Siti yang merasa frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan mendapat penolakan dari Bapaknya langsung emosi. Tanpa pikir panjang, dia meraih pisau yang berada di rak dapur.
Siti mengacungkan pisau itu ke arah Mak Jumi dan Pak Slamet yang bergidik ngeri.
“Apa yang kamu lakukan Siti?” teriak Pak Slamet.
“Kalau Bapak tidak mau menikahkan aku, maka aku akan bunuh diri.”
“Siti..”
"Astagfirullah, Siti! Apa-apaan kau ini, Nak!?" teriak mak Jumi yang mulai terlibat histeris.
Betapa terkejutnya mak Jumi tat kala anak gadis satu-satunya tengah memegangi sebilah pisau, bahkan tanpa rasa takut sekalipun.
Mak Jumi tidak menyangka jika Siti akan bertindak sejauh ini, setan apa yang tengah merasuki gadis itu? Sungguh tak dapat dipercaya.
Siti yang sudah terobsesi oleh ambisinya sendiri, oleh rasa cintanya
"Tolong buka pikiranmu, Siti. Lepaskan Rama, biarkan dia hidup tenang bersama keluarganya sendiri," ucap pak Slamet, "Kalau kau sayang pada lelaki itu ... Kau pasti tidak akan tega melihatnya menderita dan jauh dari keluarganya seperti sekarang ini bukan?"Suaranya kini terdengar melemah dan tulus. Ia menatap Siti dengan tatapan dalam, sampai-sampai membuat gadis itu tampak terdiam dan menundukkan kepalanya.Sepertinya ucapan pak Slamet sedikit berpengaruh, membuat senyuman pak Slamet mulai terlihat.Sedangkan mak Jumi, wanita itu masih terisak dan terus berharap sebuah keajaiban datang dan merubah jalan pikiran Siti.Beberapa detik berlalu, Siti mulai mengangkat wajahnya, dengan sedikit melemahkan bahkan meSitiunkan pisau yang menempel pada pergelangan tangannya.Hal itu sontak membuat mak Jumi dan pak Slamet sedikit tersenyum simpul."Tidak!" ucap Siti dengan lantang. Membuat sepasang suami istri tersebut kembali tercengang.Kening pak Slamet kembali mengerut karenanya, senyuman yan
Bugh. Anin memukulkan sepotong bambu sepanjang tangan orang dewasa ke arah Siti secara cepat sehingga membuat Siti tersungkur ke arah samping dan pisau itu terlepas dan mendarat di bawa kaki Anin. Jadi, Anin sudah melihat bambu itu sejak tadi dan Anin sudah memikirkan ke arah sana karena ia hanya menunggu saat yang tepat saja. Kini pisau itu sudah aman berada di tangannya. Reno dan pak Slamet segera memegangi Siti yang berniat ingin menyerang kembali Anin meski dengan tangan kosong. Tidak lama kemudian tiga orang polisi pun masuk ke dalam rumah pak Slamet dan membantu Reno juga pak Slamet mengamankan Siti. Siti meronta dan berteriak minta untuk dilepaskan. Ternyata para polisi itu juga diminta Anin untuk datang ke rumah Siti. Namun, di tengah perjalanan ban mobil mereka pecah sehingga mengharuskan mereka menggantinya terlebih dahulu dengan ban serep. "Lepaskan aku dasar bangsat kalian semua. Lepaskan!" Siti terus saja berteriak dan meronta membuat para tetangga yang sejak tadi k
BAB 1"Aw, Mas, kamu nakal deh, aw! Jangan begini ah, kan geli, Mas! Hahahaha!" Suara mendesah dan manja terdengar di telingaku. Aku yang baru saja pulang dari tempatku mengajar sedikit mengernyitkan dahi. Kalau suara perempuannya aku kenal, dia adalah Zea istri kedua suamiku. Akan tetapi, Zea sedang bergurau dengan siapa? Mas Rama? Itu tidak mungkin, sebab mas Rama sedang bekerja di luar kota. Pekerjaan mas Rama adalah seorang kontraktor. Mas Rama sering bepergian dan berpindah-pindah lokasi kerja karena memang pekerjaannya yang menuntut seperti itu. Mas Rama menikah lagi memang atas persetujuan dariku. Sebab sudah lama kami menikah tapi belum juga dikaruniai momongan. Berbagai usaha sudah kami lakukan dan hasilnya aku juga mas Rama sama-sama subur tapi, kembali lagi bahwa kehadiran seorang anak adalah hak prerogatif Allah SWT. Sementara itu mami mertua yang sudah kbelet memiliki cucu memaksa mas Rama untuk menikahi anak sahabatnya. Awalnya berat memang karena siapa sih wanita yan
BAB 2"I-ini, Bu, kuncinya," ucap mbak Siti sembari menyerahkan kunci itu padaku. Bergegas aku membuka pintu kamar Zea menggunakan kunci cadangan dan seketika mataku membelalak saat melihat keadaan di dalam sana. "Zea …." Aku terbelalak melihat di dalam kamar ternyata Zea tengah memegang sebuah kertas dan ia yang memakai pakaian kurang bahan membuat dahiku mengernyit dan sejenak aku terpaku hingga saat terdengar suara Zea membuyarkan lamunanku tentangnya. "Mbak Anin? Kok tiba-tiba masuk? Mbak Anin kok gak sopan banget buka-buka pintu kamar orang tanpa izin?!" tanya Zea tapi dengan raut wajah tidak suka dan dari nada bicaranya juga ia sangat ketus. Mendadak aku merasa sedikit bersalah karena sudah berpikiran jauh sekali. Namun, aku sangat yakin jika telingaku tidaklah salah mendengar. Zea seperti sedang bergurau dan bermanja dengan pasangannya. Apa iya aku hanya menghalu saja? "Zea, kenapa tadi aku gedor-gedor pintu kamu enggak dengar dan enggak langsung bukain pintu? Memangnya tel
BAB 3"Malam juga Zea," jawabku sambil melihat ke arah Zea. Namun, dahiku mengerut seketika saat aku melihat tanda tidak asing yang berada di leher Zea. "Zea, itu leher kamu kenapa? Kok merah-merah kayak bekas cupangan?" "Uhuk, uhuk." Tiba-tiba saja Zea terbatuk saat meminum air putih hingga ia menyemburkan air tersebut dari dalam mulutnya. Tentu saja aku semakin merasa curiga dengan kelakuan nya ini. Bukankah hal ini menandakan kalau Zea tengah salah tingkah akibat ucapanku? "Kamu tidak apa-apa, Zea?" tanyaku pada Zea mencoba masih berpikiran positif. "Ah, e-enggak apa-apa kok, Mbak. I-ini tadi aku kerokan makanya merah-merah begini," ucap Zea lagi yang membuatku memicingkan mata menatap ke arahnya. Akan tetapi, Zea terlihat mencoba bersikap biasa saja seperti tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Meskipun begitu tetap saja aku melihat jika memang ia tengah menyembunyikan sesuatu padaku. Baiklah, kalau sudah begini lebih cepat lebih baik aku akan mencari tahu masalah yang ia s
BAB 4Aku sedikit menyungingkan senyum karena ternyata secinta itu mas Satria mencintaiku sampai berpikiran hingga sejauh ini. Terima kasih, suamiku, aku sangat mencintaimu. Aku tidak salah telah melabuhkan dan menyerahkan hati ini seutuhnya untukmu. "Yasudah kalau begitu Mas tutup dulu ya teleponnya. Mas mau istirahat kebetulan besok ada matrial baru datang pagi. Jadi Mas pagi-pagi sekali harus ngecek dulu barangnya," ucap mas Rama berniat menyudahi obrolan kami. "Yasudah, Mas, selamat malam dan selamat beristirahat suamiku. I love you, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Sayang, i love you to."Aku pun merebahkan tubuhku ke atas pembaringan dan meletakkan ponselku di atas nakas di samping tempat tidur. Setelahnya aku memejamkan mata karena esok pagi aku pun harus berangkat ke sekolah tempatku mengajar. ***"Ah, Mas, mana lidahmu? Tapi jangan kencang-kencang begitu dong suaramu. Nanti kedengeran sama Mbak Anin lho. Tapi pasti yang tadi itu akan terasa geli dan nikmat." Aku menger
BAB 5Tentu saja rasanya darahku mendidih. Refleks tanganku menampar kuat pipinya hingga membuat Zea terhuyung dan kepalanya menoleh ke samping. "Jangan pernah pancing seekor buaya yang tengah kelaparan untuk menerkam. Karena sekali saja kau terkena gigitannya yang tajam aku jamin kau akan mati karenanya!" Aku meninggalkan Zea yang masih terpaku atas kemarahanku barusan. Dia kira dia siapa bisa seenaknya saja berbuat. Meskipun dia adalah pilihan mami tapi tetap saja akilah ratu bagi mas Rama. Aku percaya itu. Lagian di rumah ini akulah ratunya dan Zea hanyah tamu. Tamu yang kapan saja jika si pemilik rumah menghendaki maka bisa mengusir si tamu yang menyebalkan tersebut. Kubamting pintu kamarku karena sungguh kesal demgan Zea. Biar dia tahu seperti apa wajah asliku. Aku bukanlah istri pertama yang diam saja ketika ditindas. Meskipun mami menyanjung dan menyayanginya sekali lagi aku tidak peduli karena bagiku yang utama adalah mas Rama bukan mami karena yang menikah denganku adalah
Sesampainya aku di sekolah dan baru saja mendaratkan bokongku di atas kursi di dalam ruang guru tiba-tiba saja ponselku berdering. Meski lirih karena memang kuatur untuk tidak terlalu nyaring namun, ku masih bisa mendengarnya. Gegas aku mengambil ponselku di dalam tas yang kubawa, kuedarkan pandangan ke sekeliling ternyata yang datang baru tiga guru salah satunya termasuk aku. Kulihat nama mas Rama terpampang di layar ponsel. Aku mengukir senyum di kedua sudut bibirku dan lekas mengangkat sambungan telepon dari mas Rama. "Assalamualaikum, Sayangku, wah cantik sekali sepagi ini kamu Sayang?" ucap mas Rama sesaat aku mengangkat telepon darinya. Tentu saja ucapannya membuatku tersipu dan wajahku menghangat. Ditambah lagi di ruangan ini juga ada guru yang lain dan salah satunya adalah teman dekatku yakni, Pratiwi dan aku biasa memanggilnya Tiwi. "Waalaikumsalam, suamiku, jangan gombal pagi-pagi ah, kan malu didengar sama yang lain," ucapku sembari mengarahkan kamera ke sekeliling ru