tak masalah. Ia sudah mempelajari sikap Nathan yang baru, agar dia tidak kaget.“Bagaimana pemandangan di sini?” tanya Nathan.“Bagus sekali! Aku suka!” seru Letta, menjawab.Nathan mengajak Letta mendaki. Kali ini memilih gunung yang memiliki pemandangan danau di bawahnya. Letta masih sibuk memotret karena merasa kagum dengan keindangan alam.Terkadang permintaan Nathan memang sedikit di luar batas seperti sekarang ini. Mendaki? Bukan keahlian Letta. Selama Nathan masih berada di sampingnya, Letta merasa ia bisa melalui apapun, serta melewati apapun yang ada di depan matanya.“Bagaimana kamu bisa tahu tempat sei
Letta terkikuk mendengar ucapan Nathan. Ia merasa bahwa Nathan seperti sedang bergurau mengatakan perihal barusan kepadanya.“Kamu tak serius, kan? Bukannya kita akan merayakan hari kita? Keberhasilan kita? Kenapa kita harus melakukan kegiatan ini dulu, Love?” tanya Letta, berusaha sedikit menghindar.Nathan malah tersenyum semakin lebar setelah mendengarkan ucapan Letta. Kode Nathan memang terpancar sangat jelas. Bahkan bila dihiraukan, Nathan terlalu memperlihatkan kodenya begitu jelas.“Darling, inilah perayaan kita,” ucap Nathan.“Bukannya…. Kita seharusnya bersenang-senang?” Letta memastikan.“Hei, Darling. We’re gonna having fun with this, right?” Nathan mengingatkan.Rasanya terhenyak diri Letta saat mendengarkan ucapan Nathan barusan. Ia lupa, bahwa segala hal Nathan rasakan selalu disangkutkan dengan masalah ranjang. Seperti apapun perasaannya, Nathan selalu mengaitkannya dengan itu tanpa pengecualian sedikitpun.“Tapi… kenapa tak melakukan hal lain, Love? Mana kuenya? Mana p
Letta sudah begitu bersemangat setelah mendengar ucapan Nathan. Kue? Perayaan? Letta belum pernah melakukannya sebelumnya setelah semuanya hilang dari tangannya.Perasaan yang menggebu itu membuat Letta jadi bersemangat. Ia bisa saja mengeluh karena melakukan BJ di dalam mobil demi memuaskan ego Nathan. Namun, karena Nathan menjanjikan sesuatu yang lain padanya, jadi rasanya berbeda.“Kamu tahu, Darling, sekarang, aku merasa apa yang aku inginkan sudah lengkap,” ujar Nathan, saat mereka sekarang mulai melaju pulang.“Kenapa?” tanya Letta.“Tentu saja karenamu, Darling. Aku jadi merasa bisa melewati hariku 10 tahun kedepan, atau bahkan sampai kapanpun aku mau asal bersamamu,” jawab Nathan dengan begitu bersemangat.Melihatnya, membuat Letta sedikit tergelitik. Ia tidak tahu kalau Nathan bisa berkata seperti itu lagi kepadanya. Ia merasa malu, tersipu, tertawa kecil, lalu memukul pelan lengannya.“Sungguh, Darling. Aku bisa membahas ini seribu tahun kalau kamu mau mendengarkanku,” seru
Kedua tangan Jenna berusaha ia tarik sekuat tenaga saat Jenna merasakan kakinya secara paksa, dan ada tiga benda keras yang berusaha masuk ke dalam tubuhnya.Kewanitaannya yang dipaksa dibuka lebar membuat Jenna langsung membelalakkan mata. Mustahil bagi Jenna bahwa tiga benda itu masuk ke dalam tubuhnya secara bersamaan. “T- Tunggu! Kalian gila!” Jenna berusaha melawan.Dihiraukannya Jenna yang meminta kepada mereka. Justru, mereka makin keras dan mendorong kuat ke dalam tubuh Letta, sampai Jenna mengerang kesakitan dan wajahnya kelihatan menahan tangis karena tubuhnya yang dikoyak barusan.“AKHHHHH!!!” Letta hanya bisa merinding melihat bagaimana para pria itu membuat Jenna tak bisa bergerak lagi. Dia bahkan gemetar. Jika biasanya hubungan badan terasa menyenangkan dan selalu membuat siapapun merasa nyaman.Kali ini, ia melihat bahwa ini sudah seperti penyiksaan yang tak berakhir sama sekali. Saat tubuh Jenna dipompa, Jenna sudah tak mampu berteriak. Hanya air mata yang mengalir,
Letta seketika gemetar melihat kedatangannya. Ia tidak menyangka akan bertemu Jenna di tengah keramaian ini. Meski sudah bersama dengan Nathan, Letta masih bisa merasa takut hanya dengan melihat ke arah Jenna yang begitu berantakan.Pakaiannya terlihat lusuh. Kulitnya pucat, bahkan ada kantong mata pada wajah Jenna yang terlihat dua kali lipat lebih banyak. Badannya yang semakin kurus, tak terlihat body goals seperti bagaimana Jenna dulu.Ini pernampilannya yang sangat berbeda dari terakhir kali Letta melihatnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Jenna sampai ia bisa berubah sejauh ini.Langkah Jenna menekat ke arah Letta yang mulutnya berhenti mengunyah. Nathan yang menjadi garda terdepat langsung melindungi, berdiri di depat Letta, menghalangi arah Jenna mendatanginya.“Apa maumu lagi, Jenna?” tanya Nathan.Jenna melihat sendiri sekarang di depan matanya, bagaimana Nathan berusaha melindungi Letta darinya. Senyumannya terbuka lebar dengan segala rasa sakit yang selama ini tidak perna
Letta selalu penuh dengan tanda tanya setiap kali bersama Nathan. Ada banyak pertanyaan yang lewat dalam pikirannya setiap kali dia sempat melamun. Seperti ada yang mengarahkannya untuk mempertanyakan kepada Nathan, sebelum semua berjalan lebih jauh.“Aku selalu penasaran, meski kamu sudah pernah menjawab pertanyaan ini,” celetuk Letta, yang masih tertelungkup di atas ranjang dengan badannya yang tertutup selimut.Nathan yang baru saja selesai mandi melihat ke arah Letta dengan senyumannya yang dermawan. Letta bahkan selalu luluh setiap kali melihat bagaimana Nathan menatapnya.“Kenapa, Darling? Kamu masih ragu denganku?” tanya Nathan, tanpa nada menghakimi.“Tidak, Love. Aku selalu bertanya, bagaimana kamu yang luar biasa, menyukai aku yang wanita biasa? Terlebih, kasus orang tuaku dan adikku sudah menjadi buah bibir publik tiada habisnya. Bukankah seharusnya kamu merasa malu, karena akhirnya bersamaku?” Letta bertanya.Nathan yang sudah melilitkan handuk terlebih dahulu di tubuhnya,







