Moris memejamkan matanya, pundaknya naik turun dengan cepat. Moris adalah pria yang baik hati dan lurus. Jadi walaupun dia sangat menyayangi putrinya, dia tetap akan bersikap tegas jika Dayana berbuat salah."Kamu menjebaknya?" tanya Moris dengan penuh amarah.Dayana tersentak, dia langsung berlutut di kaki ayahnya. "Ayah maafkan aku. Tapi aku putrimu, aku sedang hamil. Huhuhu."Dona membela Dayana, "Pak Moris ... putrimu sedang hamil."Wajah Moris terlihat pucat, dia merasa sangat malu dan sedih. Putri kecilnya yang manis, melakukan hal yang tidak bermoral. Dia sangat marah tapi juga kasihan karena putrinya sedang hamil. Dia pun akhirnya luluh dan menarik putrinya ke dalam pelukannya.Melihat Dayana begitu menderita, Dona pun semakin marah. "Jangan buat Ibu malu Abi! Dayana sudah hamil, kamu harus bertanggung jawab!" Dona memekik dengan mata melotot.Abimana tetap kekeh pada pendiriannya, "Tidak Ibu! Aku tidak akan menikahi gadis itu."Dayana memang bersalah, tapi nasi sudah menjadi
Wanita tua itu menggeleng lalu berkata dengan suara getir, "Maafkan Nenek, Ren." Renata menggeleng dengan cepat lalu mencium punggung tangan Aisha dengan penuh kasih sayang. Hati Aisha bergetar, dia semakin erat menggenggam tangan gadis itu dan merasa tidak tega. Melihat kedekatan antara Aisha dan Renata, dahi Moris berkerut, wajahnya tampak rumit seolah-olah sedang menimbang-nimbang. Takut Aisha goyah, Dayana menggoyangkan lengan ayahnya. Moris menundukan wajahnya, melihat putrinya cemberut dengan mata memerah sambil menahan tangis. Pria itu pun berdehem lalu memanggil Aisha, "Bu Aisha ... " Aisha memejamkan matanya sejenak. Panggilan Moris adalah peringatan untuknya. Dia pun menarik nafas dengan berat lalu melepas tangan Renata dan berkata dengan tidak berdaya, "Bercerailah dengan Abimana, Ren." Setelah mengatakan permintaan yang kejam, Aisha menarik tangannya. Dia merasa tidak tega saat melihat wajah Renata dan Abimana. Permintaan Aisha seperti petir di siang bolong bagi Ren
Plak! Abimana memukul pantat wanita itu dengan gemas, "Diam!" Renata hanya bisa menggertakkan giginya dengan kesal dan menutupi wajahnya yang memerah. Abimana terus berjalan menyusuri jalan kecil menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan. Hingga saat Abimana hendak membuka pintu mobil, ponsel di saku celananya bergetar. Pria itu merogoh ponselnya. Nama Reino tercantum di layar, pria itu menggeser tanda hijau dan mendekatkannya ke telinga. "Halo!!" Di ujung tempat lain, Reino sedang mengemudikan mobil menuju rumah sakit setelah Reino mendapatkan panggilan dari Adam. "Ehh ... Tuan," jawab Reino dengan ragu setelah mendengar suara Abimana yang terdengar berat dan terengah-engah. Apalagi Renata yang terus mengeluh kalau pinggangnya sakit dan minta berhenti terdengar ambigu. Reino pun di seberang sana hanya bisa menggaruk kepalanya hingga suara Abimana kembali menggema dan memekik di gendang telinganya, "Reino!" Reino tersentak, lalu menjawab dengan cepat, "Nyonya besar masuk rum
Renata sedikit tersentak, rasa sakit yang dia rasakan seketika menyadarkannya dari kebodohan. Wanita itu menggenggam lengan Abimana dengan erat, dia menatap mata Abimana yang dalam dan menyelaminya. Dia berharap bisa menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang mulai bermunculan. Apakah pria ini mencintainya? Atau hanya dia yang terjebak dalam cinta itu? Melihat mata Renata dipenuhi keraguan, Abimana mengerutkan alisnya. Pria itu menangkup wajah kecil Renata dan sedikit mencubit pipinya, "Ada apa?" Wanita itu tersadar, matanya memancarkan hawa dingin. Dia pun memalingkan wajahnya lalu berkata dengan acuh, "Di sini kita hanya berdua. Jadi aku tidak akan menahan diri lagi." "Maksudmu?" tanya Abimana dengan air muka heran. Renata mengabaikannya dan memilih menatap ke arah cahaya jingga yang mulai memudar dengan hati yang dipenuhi pergolakan. Deburan ombak yang menggulung itu seolah-olah telah menelannya ke dalam kehampaan. Abimana mengangkat tangan dan menyentuh bahu wanita itu d
Renata bergumam, "Cinta?"Ungkapan pria itu tidak membuat dirinya menjadi tenang, dia bahkan merasa seperti didorong ke dalam dasar jurang yang tak berdasar.Cinta yang di maksud Abimana adalah obsesi dan kegilaan. Kemurniaan cinta yang dia miliki dulu, kini ternoda dengan perasaan takut kehilangan.Kenyataannya pria itu terjebak dalam rasa bersalah karena telah meragukan Renata selama tiga tahun. Dan berusaha menebus rasa penyesalannya dengan cara yang ekstrim dan tidak masuk akal.Renata mengerjabkan matanya yang kembali berair. Dia bergeming, kedua tangannya bersandar di wastafel untuk menopang tubuhnya agar tidak goyah. Renata benar-benar ketakutan.Insiden tadi termasuk kekerasan rumah tangga, yang diserang fisik dan mentalnya. Renata akhirnya sadar bahwa dia terjebak dengan hubuhan yang toxic dan sulit melepaskan diri.Renata pun berusaha mengalah, dia tidak berani meminta cerai dan menyinggung Abimana. Dia berkata dengan suara bergetar, "Aku mengerti."Melihat bibir Renata berg
Renata mencuci tangannya di wastafel dan sesekali menghela nafas dengan berat. Saat wajahnya mendongak, dia langsung terlonjak kaget saat melihat sosok yang terpantul di cermin. Pria itu sedang berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Sorot mata pria itu begitu dingin dan dalam.Wajah Renata memucat, dia mengelus dadanya dan nafasnya terengah-engah. Jantungnya hampir copot, dia pun memekik, "Kamu?"Abimana berkedip, sudut bibirnya terangkat, "Kaget ya?"Mendengar jawaban Abimana yang tergolong santai dan tidak tahu diri, Renata tercengang beberapa detik sambil menggigit bibirnya. Wanita itu langsung mendengus, dia berbalik sambil mengangkat sebelas alisnya dengan kesal. "Ini toilet wanita, Tuan Mahendra?" Abimana memanyunkan bibirnya lalu mencibir, "Sopan sekali!"Renata memutar bola matanya dengan jengah dan mengambil tasnya. Lalu berjalan keluar sambil berkata dengan acuh tak acuh, "Ayo keluar! Jangan sampai kamu menakuti wanita lain."Abimana tersenyum sinis, lalu